“Anak berasal dari sel yang unggul. Semua anak punya peluang dan kemampuan di masing-masing bidang. Orang tua tidak boleh meremehkan potensi anak, melainkan harus memberikan keyakinan bahwa mereka mampu,” tutur Sani Budiantini Hermawan, Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani dalam Bootcamp Gerakan 100 Komunitas Tanpa Gadget pada Senin (19/5/2025).
Sani menekankan bahwa tiap anak memiliki keunggulan. Bukan berarti anak yang kurang menguasai bidang eksakta adalah anak yang kurang berkembang. Bisa jadi, anak tersebut justru unggul di bidang olahraga.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya observasi orang tua terhadap minat dan bakat anak di berbagai bidang; seni, eksakta, atau mungkin public speaking. Dalam hal ini, orang tua tidak hanya mengobservasi, tetapi juga mendukung, mendampingi, mengarahkan, dan sebagai teman diskusi bagi anak.
“Orang tua justru harus mampu memberikan keyakinan kepada anak bahwa anak memiliki potensi, menghargai dan mengembangkannya bersama anak,” imbuhnya.
Akan tetapi, saat ini orang tua tengah dihadapkan pada tantangan besar yang menghantui, yaitu kecanduan anak pada gadget. Bukan hanya menghantui, kecanduan anak pada gadget dapat memengaruhi karakter dan perkembangan kognitif mereka.
Gerakan 100 Komunitas Bermain Tanpa Gadget oleh GNFI X KLG, Pertemukan Komunitas Demi Anak Indonesia
Kesenangan pada Anak
Gadget menawarkan multistimulasi pada anak dengan adanya cahaya, gerakan, dan suara. Stimulasi yang kompleks ini membuat anak hanya perlu menggunakan 30% otaknya. Sebab, segalanya telah tersaji di depan mata.
Lain halnya ketika belajar, di sekolah maupun di rumah. Dalam proses pembelajaran, anak tidak terbiasa dengan stimulasi yang monoton. Otak anak tidak terbiasa mendengarkan atau membaca dengan stimulasi yang minim.
Inilah mengapa anak lebih suka melakukan hal yang menghasilkan kesenangan pada anak. Dibandingkan belajar yang membutuhkan fokus dan perhatian lebih, anak akan memilih bermain gadget.
“Ketika belajar dia harus membaca, membayangkan, mencerna kalimat, memberikan output,” ungkap Sani.
Dampaknya sangat berbahaya, analisa berpikir anak jadi tidak aktif. Pada kondisi ini, potensi-potensi anak yang seharusnya dapat dikembangkan, terbunuh secara perlahan tanpa adanya kesadaran dan perhatian khusus.
Cerita Unik dari KLG: Lepas dari Gadget, Anak Keasyikan dengan Permainan Tradisional
Bayang-Bayang Standardisasi Media Sosial
Teknologi informasi memberikan kemudahan. Akan tetapi, kemudahan tersebut justru membuat anak menjadi overexpose, yang artinya anak mengalami paparan gadget secara berlebihan.
Keterbukaan internet membuat anak dapat mengakses segalanya dengan mudah. Anak bebas menjangkau konten-konten yang melebihi usianya.
Fenomena ini jelas berbahaya. Sebab, anak dapat dengan mudah terpengaruh pada standar orang lain atau bahkan orang dewasa yang terangkum lewat konten-konten di media sosial.
“Ada juga karakter anak yang mengutamakan reaksi orang lain atau standar orang lain, jadi overthinking. Jadi people pleaser,” imbuh Sani.
Hidup di Dunia Sejatinya Hanya Bermain: Jadi, Ayo Main di Luar Rumah!
Standardisasi ini membuat anak merasa ingin menyenangkan banyak orang. Akibatnya, anak akan merasa krisis identitas dan kehilangan jati diri karena terlalu banyak mengambil standar orang lain.
“Dia merasa lebih disukai kalo menyenangkan orang lain. Kalau tidak bisa, dia jadi overthinking. Standar dia adalah standar orang lain karena dampak sosial media,” jelasnya.
Oleh karena itu, orang tua perlu menganalisis perubahan perilaku pada anak saat bersosialisasi. Apakah anak terlalu reaktif atau justru terlalu pasif. Sebab, selain mengubah anak menjadi lebih mudah marah, internet juga membuat anak kesulitan bersosialisasi.
Dampak gadget bukan hanya sekedar bualan, tetapi nyata dan memengaruhi seluruh aspek kehidupan anak.
Gadget di Tangan Anak adalah Tanggung Jawab Penuh Orang Tua
Perlunya Quality Time dan Jauhkan Gadget dari Keluarga
Perlu ditekankan, bukan hanya anak yang perlu dijauhkan dari jangkauan gadget. Keluarga juga perlu memberikan jarak pada gadget saat bersama dengan anak.
Keluarga harus memberikan perhatian lebih kepada anak untuk menciptakan waktu kebersamaan yang berharga.
“Orang tua perlu hadir dalam tumbuh kembang anak. Be a good parents, menjadi orang tua yang bisa menyayangi, secara emotional attachment.”
Latar belakang inilah yang membuat Good News From Indonesia (GNFI) bersama dengan Kampung Lali Gadget (KLG) bergerak untuk memberdayakan 100 komunitas agar membantu masyarakat melepaskan anak dari gadget.
Pentingnya Mengonsumsi Konten dan Berita Baik Bagi Kesehatan Mental
Sebagaimana yang diyakini Achmad Irfandi, pencetus Kampung Lali Gadget bahwa alasan anak-anak lebih memilih gadget disebabkan oleh orang dewasa yang tidak seresponsif dan tidak seasyik gadget.
“Be a good friend. Orang tua yang sukses adalah ketika anaknya pulang dia mencari orang tuanya untuk cerita,” tutup Sani.
Selain orang tua, masyarakat juga bisa bersama-sama menciptakan keseruan di lingkungan rumah. Permainan tradisional yang dimainkan secara kolektif ini menjadi salah satu strategi mengenalkan kegiatan asyik selain bermain gadget.
Telah Terpilih Peserta Gerakan 100 Komunitas Bermain Tanpa Gadget, GNFI Akan Hadirkan Pemerintah dan Pembicara Profesional
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News