otonomi sebagai nilai profesional perawat hambatan atau ruang gerak - News | Good News From Indonesia 2025

Otonomi sebagai Nilai Profesional Perawat: Hambatan atau Ruang Gerak?

Otonomi sebagai Nilai Profesional Perawat: Hambatan atau Ruang Gerak?
images info

Apa sebenarnya yang terlintas di pikiran ketika mendengar kata "perawat"? Pelaksana instruksi dokter? Atau profesional kesehatan yang punya wewenang dan pertimbangan klinis sendiri?

Dalam sistem kesehatan dunia yang semakin kompleks, perawat bukan lagi “tangan kanan profesi lain.” Faktanya, perawat berada di garis depan, menjadi ujung tombak pelayanan yang bahkan hadir 24/7 dan bersentuhan langsung dengan pasien.

Dalam konteks profesionalisme, muncul satu nilai penting yang kerap diperdebatkan—otonomi. Otonomi perawat bukan soal kebebasan mengambil keputusan tanpa batasan, melainkan tentang sejauh mana perawat dipercaya sebagai tenaga profesional yang mampu berpikir kritis dan bertanggung jawab atas tindakannya.

Namun, apakah otonomi ini benar-benar bisa dijalankan secara nyata dalam praktik? Atau justru menjadi hambatan karena kuatnya budaya hierarkis dan keterbatasan regulasi?

Apa Itu Otonomi Keperawatan?

Dalam dunia profesional, otonomi merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan secara mandiri, berdasarkan pengetahuan, etika, dan tanggung jawab yang melekat pada profesinya.

American Association of Colleges of Nursing (AACN) mendefinisikan otonomi (autonomy) sebagai hak untuk menentukan nasib sendiri. Dalam praktik keperawatan profesional, nilai otonomi tercermin ketika perawat menghormati hak pasien untuk membuat keputusan tentang perawatan kesehatan mereka (Berman et al., 2021).

Hal ini menunjukkan bahwa otonomi bukan sekadar hak untuk “berdiri sendiri,” tetapi juga bentuk kepercayaan bahwa perawat mampu menilai kondisi pasien dan menentukan intervensi yang tepat tanpa harus selalu menunggu instruksi dari pihak lain.

Otonomi dalam keperawatan mencakup kemampuan mengambil keputusan klinis, kebebasan untuk bertindak sesuai dengan kode etik, serta keberanian untuk menyuarakan kepentingan pasien secara aktif.

Perawat yang otonom dapat mempertimbangkan aspek fisik, psikologis, sosial, hingga spiritual pasien dalam membuat keputusan keperawatan yang bersifat holistik.

Namun, otonomi tidak datang begitu saja. Untuk dapat berpraktik secara otonom, perawat harus memiliki kompetensi klinis dan keberanian moral untuk mengambil tanggung jawab penuh dalam situasi yang menjadi lingkup kewenangannya. Tanpa keduanya, otonomi hanya akan menjadi ruang kosong—atau bahkan disalahartikan sebagai bentuk pembangkangan (Skar, 2010).

Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa otonomi bukanlah hambatan dalam sistem, melainkan bagian penting dari profesionalisme keperawatan itu sendiri.

Perawat yang otonom justru memperkuat sistem pelayanan kesehatan—karena mereka mampu bertindak cepat, berpikir kritis, dan bertanggung jawab atas setiap tindakan yang diambil.

Hambatan vs Ruang Gerak?

Otonomi perawat sering kali dianggap sebagai cita-cita ideal dalam praktik keperawatan. Namun di sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan bahwa otonomi ini belum sepenuhnya terwujud. Bahkan, bagi sebagian perawat, otonomi justru terasa seperti hambatan ketimbang kekuatan.

Budaya kerja yang masih dokter-sentris, sistem hirarkis dalam pelayanan kesehatan, serta batasan regulasi menjadi penghalang utama otonomi perawat. Dalam banyak kasus, perawat masih dipandang sebagai pelaksana teknis daripada pengambil keputusan profesional (Skar, 2010).

Selain itu, kurangnya pengakuan profesional dan dukungan kebijakan juga membuat perawat enggan mengambil keputusan mandiri, karena takut disalahkan atau dianggap melanggar kewenangan.

Ruang Gerak yang Terbuka

Faktanya, otonomi juga bisa menjadi ruang gerak yang membuka peluang besar bagi perawat. Ketika diberi kepercayaan dan keleluasaan dalam praktik, perawat terbukti mampu mengambil keputusan cepat, tepat, dan berorientasi pada pasien.

Di negara maju seperti Kanada dan Australia, perawat dengan kewenangan praktik mandiri (nurse practitioner) menunjukkan hasil perawatan yang sebanding, bahkan dalam beberapa kasus lebih baik, dibanding model layanan konvensional (Maier & Aiken, 2016).

Ini menunjukkan bahwa ketika otonomi didukung oleh kompetensi dan sistem yang tepat, maka kualitas layanan akan meningkat.

Lebih dari itu, otonomi memperkuat identitas profesional perawat. Mereka tak lagi hanya “membantu” profesi lain, tapi berdiri sebagai mitra sejajar dalam sistem kesehatan.

Otonomi juga memampukan perawat untuk menjadi pembela hak pasien (patient advocate), yang mampu menyuarakan kebutuhan pasien secara holistik dan manusiawi.

Sudahkah Ruang Gerak Perawat Adil?

Otonomi bukan sekadar hak istimewa, tetapi cerminan dari tingkat profesionalisme yang telah berkembang dalam diri seorang perawat. Ia tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan dibangun melalui proses panjang: pendidikan, pengalaman, pembelajaran etika, hingga pengakuan dari sistem dan masyarakat.

Memang, dalam praktiknya otonomi masih menghadapi banyak tantangan, mulai dari sistem yang kaku hingga budaya kerja yang belum sepenuhnya mendukung kemandirian perawat. Namun, menempatkan otonomi sebagai hambatan justru akan mengkerdilkan potensi luar biasa dari profesi ini.

Sebaliknya, jika dilihat sebagai ruang gerak, otonomi bisa menjadi pintu masuk menuju pelayanan keperawatan yang lebih responsif, manusiawi, dan berorientasi pada pasien.

Dengan otonomi, perawat bisa berdiri sejajar dalam tim kesehatan, mengambil keputusan berdasarkan ilmu, dan membela hak-hak pasien dengan lebih berani.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AD
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.