Jurnalis beken asal Amerika, Margaret Fuller pernah berkata, “Today a reader, tomorrow a leader” yang bermakna bahwa pemimpin-pemimpin hebat berawal dari pembaca hebat yang menghabiskan masa mudanya dengan buku.
Namun, apalah arti buku tanpa kecakapan membaca. Ini yang sedang diperjuangkan Mama Yunne di Papua. Meski usianya sudah separuh abad, semangat Mama Yunne untuk mengajar baca dan tulis tetap bergelora.
Sudah 12 tahun Mama Yunne menyisihkan sebagian ruangan di rumahnya untuk rumah baca. Lebih dari 30 anak di sekitar Danau Sentani, Jayapura, berkumpul di rumahnya untuk belajar membaca, menulis, bahkan berhitung.
Menjemput anak-anak dengan perahu
Ketinting—perahu berukuran panjang sekitar 11 meter—sudah siap di samping rumah baca (rumah Mama Yunne). Dengan perahu ini, Mama Yunne mengarungi danau untuk menjemput anak-anak.
Bukan satu atau dua anak, tapi 30 hingga 40 anak menunggu kedatangan Mama Yunne. Di titik yang telah ditentukan, mereka akan dijemput Mama Yunne menuju rumah baca.
Ombak tenang dan semilir angin di Danau Sentani mengiringi perjalanan Mama Yunne dan anak-anak. Sekitar 30 menit, mereka akan sampai di rumah baca. Sambil mengarahkan perahu, Mama Yunne memberikan petuah kepada anak-anak.
“Kamu ikut rumah baca untuk dirimu bukan untuk mama. Nanti kamu bisa ceritakan ke orang-orang di rumah, apa yang kamu pelajari di rumah baca,” kata Mama Yunne menirukan dirinya saat menasihati anak-anak.
Tergerak karena “panggilan Tuhan”
Mama Yunne memutuskan untuk menjadi ibu pendamping rumah baca karena merasa jiwanya terpanggil oleh Tuhan. Baginya, peran ini adalah sebuah berkat dan bentuk pelayanan yang penuh makna.
“Saya merasa ini adalah panggilan dari Tuhan yang diberikan kepada saya. Karena mama yang dipilih, mama harus terus mendampingi anak-anak di sini,” kata Mama Yunne kepada GNFI, Minggu (25/5/2025).
Tahun 2013, Mama Yunne terpilih melalui musyawarah kampung untuk mendampingi rumah baca yang diinisiasi oleh Wahana Visi Indonesia (WVI), sebuah LSM yang bergerak untuk pendidikan. Tak sendirian, Mama Yunne didampingi oleh dua relawan. WVI juga mendukung dengan modul pembelajaran dan alat tulis.
Baca juga Noken Rumah Berjalan, Simbol Kekayaan Budaya dan Identitas Papua yang Mendunia
Berjuang di tengah keterbatasan
Mama Yunne patut dikatakan seorang pahlawan. Keterbatasan tak membuat dirinya gentar memperjuangkan pendidikan di Papua. Satu dekade lebih Mama Yunne mengorbankan tenaga dan materi agar anak-anak bisa membaca.
Setiap hari, kegiatan menjemput dan mengantar anak-anak pulang merogoh sebagian rejeki Mama Yunne. Ketinting dengan mesin tempel yang digunakannya, setidaknya membutuhkan 5 liter bensin agar berputar. Di Papua, satu liter bensin dihargai Rp15.000—uang yang mestinya bisa digunakan Mama untuk memasak.
Mama Yunne juga membuatkan camilan, entah sirup atau lainnya untuk anak-anak agar mereka semangat belajar. Semua ini ia lakukan tanpa bantuan dari pemerintah.
“Sejak tahun 2013, saya menunggu dan menunggu sampai sekarang tidak ada bantuan dari pemerintah,” kata Mama Yunne.
Di tengah keterbatasan, mimpi Mama Yunne tetap tinggi. Ia ingin membangun rumah baca sendiri untuk anak-anak, tepat di samping rumahnya. Sebuah proposal juga rampung digarap namun tak kunjung mendapatkan jawaban.
Meski nihil dukungan pemerintah, setidaknya para orang tua masih membersamai langkah Mama Yunne. Mereka percaya anak-anaknya yang belajar di rumah baca akan menjadi anak yang pintar. Ketua adat atau Ondoafi di kampung tempat Mama Yunne tinggal turut memberikan dukungan.
Harapan Mama untuk anak Papua
Bertahun-tahun mendampingi rumah baca, Mama Yunne sudah menyatu dengan anak-anak. Selain menjadi ibu dari anak kandungnya, ia adalah ibu bagi 30 lebih anak di Danau Sentani. Mama Yunne pun berpesan agar mereka semua tumbuh menjadi orang baik.
“Harapan saya untuk anak-anak di Papua, mereka harus menjadi orang yang baik. Jangan seperti orang-orang di luar yang tidak baik. Saya pesan kepada kalian semua untuk memiliki karakter baik,” kata Mama Yunne.
Kerja keras Mama Yunne membuahkan hasil. Anak-anak yang belajar di rumah baca sudah lebih lancar membaca dan menulis. Mereka juga menjadi lebih percaya diri, mau berdiri di depan kelas dan memimpin doa.
Baca juga Napak Tilas Yapen, Kota Pusat Pendidikan di Papua pada Zaman Kolonial Belanda
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News