Cerpen-cerpen A.A. Navis dapat dikaji sebagai bentuk kritik sosial melalui pendekatan sosiologi sastra, khususnya teori Alan Swingewood yang memandang sastra sebagai institusi sosial.
Sastra dalam teori ini tidak hanya menjadi ekspresi individual pengarang, tetapi juga representasi masyarakat yang mencerminkan, membentuk, dan dipengaruhi oleh struktur sosial.
Sastra merupakan hasil ekspresi batin dan budaya yang tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan historis masyarakat. Dalam pendekatan sosiologi sastra, sastra dianalisis melalui tiga pendekatan utama: sebagai cerminan zaman, pengarang, dan institusi sosial.
Ketiga cerpen Navis ini menggambarkan benturan antara nilai agama, modernitas, dan nilai kemanusiaan.
Cerpen Robohnya Surau Kami mengangkat isu kegagalan religiusitas yang terpisah dari tanggung jawab sosial, Anak Kebanggaan menyuarakan ironi dalam relasi orang tua-anak dan dampak status sosial, sementara Penolong menyoroti lemahnya solidaritas dan ketulusan sosial akibat kepentingan pribadi. Melalui simbol dan ironi, cerpen-cerpen ini memuat pesan sosial yang kuat.
Alan Swingewood, dalam The Sociology of Literature, mengembangkan teori sosiologi sastra yang melihat karya sastra sebagai dokumen sosial dan ideologis.
Dalam pandangannya, sastra mencerminkan kondisi zaman, pengalaman pengarang, dan bertindak sebagai institusi sosial. Dalam pendekatan sebagai institusi sosial, sastra dipahami sebagai produk budaya yang membentuk kesadaran kolektif, menyampaikan norma dan nilai, dan menjadi sarana kritik terhadap ketimpangan sosial dan politik.
Cara Membuka Cerpen dengan Kalimat yang Menggugah Pembaca
Oleh karena itu, karya-karya Navis yang sarat kritik sosial dapat dipahami sebagai bagian dari institusi sosial yang menggugah kesadaran dan mendorong refleksi masyarakat.
Biografi Singkat A.A Navis
Ali Akbar Navis, yang lebih dikenal dengan nama pena A.A. Navis, merupakan salah satu sastrawan terkemuka Indonesia yang lahir pada 17 November 1924 di Padang Panjang, Sumatra Barat.
Ia tumbuh di tengah keluarga Minangkabau dan menjadi anak sulung dari lima belas bersaudara. Pendidikan dasarnya ditempuh di sekolah INS (Indonesisch Nederlansch School) Kayutanam, sebuah lembaga pendidikan swasta yang cukup progresif pada masanya.
Dari lembaga ini, Navis mendapatkan fondasi intelektual yang kuat dan jiwa nasionalisme yang kelak mempengaruhi cara pandangnya terhadap masyarakat dan kebudayaan.
Navis dikenal tidak hanya sebagai penulis cerita pendek dan essai, tetapi juga sebagai budayawan, kritikus sosial, dan tokoh politik. Karier kepenulisannya mulai menanjak setelah cerpen Robohnya Surau Kami terbit pada tahun 1955 dan langsung menuai perhatian karena isinya yang berani menyentil kemapanan keberagamaan masyarakat.
Cerpen ini menjadi tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia modern, karena dengan gaya satirnya, Navis menyuarakan kegelisahan terhadap praktik-praktik keberagamaan yang cenderung formalis dan tidak membumi.
A.A. Navis wafat pada 22 Maret 2003 di Padang. Meski telah tiada, pemikirannya masih relevan hingga hari ini, terutama dalam membicarakan relasi antara agama, budaya, dan tanggung jawab sosial.
Ia dikenang sebagai penulis yang tak hanya pandai merangkai kata, tetapi juga berani menyampaikan kebenaran yang menyakitkan bagi kemapanan sosial.
Analisis Isi Cerpen
Cerpen Robohnya Surau Kami mengisahkan seorang kakek penjaga surau yang taat beribadah. Namun, akhirnya ditolak masuk surga karena selama hidupnya ia tidak peduli terhadap tanggung jawab sosial.
Cerpen ini menggunakan alur campuran maju-mundur, sudut pandang orang pertama, dan gaya narasi simbolik. Surau yang roboh merupakan lambang kehancuran nilai sosial dan keagamaan akibat sikap egois dan masa bodoh masyarakat.
Kakek menjadi representasi manusia religius yang hanya mengejar keselamatan pribadi, tanpa memperhatikan nasib sesama. Sosok Ajo Sidi berperan sebagai pemicu keraguan yang mengguncang iman kakek.
FLP Ponorogo Sukses Selenggarakan Kelas Kepenulisan Cerpen
Cerpen ini mengandung amanat bahwa ibadah sejati harus diiringi kepedulian sosial dan tanggung jawab terhadap kehidupan sekitar.
Cerpen Anak Kebanggaan menggambarkan tragedi seorang ayah, Ompi, yang terlalu membanggakan anaknya secara buta. Ia percaya bahwa anaknya akan menjadi dokter sukses di kota besar, meski kenyataannya anak itu tidak lagi mengiriminya kabar.
Cerpen ini menggunakan alur maju dengan narator orang pertama pelaku samping yang dekat dengan tokoh utama. Tragedi Ompi tergambar melalui konflik antara harapan dan realitas yang pahit. Ia tetap hidup dalam delusi hingga ajal menjemput, bahkan ketika menerima telegram kematian anaknya, ia meyakininya sebagai kabar baik.
Kritik sosial dalam cerpen ini terletak pada kegagalan komunikasi dalam keluarga dan penilaian masyarakat yang lebih menghargai status sosial daripada relasi emosional yang tulus.
Cerpen tersebut menyindir masyarakat yang mengukur kebahagiaan dari simbol-simbol keberhasilan semu, bukan dari hubungan yang sejati dan penuh kasih.
Cerpen Penolong mengangkat tema kemunafikan sosial melalui tokoh Sidin, pemuda yang berusaha menolong korban kecelakaan kereta api. Ia bekerja keras menyelamatkan korban, tetapi justru diabaikan oleh masyarakat sekitar yang hanya menonton tanpa empati.
Cerpen ini menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu dan alur maju. Kritik sosial tampak pada sikap masyarakat yang hanya ingin menolong kerabatnya sendiri dan bersikap apatis terhadap orang asing. Sidin akhirnya dibantu oleh seorang pemuda gila, yang justru menunjukkan ketulusan sejati.
Karya tersebut memperlihatkan bahwa kebaikan tidak selalu datang dari orang “waras”, melainkan dari hati yang tulus, dan menekankan pentingnya empati dalam situasi darurat. Gaya bahasa satir Navis memperkuat ironi dalam narasi, menyampaikan pesan moral secara halus namun menghunjam.
Secara keseluruhan, ketiga cerpen ini mengandung kritik terhadap ketimpangan sosial, kemerosotan nilai kemanusiaan, dan kegagalan institusi sosial dalam membina solidaritas dan moral publik.
Cerpen Robohnya Surau Kami menyentil religiusitas yang tidak membumi; Anak Kebanggaan mengecam delusi orang tua dan kebanggaan semu yang merusak; sementara Penolong menunjukkan betapa masyarakat kehilangan empati karena lebih peduli pada kepentingan pribadi.
Ketiganya mencerminkan fungsi sastra sebagai institusi sosial yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mengingatkan, mengkritik, dan membentuk kesadaran kolektif masyarakat.
Dalam kerangka Alan Swingewood, karya-karya ini tidak hanya mencerminkan realitas sosial, tetapi juga mengintervensinya dengan kritik dan refleksi.
Selamat terbawa ke dalam cerita Anak Kebanggaan, "Yang membiarkan masa bahagia dan harapan, adalah juga masa yang menambah dalam luka hatinya, hingga lebih meroyak." dan dalam cerpen Penolong, "Kesengsaraan bisa mengubah tabiat."
Adapun dalam Robohnya Surau Kami, "Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun."
Jangan lewatkan kesempatan untuk mengetahui apakah Robohnya Surau Kami layak masuk dalam daftar bacaan wajib Kawan GNFI!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News