Pada tanggal 7 Oktober 1995, tepat pukul 01.18 WIB, tanah Kabupaten Kerinci, Jambi, berguncang hebat. Sebuah gempa bumi besar dengan kekuatan antara 6,8 hingga 7,0 magnitudo mengguncang daerah tersebut, meninggalkan jejak kehancuran dan duka yang dalam.
Gempa ini tidak hanya meluluhlantakkan bangunan, tetapi juga merenggut ratusan nyawa dan mengubah wajah Kerinci dalam sekejap.
Sumber gempa diketahui berasal dari aktivitas sesar aktif di sepanjang Sesar Besar Sumatra, khususnya segmen Sesar Siulak yang sebelumnya lama tidak menunjukkan aktivitas berarti.
Dampak yang ditimbulkan oleh gempa ini sangat luar biasa. Laporan resmi mencatat bahwa 84 hingga 100 orang meninggal dunia, 558 orang mengalami luka berat, serta 1.310 orang lainnya menderita luka ringan.
Lebih dari 17.600 bangunan dilaporkan rusak, dengan sekitar 4.000 di antaranya hancur total. Akibatnya, lebih dari 65.000 orang terpaksa kehilangan tempat tinggal dan harus mengungsi dalam kondisi serba darurat.
Di tengah keterbatasan, masyarakat Kerinci berusaha bangkit dari reruntuhan, meski trauma mendalam sulit untuk dihapuskan.
Tidak hanya di sekitar pusat gempa, getaran juga terasa hingga ke wilayah yang cukup jauh. Di Singapura, sekitar 470 km dari lokasi gempa, warga di gedung-gedung tinggi merasakan guncangan, menyebabkan kepanikan massal dan evakuasi sementara.
Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya kekuatan gempa yang terjadi di Kerinci, menjadikan peristiwa tersebut sebagai salah satu bencana gempa bumi besar yang tercatat dalam sejarah Indonesia modern.
Secara geologis, Kabupaten Kerinci memang berada di kawasan yang sangat rawan gempa. Wilayah ini dilintasi oleh Sesar Besar Sumatra atau yang lebih dikenal dengan nama Sesar Semangko, sebuah patahan besar sepanjang sekitar 1.900 km yang membelah Pulau Sumatra dari utara hingga selatan.
Sesar ini terbagi menjadi banyak segmen aktif, seperti Sesar Siulak, Sesar Toru, dan Sesar Tripa, yang masing-masing memiliki potensi besar untuk menghasilkan gempa-gempa merusak.
Kondisi geologi ini menjadikan Sumatra sebagai salah satu wilayah dengan tingkat kerentanan bencana alam tertinggi di Indonesia.
Sesar Semangko sendiri terbentuk akibat tumbukan lempeng Indo-Australia dan Eurasia, dua lempeng raksasa yang terus bergerak dan menekan satu sama lain. Tumbukan ini tidak hanya menyebabkan gempa bumi, tetapi juga membentuk pegunungan Bukit Barisan yang membentang sepanjang Pulau Sumatra.
Seiring waktu, energi dari pergerakan lempeng tersebut menumpuk di sepanjang sesar hingga akhirnya dilepaskan dalam bentuk gempa besar, seperti yang terjadi di Kerinci pada tahun 1995.
Tidak hanya Sesar Semangko, Indonesia memiliki banyak sesar aktif lain yang tersebar dari barat ke timur nusantara. Beberapa di antaranya adalah Sesar Mentawai di barat Sumatra, Sesar Lembang dan Cimandiri di Jawa Barat, Sesar Baribis di bagian utara Jawa, Sesar Kendeng di Jawa Timur, Sesar Palu Koro di Sulawesi Tengah, serta Sesar Sorong di Papua.
Semua sesar ini berkontribusi terhadap tingginya aktivitas seismik di Indonesia, membuat hampir seluruh wilayah tanah air rentan terhadap gempa bumi yang dapat terjadi kapan saja.
Tragedi gempa Kerinci 1995 menjadi pelajaran berharga mengenai pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana alam. Sayangnya, pada saat itu, sistem peringatan dini masih sangat terbatas, dan mitigasi bencana belum menjadi bagian integral dari kebijakan pemerintah daerah maupun nasional.
Akibatnya, korban jiwa dan kerusakan yang ditimbulkan tidak dapat diminimalisir secara maksimal. Peristiwa ini kemudian mendorong berbagai pihak untuk mulai memikirkan pembangunan sistem mitigasi bencana yang lebih baik di Indonesia.
Kini, setelah hampir tiga dekade berlalu, kenangan akan gempa Kerinci 1995 tetap hidup di benak masyarakat setempat. Monumen peringatan, cerita-cerita dari para penyintas, serta upaya membangun kembali kehidupan pasca bencana menjadi bagian dari perjalanan panjang Kerinci menuju pemulihan.
Tragedi ini bukan hanya menjadi catatan sejarah lokal, melainkan juga bagian dari perjalanan bangsa Indonesia dalam memahami dan menghadapi ancaman gempa bumi di negeri yang berada di atas "Cincin Api Pasifik" ini.
Dengan kondisi geografis Indonesia yang dikelilingi oleh sesar aktif dan lempeng tektonik, bencana seperti gempa bumi bukanlah hal yang bisa dihindari. Namun, kesiapsiagaan, pendidikan mitigasi bencana, pembangunan infrastruktur tahan gempa, serta sistem peringatan dini yang handal menjadi kunci untuk mengurangi dampak bencana di masa depan.
Tragedi gempa Kerinci 1995 menjadi pengingat abadi bahwa dalam menghadapi kekuatan alam, manusia perlu mengedepankan ilmu, kesiapsiagaan, dan solidaritas.
Dalam menghadapi masa depan, pembangunan berkelanjutan di daerah rawan gempa seperti Kerinci menjadi tantangan besar yang membutuhkan kerja sama berbagai pihak. Pemerintah pusat, daerah, lembaga riset, hingga masyarakat harus berperan aktif dalam mengembangkan tata ruang yang memperhatikan risiko gempa bumi.
Pendidikan kebencanaan harus diperkenalkan sejak dini di sekolah-sekolah, agar generasi muda memahami bahwa kesiapsiagaan adalah bagian dari kehidupan, bukan sekadar respons darurat saat bencana sudah terjadi. Dengan begitu, korban dan kerugian di masa depan dapat ditekan seminimal mungkin.
Belajar dari tragedi 1995, banyak komunitas lokal di Kerinci kini membangun kesadaran kolektif untuk lebih tanggap terhadap gempa. Latihan evakuasi rutin, penyusunan jalur evakuasi di desa-desa, serta pembangunan rumah-rumah berbahan material ringan yang lebih tahan terhadap guncangan menjadi bukti bahwa masyarakat tidak lagi pasrah terhadap bencana.
Kesadaran ini menjadi pondasi penting untuk membentuk budaya tangguh bencana yang kokoh. Kerinci, dengan segala luka lamanya, kini menatap masa depan dengan harapan baru: menjadi daerah yang kuat, siap, dan bijak menghadapi murka alam.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News