Di tengah riuh rendah ibu kota, terdapat barisan orang-orang yang tengah bekerja tanpa banyak sorotan kamera. Menyapu jalan, membenahi saluran air, memangkas ranting pohon yang mengganggu jalan, hingga memperbaiki trotoar yang mulai rusak.
Mereka adalah Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum, atau lebih dikenal sebagai PPSU. Dalam banyak hal, merekalah wajah nyata dari kerja pelayanan publik paling mendasar yang dirasakan warga Jakarta di setiap harinya.
Beberapa waktu terakhir, muncul sorotan terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang membuka kesempatan bagi lulusan Sekolah Dasar (SD) untuk menjadi Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU), atau yang biasa disebut dengan “Pasukan Oren”.
Kritik ini muncul dengan kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut dianggap menurunkan standar profesionalisme aparatur lapangan di ibu kota.
Namun jika kita cermati mendalam, kebijakan ini justru merupakan refleksi dari keberpihakan pemerintah terhadap realita sosial dan semangat inklusivitas dalam pembangunan kota Jakarta.
PPSU merupakan program yang dibentuk untuk mendukung pengelolaan lingkungan dan infrastruktur kota. Kehadiran mereka menjadi ujung tombak dalam menjaga kebersihan, memperbaiki jalan, membersihkan saluran air, hingga menangani penerangan jalan umum.
PPSU bukan hanya sekadar simbol kerja fisik, mereka adalah representasi nyata pelayanan pemerintah kepada masyarakat secara langsung dan cepat.
Maka, jika mempertanyakan latar belakang pendidikan mereka tanpa memahami konteks tugas dan tanggung jawabnya, bisa menimbulkan pandangan yang kurang tepat.
Program PPSU dibentuk dengan tujuan utama untuk memastikan penanganan prasarana dan sarana umum di lingkungan warga dapat dilakukan secara responsif, terintegrasi, dan berkelanjutan.
Keberadaan PPSU telah memberi dampak signifikan terhadap peningkatan kualitas lingkungan di Jakarta, terutama dalam merespons keluhan masyarakat atas masalah-masalah infrastruktur skala kecil hingga menengah.
Tugas-tugas seperti memperbaiki jalan berlubang, membersihkan sampah liar, atau memperbaiki saluran air yang mampet, bukan hanya membutuhkan ketekunan dan keterampilan teknis, tapi juga pemahaman akan kondisi lapangan yang tak selalu datang dari pendidikan formal semata.
Dalam regulasi yang mengatur, keberadaan PPSU diatur dalam beberapa peraturan gubernur, salah satunya adalah Pergub DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2017, yang kemudian diperbarui melalui Pergub Nomor 63 Tahun 2022.
Regulasi ini memperjelas tugas dan ruang lingkup kerja PPSU yang meliputi lima aspek utama; penanganan jalan/gang, saluran air, taman, kebersihan, dan penerangan jalan umum. PPSU juga bekerja dalam sistem shift, dan siap turun ke lapangan setiap saat.
Polemik mencuat ketika Pemprov DKI Jakarta melonggarkan syarat pendidikan minimal menjadi hanya lulusan SD. Padahal sebelumnya, syarat ini minimal SMA/sederajat. Banyak yang mempertanyakan langkah tersebut karena khawatir akan menurunkan kualitas layanan.
Namun sesungguhnya, kebijakan ini justru bertolak dari kondisi riil di masyarakat. Masih banyak warga Jakarta, khususnya dari kalangan menengah ke bawah, yang tidak memiliki akses pendidikan tinggi. Akan tetapi, memiliki keinginan kuat untuk bekerja dan berkontribusi bagi lingkungannya.
Pada tahun 2024, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah pengangguran terbuka di Indonesia untuk lulusan Sekolah Dasar (SD) mencapai 1.265.448 orang pada Februari. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk kelompok pendidikan ini tercatat sebesar 2,32% dari jumlah keseluruhan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengambil langkah inklusif dalam membuka akses lapangan kerja dan perlindungan sosial melalui kebijakan baru terkait rekrutmen petugas PPSU.
Dengan menurunkan syarat pendidikan minimum menjadi lulusan SD dan memperluas batas usia hingga 55–58 tahun, kebijakan ini memberikan peluang kerja yang lebih setara, manusiawi, dan berpihak pada kelompok masyarakat yang rentan.
Selain itu, kontrak kerja yang ditetapkan minimal selama tiga tahun mencerminkan komitmen Pemprov DKI Jakarta dalam memberikan kepastian pekerjaan, jaminan sosial, dan perlindungan hak bagi para pekerja informal.
Perubahan ini bukanlah penurunan standar pendidikan, melainkan bentuk kebijakan afirmatif untuk merangkul mereka yang selama ini terpinggirkan dari sistem ketenagakerjaan formal, sambil tetap menunjukkan komitmen terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
Adapun syarat untuk menjadi petugas PPSU saat ini, selain minimal lulusan SD, adalah sehat jasmani dan rohani, mampu membaca dan menulis, mampu bekerja dalam tim dan shift, serta memiliki komitmen terhadap tugasnya.
Mereka juga mendapatkan pelatihan teknis sebelum bertugas. Artinya, meskipun latar pendidikan formal yang terbatas, kualitas kerja tetap dijaga melalui pelatihan dan pembinaan.
Kita perlu melihat sudut pandang yang lebih luas mengenai keputusan ini dalam kerangka pemberdayaan masyarakat. Memberi kesempatan kepada lulusan SD untuk bekerja secara formal, mendapatkan gaji layak, dan memiliki jaminan sosial bukanlah bentuk kemunduran, tetapi justru bukti keberpihakan terhadap kelompok marjinal.
PPSU DKI Jakarta dibayar dengan standar yang cukup layak dibanding pekerjaan serupa di sektor informal. Gajinya mengikuti Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2025, yakni sebesar Rp5,3 juta per bulan. Selain menerima gaji bulanan, mereka juga mendapatkan tunjangan, seperti Tunjangan Hari Raya (THR) serta jaminan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Hal ini adalah bentuk nyata bahwa pekerjaan mereka dihargai secara layak, setara dengan kontribusi mereka terhadap masyarakat.
Sebagai bagian dari warga kota, kita semestinya mendukung kebijakan yang mendorong inklusivitas dan membuka kesempatan kerja bagi semua kalangan. Pekerjaan teknis seperti PPSU memang tidak menuntut gelar akademik. Namun, menuntut kepekaan sosial, semangat gotong-royong, serta ketahanan fisik yang luar biasa.
Maka, kritik terhadap lulusan SD yang menjadi PPSU perlu dilihat dalam kacamata yang lebih adil dan konstruktif. Alih-alih mempertanyakan latar belakang pendidikan mereka, lebih baik kita menilai dari hasil kerja mereka yang nyata; trotoar yang lebih bersih, saluran yang tidak mampet, taman yang terawat, dan jalan-jalan lingkungan yang lebih nyaman dilalui.
Kota Jakarta bukan hanya dibangun oleh orang-orang berseragam dan berpendidikan tinggi di balik meja, tetapi juga oleh tangan-tangan kuat yang bekerja tanpa kenal waktu demi wajah kota yang bersih dan teratur.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News