Sukses selenggarakan talkshow Kesehatan Mental dengan tema “Writing For Healing” bulan lalu, Forum Lingkar Pena Cabang Ponorogo (FLP Ponorogo) kembali selenggarakan kegiatan literasi. Kali ini, FLP Ponorogo mendatangkan Arafat Nur (Sastrawan Nasional) dalam acara Kelas Kepenulisan Cerpen, Minggu (24/11). Dibersamai oleh Sapta Arif (Cerpenis) sebagai moderator, Arafat Nur mengupas soal konflik yang menarik dalam cerita pendek.
Bertempat di Sutejo Spektrum Center (SSC), sebanyak 25 peserta antusias mengikuti sejak pagi. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian Penerimaan Anggota Baru FLP Ponorogo tahun 2024.
Arafat Nur merupakan sastrawan asal Aceh yang saat ini tinggal di Ponorogo. Karya-karyanya berhasil menyabet berbagai penghargaan bergengsi nasional. Mulai dari Novel Lampuki di Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2010.
Setahun kemudian, novel yang menceritakan kisah Ahmadi Si Kumis Tebal ini berhasil menyabet prosa terbaik dalam Kusala Sastra Khatulistiwa. Tahun 2016, novel Tanah Surga Merah meraih penghargaan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta.
Disusul novel Kawi Matin di Negeri Anjing berhasil menjadi novel terbaik 2 dalam sayembara novel Diva Press dan novel Dunia Kecil yang Riuh menjadi novel terbaik dua dalam sayembara novel Diva Press bertema Sholawat Kanjeng Nabi.
Kredibilitas Arafat Nur dalam berkarya berhasil menarik minat calon anggota FLP Ponorogo. Hal ini terbukti dari antusiasme peserta yang datang dan mengikuti kegiatan sampai selesai.
Pada kesempatan ini, Arafat Nur membeberkan realitas dunia sastra baik dari sudut pandang dunia dan nasional. Ia menceritakan bahwa sastra memiliki tempat yang istimewa di kancah dunia.
Hal ini dibuktikan dengan setiap tahunnya Panitia Penghargaan Nobel memberikan penghargaan pada satu sastrawan terbaik. Di tahun 2024 misalnya, diraih oleh Han Kang (penulis asal Korea Selatan).
“Jauh sebelum Han Kang meraih nobel, saya sudah membaca karyanya. Di antaranya Vegetarian dan Mata Malam,” ungkap Arafat Nur dalam pemaparan materi.
Arafat memandang sebelum menulis, modal utamanya adalah membaca. Bahkan ia mengatakan rumus menulis ada 11, yaitu membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, barulah menulis. Artinya, Arafat menekankan betapa penting menjadi pembaca yang tekun sebelum terjun dalam dunia kepenulisan.
“Penting bagi kita untuk membaca, agar menghasilkan tulisan yang berkualitas. Selain itu, agar tulisan kita juga bisa bermanfaat bagi orang lain,” tambah Arafat Nur saat pemaparan materi.
Bagi Arafat, seorang pembaca ketika membaca karya sastra selain ingin mendapatkan hiburan, mereka ingin mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang dimaksud oleh Arafat Nur adalah manfaat lain berupa informasi, ilmu pengetahuan yang baru, atau bahkan refleksi pengalaman yang bisa menjadi alternatif hidup.
Untuk itulah, penting bagi seorang penulis mempertimbangkan 7 hal sebelum ia menuliskan karyanya, yaitu, tema, tokoh dan penokohan, setting, alur (plot), sudut pandang (point of view), amanat, serta gaya (style). Terutama tema, bisa menjadi pedoman penulis untuk menentukan nilai yang dianut dalam tulisannya.
“Untuk bisa menentukan tema atau gagasan apa yang mau kita tulis, maka kita harus banyak membaca,” ungkap Arafat Nur saat pemaparan materi.
Setelah pemaparan materi dari Arafat Nur, peserta diberi kesempatan untuk bertanya dan dilanjutkan praktik menulis. Arafat membimbing peserta dengan telaten. Ada tiga peserta yang menceritakan isi tulisannya dan diberikan feedback oleh Arafat Nur.
Farida, selaku ketua FLP Ponorogo, dalam sesi tanya jawab mengungkapkan bahwa nantinya calon anggota FLP tidak hanya diberi bekal menulis fiksi. Ada materi menulis non fiksi, di antaranya menulis esai, opini, artikel, hingga resensi buku.
“Semua materi baik fiksi maupun non fiksi, akan kami carikan pembicara yang berkompeten di bidangnya,” ungkap Farida saat sesi tanya jawab.
Sapta Arif, selaku moderator acara, mengatakan betapa pentingnya membaca menulis dengan mengutip sebuah nukilan cerita dari Novel Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom. Ia menceritakan dialog antara Loki Tua dan Sungu Lembu dalam sebuah medan perang.
“Hei Sungu, menulislah agar kita berbeda dengan kerbau yang hanya bisa makan, minum, tidur, dan menunggu untuk disembelih.” pungkas Sapta Arif menutup sesi diskusi. []
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News