Di tengah gegap gempita peringatan May Day 2025, ada permasalahan yang harus diselesaikan: kesejahteraan buruh Indonesia masih jauh dari kata ideal.
Meski pemerintah telah menaikkan upah minimum nasional sebesar 6,5% tahun ini, realitas di lapangan menunjukkan ketimpangan yang menganga.
"Masih ada upah minimum provinsi di bawah Rp2 juta, sementara kebutuhan hidup terus melambung," tegas Prof. Dr. Sutinah, Guru Besar Sosiologi UNAIR, dikutip dari unair.ac.id.
Warisan UU Cipta Kerja
Revisi UU Cipta Kerja yang digadang-gadang sebagai solusi justru menuai kritik pedas. "Fleksibilitas outsourcing dan penghapusan cuti panjang wajib justru melemahkan posisi buruh," papar Prof. Sutinah.
Sistem kerja kontrak dan gig economy semakin meminggirkan pekerja, dengan 60% buruh outsourcing tidak memiliki akses jaminan sosial lengkap.
Ironisnya, banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia justru menjadi pelaku terburuk dalam hal ini.
Mengapa Boikot Harus Meluas ke Perusahaan Eksploitator?
Gerakan boikot produk Israel patut diapresiasi, tapi bagaimana dengan perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi buruh Indonesia sendiri?
"Masyarakat harus menjadi konsumen yang cerdas dengan menolak produk dari perusahaan yang sering melakukan PHK massal atau melanggar hak pekerja," seru Prof. Sutinah.
Beberapa raksasa retail dan manufaktur asing diketahui membayar upah di bawah standar, tidak mendaftarkan pekerja ke BPJS, dan kerap melakukan intimidasi terhadap buruh yang ingin berserikat.
Baca juga Perusahaan Wajib Tahu! 5 Hal Penting yang Diinginkan Pekerja Selain Gaji
Solidaritas untuk Perubahan
Solusinya? "Perlu aliansi kuat antara serikat buruh, aktivis, dan masyarakat sipil," tegas Prof. Sutinah.
Langkah konkret bisa dimulai dengan pemetaan perusahaan pelanggar hak buruh oleh lembaga independen, kampanye konsumen bertanggung jawab yang menyasar merek-merek eksploitatif, serta pendampingan hukum gratis bagi buruh korban PHK sepihak .
May Day bukan sekadar seremonial. Di usia 140 tahun peringatannya, semangat perjuangan buruh harus terus hidup - bukan hanya di jalanan, tapi juga dalam kebijakan nyata dan kesadaran kolektif kita sebagai konsumen.
Sebab, selama masih ada buruh yang digaji Rp1,9 juta untuk kerja 12 jam sehari, perjuangan ini belum usai.
Baca juga Pekerja Indonesia, Mencari Solusi di Tengah Otomasi
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News