Kemajuan teknologi dalam dunia kesehatan mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam 20 tahun terakhir. Artificial Intelligence (AI) dan teknologi robotik kini menjadi bagian penting dalam perkembangan kesehatan modern. Beberapa negara telah melakukan integrasi AI dan robotik ke dalam dunia kesehatan.
Integrasi ini tidak terbatas pada sistem pencatatan medis elektronik, tetapi juga mencakup pelaksanaan tindakan seperti pembedahan menggunakan sistem robotik canggih.
Salah satu contohnya adalah penggunaan hinotori, sistem robot bedah domestik pertama dari Jepang, yang berhasil digunakan dalam prosedur spleen-preserving distal pancreatectomy tanpa komplikasi serius (Tomihara et al., 2024).
Kemajuan teknologi tersebut menjadi pencetus kekhawatiran besar di kalangan tenaga kesehatan, termasuk perawat. Kekhawatiran ini muncul dari anggapan bahwa teknologi berpotensi menggantikan peran manusia dalam memberikan layanan, termasuk pada aspek-aspek yang membutuhkan empati dan melibatkan emosional.
Hal ini memunculkan pertanyaan besar bagi perawat, apakah teknologi mampu menggantikan sentuhan terapeutik, kepekaan emosional dan penilaian klinis pasien yang bersifat holistik?
Pada kenyataannya, meskipun teknologi mampu menggantikan beberapa fungsi layanan yang bersifat teknis, AI dan robotik tetap memiliki keterbatasan dalam meniru naluri dan kepekaan manusiawi.
Topol (2019) mengungkapkan bahwa AI belum mampu merasakan empati, memberikan kenyamanan melalui sentuhan, atau membangun hubungan terapeutik dengan pasien. Nilai-nilai keperawatan seperti altruisme, kepedulian, keadilan, dan kemampuan memahami dalam menghormati nilai dan keunikan pasien maupun keluarganya menjadi kekuatan utama profesi keperawatan.
Inovasi mengenai AI dan robotik tidak hanya mempercepat proses diagnosis dan pengobatan, tetapi juga meningkatkan efisiensi pelayanan serta memperluas akses masyarakat terhadap perawatan kesehatan, terutama di wilayah dengan keterbatasan tenaga medis.
Kecerdasan buatan atau AI telah diaplikasikan pada layanan kesehatan dalam berbagai bentuk, mulai dari sistem pendukung keputusan klinis, pemrosesan citra medis, hingga manajemen rekam medis elektronik. Sebagai contoh, sistem AI dalam interpretasi CT scan dan MRI terbukti mampu mendeteksi kelainan seperti kanker dengan akurasi tinggi (Laliotis, 2024).
Dalam bidang pembedahan, robotik menjadi solusi untuk operasi dengan tingkat presisi tinggi. Sistem Da Vinci Surgical System, memungkinkan dokter bedah melakukan tindakan minimal invasif dengan tingkat akurasi tinggi dan minimal risiko komplikasi (Esposito & Matuszak, 2024).
Selain itu, chatbot kesehatan seperti Woebot dan Wysa digunakan dalam terapi kesehatan mental untuk memberikan intervensi berbasis terapi perilaku kognitif (CBT) kepada individu dengan gangguan psikologis ringan hingga sedang (Tarpley, 2025).
Topol (2019) mengungkapkan bahwa AI mampu mengolah data besar untuk membantu diagnosis, mempredikasi penyakit, dan mendukung keputusan klinis dengan cepat dan akurat. Kinerjanya terbukti unggul dalam bidang seperti radiologi, dermatologi, dan analisis genetik, serta berpotensi mengurangi beban administratif sehingga tenaga kesehatan akan lebih fokus pada interaksi dengan pasien.
Namun, AI juga memiliki keterbatasan, seperti risiko bias data dan masalah keamanan informasi. Kekhawatiran tentang hilangnya pekerjaan juga muncul. Karena itu, AI sebaiknya menjadi mitra, bukan pengganti tenaga kesehatan, agar teknologi tetap berpihak pada manusia.
Dalam konteks inilah, peran perawat justru semakin krusial untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tetap selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam pelayanan kesehatan. Perawat tidak hanya berperan sebagai pemberi perawatan fisik, tetapi juga sebagai pendidik, pemimpin, dan pendukung emosional pasien dalam setiap tahap proses penyembuhan.
Sebagai advokat, perawat melindungi hak-hak pasien dan membantu pasien dalam memahami pilihan pengobatan yang tersedia, sementara dalam peran sebagai konselor, perawat memberikan dukungan psikososial yang dialami oleh pasien.
Di tengah perkembangan teknologi, kehadiran perawat sebagai caregiver tak akan tergantikan dalam memberikan perawatan yang penuh empati dan asuhan secara holistik. Selain itu, perawat berperan sebagai agen perubahan, komunikator yang efektif dalam tim multidisiplin, serta pendidik yang meningkatkan literasi kesehatan pasien.
Perawat juga menjadi pemimpin dan manajer dalam tim layanan kesehatan, pengguna riset untuk mengaplikasikan praktik berbasis bukti, serta manajer kasus yang mengkoordinasikan layanan sesuai kebutuhan individu pasien.
Bahkan, dengan kompetensi yang terus berkembang, perawat dapat menjalani peran professional lebih luas seperti nurse practitioner atau administrator layanan kesehatan (Berman et al, 2022).
Semua peran ini menegaskan bahwa di era digital sekalipun, perawat tetap menjadi pilar utama yang menjaga keseimbangan antara teknologi dan kemanusiaan dalam sistem pelayanan kesehatan.
Namun, profesi keperawatan menghadapi tantangan terbatasnya integrasi teknologi dalam pendidikan dan praktik. Di masa mendatang, diharapkan adanya penguatan kurikulum digital, peran perawat sebagai inovator dan edukator, serta kesiapan menghadapi layanan berbasis teknologi agar tetap relevan terhadap kebutuhan zaman (Marjanovic et al., 2021).
Pada akhirnya, terbukti bahwa peran perawat dalam pelayanan kesehatan tidak tergantikan sepenuhnya oleh AI atau robot. Justru dengan hadirnya kemajuan teknologi, peran perawat menjadi semakin penting untuk memastikan bahwa pasien tetap merasakan layanan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Hal ini, mengajak kita untuk tidak menilai teknologi sebagai ancaman, melainkan sebagai alat bantu yang menguatkan peran perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan secara holistik. AI bisa mengenali gejala, akan tetapi hanya perawat yang mampu berempati dengan perasaan dan pengalaman klien.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News