Pembatalan rencana investasi raksasa Korea Selatan, LG Energy Solution, dalam proyek baterai kendaraan listrik (EV) di Indonesia menjadi peringatan penting terhadap kesiapan ekosistem EV nasional.
Kabar ini bukan hanya soal gagalnya satu proyek besar, tetapi juga membuka mata tentang kebutuhan mendesak akan reformasi struktural untuk memperkuat daya saing Indonesia di sektor kendaraan listrik global.
Menurut Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, pembatalan ini mencerminkan adanya tantangan strategis yang belum terselesaikan, mulai dari regulasi yang belum solid hingga lemahnya diplomasi investasi nasional.
"Indonesia punya potensi besar karena cadangan nikel yang melimpah, tapi tanpa reformasi yang nyata, potensi itu akan sulit diwujudkan," ujarnya sebagaimana dilansir dari Infopublik.
Indonesia-Korsel Mantapkan Kolaborasi untuk Energi Bersih dan Kendaraan Listrik
Tantangan Besar di Balik Potensi EV Indonesia
Meski Indonesia memiliki salah satu cadangan nikel terbesar dunia, komponen kunci dalam pembuatan baterai kendaraan listrik, tantangan struktural yang ada masih menjadi penghalang utama bagi investasi jangka panjang.
Data dari Kementerian Investasi menunjukkan bahwa sektor logam dasar dan pertambangan masih mendominasi Foreign Direct Investment (FDI) sepanjang 2024, dengan nilai masing-masing mencapai USD13,6 miliar dan USD5,2 miliar.
Namun, minat investor terhadap ekosistem EV nasional belum sekuat yang diharapkan.
“Investor masih percaya pada komoditas kita, tapi mereka ragu apakah ekosistem EV kita sudah siap. Ini soal eksekusi kebijakan, bukan lagi potensi di atas kertas,” tegas Josua.
Mengenal Plat Nomor Mobil Listrik: Warna, Jenis, dan Perbedaannya
Reformasi yang Mendesak untuk Kuatkan Ekosistem EV
Melihat kondisi ini, Josua Pardede menilai ada empat pilar penting yang harus segera diperkuat oleh pemerintah.
Pilar pertama adalah memperkuat kepastian hukum dan konsistensi kebijakan, terutama di sektor hilirisasi nikel, perizinan lingkungan, dan pemenuhan komponen lokal. Kepastian regulasi menjadi fondasi utama untuk membangun kepercayaan jangka panjang dari para investor.
Pilar kedua adalah memperluas dan memperkuat insentif strategis. Indonesia perlu menyediakan insentif fiskal dan non-fiskal yang kompetitif, seperti pengurangan pajak, jaminan pembelian (offtake), hingga kemitraan antara BUMN dan swasta, agar proyek-proyek EV tak berhenti hanya di tahap eksplorasi.
Selanjutnya, pilar ketiga adalah penguatan sumber daya manusia (SDM) industri. Reformasi pendidikan vokasi harus segera dijalankan untuk mencetak tenaga kerja teknis dan insinyur yang sesuai kebutuhan hilirisasi industri EV. Tanpa SDM yang mumpuni, pengembangan sektor ini akan menghadapi hambatan serius.
Terakhir, pilar keempat adalah memperkuat diplomasi ekonomi dan branding industri. Indonesia perlu aktif membangun citra sebagai negara stabil dengan infrastruktur siap investasi, seperti yang dilakukan Vietnam.
Keikutsertaan aktif dalam forum-forum strategis internasional juga penting untuk mempromosikan sektor EV nasional sebagai peluang emas bagi investor global.
30 Kota Ditargetkan Mampu Olah Sampah Jadi Listrik dan BBM pada 2029, Berapa Besar Potensinya?
Momentum Perubahan Menuju Pemain EV Dunia
Kegagalan investasi LG harus dilihat sebagai wake-up call bagi semua pihak. Momentum ini bisa menjadi titik balik bagi Indonesia untuk melakukan percepatan reformasi, bukan hanya di sektor peraturan, tetapi juga dalam mengintegrasikan ekosistem industri EV dari hulu ke hilir.
"Ini saatnya Indonesia membuktikan bahwa narasi sebagai pemain utama EV dunia bukan sekadar slogan, melainkan terealisasi melalui industrialisasi dan penciptaan nilai tambah di dalam negeri," tutup Josua.
Dengan reformasi yang tepat, Indonesia masih memiliki peluang besar untuk menjadi pusat industri EV di kawasan Asia bahkan dunia.
Mobil Listrik: Hemat atau Sekedar Tren Sesaat?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News