Halo, Kawan GNFI!
Pendidikan bukan hanya tentang belajar membaca dan berhitung. Di balik setiap lembar buku pelajaran yang kamu pegang, ada jejak sejarah panjang dari sistem kurikulum yang terus berubah seiring zaman. Kurikulum bukan hanya daftar mata pelajaran, ia adalah cetak biru bagi masa depan bangsa.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri bagaimana kurikulum Indonesia berevolusi dari masa kolonial, pasca kemerdekaan, Orde Baru, hingga saat ini, di mana Kurikulum Merdeka menjadi tonggak baru. Yuk, kita mulai perjalanan sejarah ini!
Masa Kolonial: Kurikulum sebagai Alat Kekuasaan
Pada masa penjajahan Belanda, pendidikan tidak ditujukan untuk mencerdaskan bangsa, melainkan untuk mencetak tenaga kerja rendahan yang patuh pada sistem kolonial. Lembaga pendidikan seperti Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dan Europeesche Lagere School (ELS) dikhususkan untuk anak-anak elite pribumi dan Belanda. Kurikulum diatur untuk membatasi akses ilmu dan membentuk kasta dalam pendidikan.
Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), pendidikan berubah arah. Jepang menghapus simbol-simbol Belanda, mengganti bahasa pengantar menjadi bahasa Indonesia, dan memperkenalkan sekolah rakyat atau Kokumin Gakko.
Kurikulum dipusatkan pada indoktrinasi nilai-nilai Asia Timur Raya dan kepatuhan pada kekaisaran Jepang. Pendidikan tidak mengedepankan ilmu pengetahuan, tetapi lebih sebagai alat propaganda perang.
Periode Awal Kemerdekaan: Mencari Jati Diri Bangsa
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945, sistem pendidikan mulai diarahkan untuk membentuk jati diri bangsa. Kurikulum pertama Indonesia bernama Rencana Pelajaran 1947, yang masih banyak dipengaruhi oleh sistem Belanda. Fokus utamanya bukan pada akademik, tetapi pada pembentukan watak, moral, dan semangat kebangsaan.
Pada Kurikulum 1952, pendekatan pendidikan mulai berkembang dengan penekanan pada korelasi antara mata pelajaran dan kehidupan masyarakat. Guru diwajibkan hanya mengajar satu mata pelajaran sesuai keahliannya, yang menandai profesionalisme dalam pendidikan.
Kurikulum 1964 hadir dengan konsep Pancawardhana yang berfokus pada lima aspek perkembangan manusia: cipta, rasa, karsa, karya, dan moral. Pemerintah bahkan menetapkan hari Sabtu sebagai hari pengembangan minat dan bakat siswa.
Masa Orde Baru: Penyempurnaan Kurikulum dan Standarisasi Nasional
Di bawah rezim Orde Baru, pendidikan dianggap sebagai alat pembangunan nasional. Kurikulum 1968 disusun untuk mendukung cita-cita menciptakan “manusia Pancasila” melalui tiga komponen: pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan keterampilan khusus.
Kurikulum 1975 menjadi simbol penerapan konsep manajemen modern dalam pendidikan, dengan model PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) dan istilah Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Namun, kurikulum ini dinilai terlalu administratif, membebani guru dengan laporan yang rumit.
Kurikulum 1984 memperkenalkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), yang menekankan partisipasi aktif siswa. Siswa tidak hanya menerima informasi, tetapi diajak berpikir kritis dan menyelesaikan masalah melalui diskusi, pengamatan, dan praktik langsung.
Kemudian datang Kurikulum 1994 dan Suplemen 1999, yang mencoba menggabungkan pendekatan sebelumnya, tapi dikritik karena padatnya materi pelajaran. Muatan lokal mulai diperkenalkan, seperti bahasa daerah dan keterampilan tradisional.
Era Reformasi: Otonomi dan Kompetensi
Memasuki era reformasi, Indonesia mulai bergerak ke arah otonomi pendidikan. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 menandai pergeseran paradigma dari materi ke kompetensi. Sekolah diberikan kebebasan lebih dalam menyusun kurikulum sesuai karakteristik daerah dan kebutuhan peserta didik.
Namun, dalam praktiknya, banyak sekolah kesulitan menerapkan KBK karena keterbatasan guru dan sarana. Oleh karena itu, lahirlah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, yang merupakan penyederhanaan dari KBK. Guru didorong menjadi perancang utama pembelajaran yang sesuai dengan kondisi lokal.
Di sinilah peran penting guru benar-benar diakui. Namun, tantangannya juga besar. Banyak guru yang belum terbiasa dengan fleksibilitas ini, sementara daerah-daerah tertinggal belum memiliki sumber daya yang cukup untuk berinovasi dalam pembelajaran.
Kurikulum 2013: Integrasi Pengetahuan dan Karakter
Kurikulum 2013 (K-13) lahir dengan semangat menghadapi tantangan abad ke-21. Kurikulum ini menekankan pada integrasi tiga aspek kompetensi: sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Pendekatannya saintifik, mendorong siswa untuk observasi, bertanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan hasil belajarnya.
Kurikulum ini juga memperkuat nilai-nilai karakter melalui Profil Pelajar Pancasila. Evaluasi tidak hanya dilakukan secara kognitif, tetapi juga mencakup penilaian sikap dan perilaku.
Namun, banyak pihak menilai K-13 terlalu kompleks. Materi padat, perubahan administrasi guru yang besar, dan pelatihan yang belum merata menjadi kendala dalam implementasi. Karena itulah lahir kebutuhan akan pendekatan yang lebih fleksibel dan sederhana.
Kurikulum Merdeka: Pendidikan yang Fleksibel dan Adaptif
Kurikulum Merdeka diperkenalkan oleh Kemendikbudristek pada tahun 2022 sebagai respons terhadap krisis pembelajaran akibat pandemi COVID-19. Kurikulum ini bertujuan mengembalikan esensi pendidikan: belajar sesuai kebutuhan dan minat anak.
Ciri khasnya adalah:
- Fleksibilitas: Guru bebas menyusun pembelajaran sesuai konteks lokal.
- Proyek penguatan profil pelajar Pancasila: Siswa diajak terlibat dalam proyek nyata yang membentuk karakter dan keterampilan sosial.
- Pendekatan tematik: Terutama untuk jenjang PAUD dan SD, yang mengintegrasikan berbagai mata pelajaran.
Kurikulum ini juga tidak mengharuskan semua sekolah mengadopsinya sekaligus. Pemerintah menyediakan tiga pilihan: Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat (selama pandemi), dan Kurikulum Merdeka. Hingga kini, semakin banyak sekolah yang beralih ke Kurikulum Merdeka karena fleksibilitas dan penyederhanaan administratif yang ditawarkannya.
Tantangan Masa Kini dan Harapan Masa Depan
Meskipun arah kurikulum Indonesia semakin progresif, tantangan besar tetap ada:
- Kesenjangan kualitas pendidikan antar wilayah masih tinggi.
- Banyak guru belum sepenuhnya memahami esensi kurikulum baru.
- Infrastruktur pendidikan di daerah tertinggal belum memadai.
- Evaluasi pendidikan masih sering berorientasi pada angka, bukan proses.
Namun Kawan GNFI, di balik tantangan tersebut, ada harapan besar. Dengan semakin banyaknya komunitas pendidikan, kolaborasi guru, dan keterlibatan masyarakat, transformasi pendidikan bukan hal yang mustahil.
Perjalanan kurikulum Indonesia adalah refleksi dari perjalanan bangsa itu sendiri: penuh tantangan, namun terus berkembang. Dari alat penaklukan kolonial menjadi instrumen pembebasan intelektual dan karakter, kurikulum telah berubah arah demi menjawab kebutuhan generasi masa depan.
Dengan memahami sejarahnya, kita bisa lebih bijak mendukung kebijakan dan peran kita masing-masing di dunia pendidikan. Karena masa depan bangsa, dimulai dari ruang kelas hari ini.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News