Serpong adalah sebuah nama kecamatan di Kota Tangerang Selatan, daerah ini dulunya dikenal sebagai lahan perkebunan karet sampai akhirnya menjadi kawasan perkotaan mandiri dan modern seperti BSD City (Bumi Serpong Damai).
Ternyata di masa lalunya wilayah Serpong memiliki peranan serta keterlibatan sejarah yang cukup panjang dalam mempertahankan kemerdekaan.
Pada rentang waktu yang cukup dekat bahkan tercatat ada dua peristiwa penting yang melibatkan banyak tokoh. Pertama, terjadi di tanggal 25 Januari 1946 yakni operasi ke Desa Lengkong dengan misi untuk melucuti persenjataan serdadu Jepang di markasnya melalui jalur damai (diplomasi) oleh Akademi Militer Tangerang Resimen IV.
Operasi ini sebenarnya dilakukan untuk merespon isu yang berhembus bahwa Belanda sudah masuk ke wilayah Parung (Bogor) pada tanggal 24 Januari 1946 dan akan menuju Lengkong untuk melucuti senjata dari serdadu Jepang, demi mencegah hal itu terjadi maka Resimen IV akhirnya berinisiatif untuk bergerak terlebih dahulu, tapi diplomasi tersebut gagal.
Gagalnya diplomasi antara Akademi Militer Tangerang Resimen IV dengan pihak Jepang tersebut akhirnya menewaskan puluhan taruna serta tiga orang perwira di pihak Akademi Militer TRI (Tentara Republik Indonesia) diantaranya ada nama Mayor Daan Mogot, Letnan Soetopo dan Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo beserta adiknya Sujono (paman dari Prabowo Soebianto).
Pada akhirnya berdasarkan Surat Telegram KSAD Nomor ST/12/2005 yang bertanggal 7 Januari 2005 ditetapkanlah bahwa Pertempuran Lengkong yang terjadi di tanggal 25 Januari sebagai Hari Bakti Taruna Akademi Militer.
Peristiwa kedua ialah terjadinya pertempuran yang menewaskan ratusan laskar dan perjuang di Serpong pada tanggal 26 Mei 1946. Serpong saat itu diduduki oleh tentara NICA (Nederland Indies Civil Administration) yang membonceng pasukan Inggris dengan misi menyisir sisa-sisa pasukan Jepang yang kalah di Perang Dunia ke II.
Berdasarkan pernyataan TB Sos Renda yang dilansir dari IDN Times Banten, disebutkan bahwa keberadaan tentara NICA ini sering usil kepada warga setempat dan juga sering mengganggu Perempuan di desa sekitar, membuat warga setempat resah dan melaporkan hal tersebut kepada HM Yusuf selaku Kepala Desa.
Selain itu, keberadaan tentara NICA juga bisa menjadi ancaman terhadap keutuhan NKRI yang saat itu sudah memproklamirkan kemerdekaannya.
Akhirnya HM. Yusuf meminta pertolongan kepada KH. Ibrahim dari Maja (Lebak) yang kemudian berangkat bersama 400 orang laskar menuju Serpong dengan menyusuri jalur kereta. Sesampainya di Tenjo turut bergabung pula Laskar sebanyak 300 orang yang dipimpin oleh KH. Harun, seiring perjalanan jumlah pasukan terus bertambah Laskar Kampung Sengkol pimpinan Jaro Tiking, dari Rangkasbitung pimpinan Mama Hasyim serta laskar pimpinan Nafsirin Hadi dan E. Mohammad Mansyur.
Setelah itu pada tanggal 26 Mei meletuslah perang yang tidak seimbang, mengingat para laskar hanya menggunakan persenjataan perang seadanya sementara tentara NICA menggunakan senjata lengkap.
KH. Ibrahim dan Jaro Tiking akhinya gugur bersama ratusan pejuang lainnya. Tempat pertempuran itu berlangsung kini menjadi Kompleks Pemakaman Pahlawan Seribu, Serpong, Tangerang Selatan.
Melalui dua peristiwa di atas, setidaknya dapat memberikan gambaran bahwa kawasan Serpong di masa lalu merupakan wilayah yang memiki keterikatan sejarah yang cukup panjang dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan NKRI khususnya di wilayah Tangerang Selatan.
Setidaknya ada beberapa tugu serta monumen perjuangan yang menjadi pengingat perjuangan para pahlawan kemerdekaan di kawasan Serpong, di antaranya ada Monumen Palagan Lengkong atau biasa dikenal dengan nama Monumen Daan Mogot, Taman Makam Pahlawan Seribu, serta Tugu Perjuangan Rakyat Serpong.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News