Terdapat banyak kata di dalam bahasa Indonesia yang berakhiran -at menjadi berakhiran -ek di dalam bahasa Minangkabau. Contohnya? Ada kilat (menjadi kilek), kuat (menjadi kuek), lompat (menjadi lompek), dan dapat (menjadi dapek).
Namun, kadang ada pula yang berpikiran bahwa pantat dalam bahasa Minangkabau berubah menjadi pantek karena mereka menganggap bahwa semua yang berakhiran -at dalam bahasa Indonesia tadi menjadi -ek jika dipindahkan ke dalam bahasa Minang. Jika pantek bukan berarti ‘pantat’, lantas apakah pantek ini sebenarnya?
Latar Belakang Kata Pantek dan Artinya dalam Bahasa Minang
Tentunya akan sangat menyenangkan jika kita mengetahui latar belakang dari suatu hal. Namun, tidak terdapat keterangan pasti kapan pertama kali kata pantek diucapkan oleh masyarakat Minangkabau. Salah satu sumber yang saya dapatkan tentang kata pantek ditemukan di dalam kamus susunan Johannes Ludovicus van der Toorn, Minangkabausch-Maleisch-Nerdelangsch Woordenboek (1891).
Di dalam kamus itu, pantek ditulis pantè: de cunnus (Latin) yang berarti ‘vulva/vagina/alat kelamin perempuan’. Sementara itu, pantek ditulis dengan huruf k pertama kali muncul di dalam Kamus Minangkabau-Indonesia (1985) terbitan Pusat Bahasa. Apa artinya?
Menurut Kamus Minangkabau-Indonesia tersebut, pantek memiliki arti yang sama, yakni ‘alat kemaluan perempuan’.
Setidaknya, dengan adanya kamus susunan dari Johannes Ludovic van der Toorn itu, kita dapat berasumsi bahwa orang Minang sudah mengucapkan kata pantek sejak tahun 1800-an, dan tentunya bisa lebih jauh dari itu.
Baca Juga: Bahasa Padang dalam Kehidupan Sehari-Hari: Warisan Budaya yang Terjaga
Pantek sebagai Kata Makian
Sebelum pembahasan lebih lanjut mengenai kata pantek, terlebih dahulu, saya jelaskan penggunaan kata makian di dalam tulisan ini. Dalam KBBI V, makian diartikan sebagai, “n kata keji yang diucapkan karena marah dan sebagainya”, sedangkan memaki berarti, “v mengucapkan kata-kata keji, tidak pantas, kurang adat untuk menyatakan kemarahan atau kejengkelan.”
Dengan begitu, memaki tidak hanya dapat ditujukan kepada lawan tutur, tetapi juga dapat ke segala hal di dunia ini, bahkan kepada diri penutur sendiri. Hal itu sangat berbeda dengan menghina dan mengumpat.
KBBI V mengartikan menghina sebagai, “v merendahkan; memandang rendah (hina, tidak penting)” dan “v memburukan nama baik orang; menyinggung perasaan orang (seperti menghina, memaki-maki)”.
Di sisi lain, mengumpat sendiri diartikan sebagai, “v mengeluarkan umpat(an); memburuk-burukkan orang; mengeluarkan kata-kata kotor karena marah.” Dua kata tersebut memiliki tendensi arti yang ditujukan ke lawan tutur (orang).
KBBI V mencatat bahwa memaki ialah respon seseorang terhadap emosi yang sedang dirasakan, marah atau jengkel. Namun, seorang linguis seperti Magnus Ljung, yang terdapat dalam bukunya Swearing: A Cross-Cultural Lingustic Study (2011: 22-23), tetap mengategorikan hal tersebut sebagai memaki(swearing). Ia tidak mengotak-ngotakan bahwa emosi yang dibawa oleh seseorang yang memaki, baginya “memaki [...] memiliki makna emotif untuk mengungkapkan keadaan pikiran penutur.
”Keadaan pikiran itu bisa banyak faktor, berang, sedih, kaget, takut dan senang. Jadi penutur menggunakan kata makian dalam mengungkapkan pikirannya tersebut, seperti ditulis lebih jauh oleh Ljung."
Salah satu fungsi dari makian adalah menjelaskan secara langsung emosi yang dipikirkan oleh penutur ketika memaki [...] dan pilihan tersebut seperti marah, terkejut, senang, hanya bisa dilihat dari konteks, kapan, di mana dan pada siapa si penutur memaki”. Di dalam tulisan ini, saya merumuskan memaki dan makian seperti apa yang dirumuskan Ljung tersebut.
Baca Juga: 12 Kuliner Khas Sumatera Barat yang Lamak Bana, Wajib Dicoba!
Sekarang lanjutan dari pembahasan awal. Sebagaimana yang terdapat di dalam kamus bahwa pantek berarti ‘kelamin perempuan’, kata initergolong nomina (kata benda) dan ia juga termasuk kedalam kategori makian anggota tubuh atau lebih khusunya yaitu makian organ seksual. Namun, dari saya, sebagai penutur bahasa Minangkabau, penggunaan kata pantek nyaris tidak merujuk kepada makna aslinya (kelamin perempuan).
Salah satu penulis Muhaimin Nurizqy melakukan survei, di dalam kuesionernya ia menulis sebuah pertanyaan, “Menurut Anda, apa arti kata pantek?”, beragam jawaban pun muncul: bajingan, kurang ajar, tahi, pendosa, payudara, vagina, dan terkutuk.
Hasil survei tersebut menegaskan bahwa pemaknaan kata pantek itu beragam, bukan hanya antardaerah, melainkan juga antarindividu. Di samping itu, hampir semua penutur dalam data tersebut tidak merujuk kepada kelamin perempuan ketika dihadapkan kata pantek, terutama dalam memaki.
Di sini, kita menemukan salah satu keunikan dari kata makian seperti pantek, sebagaimana yang ditulis oleh Magnus Ljung sebelumnya:
“Keistimewaan kata makian adalah hadirnya kata-kata tabu yang tidak digunakan sesuai makna referensial atau denotatifnya, tetapi berfungsi secara eksklusif sebagai indikasi keadaan pikiran penutur sehingga memaki tidak memiliki makna dalam arti ekspresi referensial. Sebaliknya, ia memiliki makna emotif untuk mengungkapkan keadaan pikiran pembicara.”
Terdapat pula eufemisme untuk kata pantek yang hadir dalam bentuk yang dianggap lebih halus, walaupun itu juga termasuk kedalam kategori makian, contohnya meliputi pantak dan pantang.
Minimnya penggunaan kata pantek untuk membicarakan vagina (kelamin perempuan) di lingkungan tuturan menyebabkan makna asli dari kata tersebut makin lama kian pudar—jika tidak dapat dikatakan hilang. Hal tersebut lantas membuat kata pantek tidak lebih dari sebuah kata tabu yang kasar dan pantangan untuk diucapkan.
Keragaman makna dan pudarnya makna asli itu pula yang membuat kata pantek bisa disebut sebagai bentuk nyata dari kata makian jika kita merujuk kriteria di dalam buku Ljung tadi, bahwa salah satu karakter penting yang dimiliki oleh sebuah kata makian ialah hilangnya makna asli dari kata itu ketika digunakan di dalam sebuah ujaran.
Dengan kata lain, pantek menjadi kata makian jika berada di konteks tertentu yang membuat maknanya berubah; bukan hanya berarti 'kelamin perempuan', tetapi juga bisa bermakna 'kurang ajar', 'tahi', ataupun 'bajingan'.
Baca Juga: Mengenal Suku Batak: Sejarah, Marga, Bahasa, hingga Kebudayaanya
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News