dari spotify hingga ikea pelajaran berharga dari negeri 10 juta jiwa - News | Good News From Indonesia 2025

Dari Spotify hingga IKEA: Pelajaran Berharga dari Negeri 10 Juta Jiwa

Dari Spotify hingga IKEA: Pelajaran Berharga dari Negeri 10 Juta Jiwa
images info

Dalam penerbangan saya dari Surabaya ke Jakarta beberapa minggu lalu, saya satu baris dengan seorang turis muda dari Stockholm, Swedia. Namanya Halvar, mungkin usianya sekitar awal 30-an. Ia sudah dua minggu berkeliling Jawa, Bali, dan Lombok. Rambut pirang, bahasa Inggris dengan logat khas Nordik, dan ransel yang tampaknya sudah menempuh banyak petualangan.

Percakapan kami pun mengalir cepat. Mulai dari keindahan pantai di selatan Lombok sambil dia memperlihatkan foto-foto di kameranya, keheningan Ranu Kumbolo, sampai cerita-cerita ringannya tentang kesehariannya di kampung halamannya di Stockholm (ibukota Swedia), tentang musim dingin yang panjang, kebiasaan minum kopi di kantor (yang mereka sebut fika), hingga bagaimana warga Swedia sangat memperhatikan keseimbangan hidup.

Saya mendapati diri saya membayangkan Stockholm dari ceritanya: kota di mana desain minimalis berpadu dengan hijaunya pepohonan, di mana setiap orang memiliki waktu untuk fika (ritual minum kopi dan bersosialisasi yang lebih dari sekadar jeda—ini adalah filosofi hidup), dan di mana efisiensi bukan berarti tanpa kehangatan.

"Kami sangat menghargai waktu," ujar Halvar, "tapi bukan untuk terburu-buru. Justru untuk memastikan setiap momen punya kualitasnya sendiri." Ini adalah sudut pandang yang jarang saya temui, dan membuat saya berpikir: mungkinkah ada benang merah antara cara hidup ini dengan kesuksesan global mereka?

Obrolan itu awalnya terasa ringan, seperti percakapan biasa antar penumpang pesawat yang kebetulan satu baris. Namun perlahan, dari balik logat Nordiknya yang tenang, saya mulai menangkap nada berbeda saat ia bercerita tentang pekerjaannya. Ia bekerja di sebuah perusahaan rintisan teknologi yang sedang memperluas jangkauannya ke Asia. Dari situ, topik pun bergeser, bukan dengan sengaja, tapi seolah mengalir begitu saja, ke cara berpikir orang Swedia dalam membangun bisnis, pendekatan mereka terhadap kualitas hidup, dan hubungan mereka dengan dunia luar.

Ia menyebut nama-nama seperti IKEA, Spotify, H&M, Volvo, dan bahkan SAAB dengan semacam kebanggaan yang tidak meledak-ledak—tenang, bahkan nyaris malu-malu.

“Swedia memang negara kecil, populasi hanya 10 juta lebih sedikit,” ujarnya sambil tersenyum, “tapi sejak kecil kami dibiasakan melihat dunia jauh di luar batas-batas negara. Jadi, kami tak heran waktu tahu IKEA ada di kota kamu, Surabaya.” Kalimat itu terngiang di kepala saya bahkan sampai pesawat mendarat.

Percakapan singkat itu menjadi pemantik keingintahuan saya. Bagaimana mungkin sebuah negara yang secara demografi dan geografis tidak besar, bisa begitu dominan di panggung bisnis global? Pertanyaan itu membawa saya pada pencarian yang akhirnya mengalirkan tulisan ini.

Negeri Kecil, 'Pengaruh' Besar

Swedia adalah bukti hidup bahwa kecil itu bukan berarti lemah. Negara ini telah menciptakan merek-merek dunia seperti IKEA, Spotify, Volvo, Ericsson, H&M, Tetra Pak, dan SAAB yang tak cuma terkenal, tapi juga menjadi standar baru bagi industri mereka masing-masing. Mereka "tidak hanya menjual produk, mereka menawarkan filosofi", kata orang Swedia.

Menariknya, ini bukan sekadar persepsi. Data mendukung keunggulan Swedia. Menurut Kantar BrandZ, IKEA dan Spotify termasuk dalam merek paling bernilai secara global. H&M memiliki lebih dari 3.800 toko di lebih dari 70 negara. Spotify, lahir di Stockholm pada 2008, kini digunakan di lebih dari 180 negara oleh ratusan juta pengguna. Bayangkan, semua ini dari negara yang penduduknya cuma 0,13% dari total populasi dunia!

Pengaruh Swedia bahkan meluas jauh melampaui ranah bisnis dan teknologi, merambah ke budaya pop yang mendunia. Industri musik Swedia telah melahirkan superstar dan ikon genre yang tak lekang oleh waktu. Sebut saja nama-nama legendaris seperti ABBA, Roxette, Ace of Base, dan Europe.

Generasi yang lebih baru juga tak kalah produktif, dengan DJ kenamaan seperti Avicii dan grup seperti Swedish House Mafia yang menguasai panggung EDM global, hingga musisi seperti Eagle-Eye Cherry, The Cardigans, Dr. Alban, Alcazar, Vikingarna, Rednex, Basshunter, Army of Lovers, dan A-Teens yang juga meninggalkan jejak signifikan di dunia musik internasional. Ini menunjukkan bahwa kekuatan inovasi dan kreativitas Swedia adalah fenomena lintas sektor, tidak hanya terbatas pada dunia korporat.

Rahasia Di Balik Kesuksesan Global Swedia

Apa sebenarnya rahasia Swedia dalam mencetak merek-merek global yang mampu mendominasi pasar internasional? Jawabannya terletak pada kombinasi unik antara strategi, budaya, dan kebijakan jangka panjang yang konsisten diterapkan selama beberapa dekade.

Pertama, Swedia adalah negara dengan pasar domestik yang kecil. Dengan hanya sekitar 10 juta penduduk, perusahaan-perusahaan Swedia sejak awal menyadari bahwa pertumbuhan jangka panjang hanya bisa dicapai dengan menjangkau pasar internasional. Maka dari itu, banyak dari mereka yang “lahir global”—sejak dini mendesain produk dan model bisnis untuk bersaing di luar negeri. Pola pikir global ini tidak datang belakangan, tapi sudah tertanam sejak perencanaan bisnis tahap awal. Turis muda tadi pun menyebut, “Kita tidak bisa bertahan kalau hanya bermain di kandang sendiri.”

Kedua, Swedia dikenal sebagai salah satu negara dengan investasi riset dan pengembangan tertinggi di dunia, dengan anggaran R&D yang secara konsisten melebihi 3% dari PDB. Universitas-universitas seperti KTH, Chalmers, dan Karolinska Institutet menjadi pusat keunggulan ilmu pengetahuan yang melahirkan SDM unggul dan ide-ide revolusioner. Lembaga-lembaga seperti Vinnova dan KK-stiftelsen berperan sebagai jembatan yang menghubungkan hasil penelitian dengan dunia industri.

Investasi besar ini tak hanya melahirkan talenta, tetapi juga memupuk suburnya ekosistem inovasi yang kemudian melahirkan banyak unicorn—startup bernilai lebih dari satu miliar dolar. Stockholm, misalnya, kerap dijuluki sebagai “Silicon Valley-nya Eropa” karena melahirkan perusahaan teknologi global seperti Klarna, Skype, Mojang (Minecraft), dan Oatly. Rasio unicorn per kapita Swedia hanya kalah dari Silicon Valley.

Di balik gemerlap unicorn dan investasi R&D, ada satu hal lagi yang penting: budaya pemberdayaan. Di Swedia, ide-ide baru tidak hanya didanai; mereka diberi ruang untuk bernapas, bereksperimen, dan bahkan gagal. Ada semacam toleransi terhadap risiko yang diperhitungkan, sebuah kepercayaan bahwa inovasi lahir dari kebebasan untuk mencoba. Ini bukan hanya tentang kebijakan pemerintah atau dana investasi, tetapi juga tentang mentalitas kolektif yang mendorong setiap individu untuk berkontribusi pada kemajuan.

Namun, tentu saja, teknologi hanyalah satu potong dari keseluruhan puzzle. Budaya kerja Swedia juga memainkan peran besar. Mereka punya gaya manajemen yang kolaboratif, dengan struktur organisasi yang cenderung datar. Keputusan diambil melalui musyawarah dan transparansi dijunjung tinggi. Ini menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, responsif, dan penuh rasa saling percaya—faktor penting untuk mendorong inovasi.

Untuk memahami sisi lain dari daya saing Swedia, kita bisa melihat dari cara mereka mendesain dan mengemas produknya yang khas, didorong oleh prinsip 'lagom'—konsep keseimbangan yang berarti “tidak terlalu banyak, tidak terlalu sedikit”. Produk-produk Swedia terkenal fungsional, tahan lama, dan estetik. Baik itu furnitur dari IKEA maupun antarmuka pengguna Spotify, semuanya mencerminkan kesederhanaan yang elegan.

Konsep lagom ini bukan hanya sekadar estetika, melainkan juga cerminan dari keberlanjutan dan fungsionalitas yang mendalam. Produk Swedia dirancang untuk bertahan lama, untuk melayani tujuan utamanya tanpa embel-embel yang tidak perlu. Ini adalah "kesederhanaan cerdas" yang meminimalkan limbah dan memaksimalkan nilai, sebuah pendekatan yang kini menjadi dambaan di seluruh dunia. "Anda tidak membeli sekadar barang; Anda membeli sebuah solusi yang telah dipikirkan matang, didesain dengan hati, dan dibuat untuk sebuah tujuan", kira-kira begitu. 

Tak kalah penting, Swedia juga menunjukkan kepemimpinan dalam isu keberlanjutan yang semakin menentukan di abad ini. Volvo (meski kepemlikian sudah berpindah ke Geely, namun perusahaan tetap di Swedia) telah berkomitmen untuk menjadi produsen mobil listrik sepenuhnya pada 2030. IKEA ingin menjadi perusahaan yang climate-positive pada tahun yang sama. H&M meluncurkan koleksi berkelanjutan dan program daur ulang pakaian. Tetra Pak sedang bereksperimen dengan kemasan bebas aluminium. Ini bukan sekadar strategi pemasaran—melainkan bagian dari DNA bisnis mereka.

Keunggulan mereka juga dibentuk oleh kesiapan infrastruktur digital. Jauh sebelum internet menjadi kebutuhan utama seperti sekarang, Swedia sudah menyiapkan fondasinya sejak 1990-an, saat mereka mendorong penetrasi broadband dan memberikan subsidi komputer rumah. Hasilnya adalah masyarakat yang tech-savvy dan terbuka terhadap teknologi baru—tanah subur bagi ide-ide digital yang bisa langsung diuji dan diserap pasar lokal sebelum go international.

Sebagai pamungkas dari rangkaian kekuatan ini, perlu disoroti bagaimana peran negara ikut memuluskan jalan para brand Swedia di panggung global. Pemerintah mereka tidak hanya menciptakan iklim investasi yang menarik, tapi juga aktif membentuk citra nasional melalui strategi “Brand Sweden”. Dengan mengedepankan nilai-nilai seperti inovasi, kolaborasi, dan tanggung jawab, brand dari Swedia masuk ke pasar global dengan reputasi yang sudah positif lebih dulu.

Mungkin pelajaran terbesar dari Swedia bukanlah tentang seberapa besar PDB atau jumlah unicorn. Ini tentang kesadaran kolektif bahwa setiap inovasi, setiap fika yang bermakna, setiap produk yang dirancang dengan prinsip lagom, adalah bagian dari identitas nasional yang kuat. Mereka membuktikan bahwa dengan pola pikir yang tepat, fokus pada kualitas, keberlanjutan, dan inklusivitas, negara kecil pun bisa menjadi mercusuar bagi dunia. Mereka mengajarkan bahwa bukan hanya perusahaan besar yang membawa perubahan, tetapi juga setiap individu yang berpikir global dan bertindak dengan tujuan.

Pada akhirnya, ini adalah inti pelajaran berharga dari Swedia: Kesuksesan global bukanlah soal seberapa besar sebuah negara, melainkan seberapa besar cara berpikirnya. Dan siapa tahu, dari garasi kecil di Yogyakarta atau rumah kopi di Makassar, lahir brand global Indonesia.

Referensi:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

AH
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.