sejarah dan makna tradisi ruwatan bumi di madiun yang masih dilestarikan - News | Good News From Indonesia 2025

Sejarah dan Makna Tradisi Ruwatan Bumi di Madiun yang Masih Dilestarikan

Sejarah dan Makna Tradisi Ruwatan Bumi di Madiun yang Masih Dilestarikan
images info

Indonesia adalah negara yang memiliki segudang tradisi dan kebudayaan adat yang bermacam-macam. Kemajemukan budaya di Indonesia inilah yang menjadikannya sebuah identitas bangsa Indonesia di mata dunia.

Setiap pulau yang ada di Indonesia, dari penghujung sebelah barat hingga ke timur, ada banyak sekali suku, bangsa, ras, dan agama yang selain merupakan bukti kekayaan budaya Indonesia. Juga sebagai warisan leluhur yang sarat akan nilai-nilai kearifan lokal dan juga makna filosofis.

Salah satu bentuk kebudayaan yang masih kental di Indonesia adalah upacara-upacara adatnya, contohnya yang bisa kita lihat di Kota Madiun. Terdapat sebuah tradisi pembersihan diri dari keburukan dan malapetaka yang disebut ruwatan.

Seperti apakah prosesi tradisi adat ruwatan? Bagaimana sejarahnya dan makna apa saja yang terkandung di dalamnya? Mari, kita simak penjelasan berikut!

Apa itu Tradisi Ruwatan?

Tradisi adat ruwatan merupakan sebuah prosesi pembersihan dan penyucian diri yang hingga saat ini masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Jawa. 

Kata ruwatan dalam bahasa Jawa berarti “dilepaskan” atau “dibebaskan” yang biasanya dilaksanakan oleh orang-orang yang dianggap sukerta atau memiliki nasib yang kurang baik menurut kepercayaan masyarakat Jawa.

Dengan melaksanakan tradisi ruwatan, harapannya adalah orang tersebut dapat terbebas dari segala bentuk kesialan, nasib buruk, serta menjauhkan diri dari segala kemungkinan yang buruk terjadi.

Dalam pelaksanaanya, ruwatan memiliki dua jenis. Di antaranya adalah:

- Ruwatan Murwakala

Adalah tradisi ruwatanyang berfokus pada pembersihan diri dari segala sifat buruk, kesialan, malapetaka, dan kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya.

- Ruwatan Bumi

Sedangkan ruwatan bumi lebih berfokus pada pembersihan dan mensucikan bumi atau alam sekitar dari segala macam keburukan, kesialan, energi negatif, serta merupakan bentuk syukur kepada Tuhan atas keberkahan dan hasil panen yang melimpah.

Asal Muasal Tradisi Ruwatan

Tradisi ruwatan berasal dari cerita pewayangan tentang seorang tokoh yang bernama Batara Guru yang memiliki dua orang istri yang bernama Pademi dan Selir.

Batara guru memiliki dua orang anak, anak pertamanya bernama Wisnu dari Pademi dan Batara Kala dari Selir, istri keduanya. 

Konon katanya, sebelum Batara Kala lahir, ketika Batara Guru sedang mengelilingi samudera bersama Selir. Ia tidak bisa menahan hawa nafsunya, sehingga mengajak Selir untuk berhubungan suami istri. Namun, Selir menolak ajakan Batara Guru yang membuat air maninya menetes ke laut lalu menjelma menjadi sosok raksasa yang menyeramkan.

Sosok raksasa inilah yang dikenal sebagai Batara Kala, yaitu anak kedua dari Batara Guru yang diangkat sebagai anak setelah ia sepakat untuk memotong taringnya.

Baca juga: Sejarah Tuban, Menelusuri Jejak Budaya dan Perdagangan Nusantara

Selama hidupnya, Batara Kala selalu meminta untuk dapat memakan manusia. Batara Guru pun mengizinkannya. Akan tetapi, syaratnya adalah manusia yang boleh dia makan hanyalah manusia yang memiliki nasib sial atau sukerta.

Dari kisah inilah, masyarakat Jawa percaya kalau orang yang belum terlepas dari nasib sial, keburukan, kegagalan, nasib buruk, dan lain sebagainya dapat dimangsa oleh Batara Kala.

Oleh karena itu, salah satu cara untuk melepas ancaman dari Batara Kala ini adalah dengan melakukan tradisi ruwatan.

Fungsi Tradisi Ruwatan

Tujuan utama dilaksanakannya tradisi ruwatan adalah untuk menjauhkan diri dari segala bentuk kesialan, ketidakberuntungan, nasib buruk, dan lain sebagainya. 

Begitu pun dengan tradisi ruwatan bumi. Alasan dan fungsi diadakannya tradisi ini adalah supaya tanah tempat tinggal mereka terhindar dari bala atau bencana. 

Selain itu, tradisi ruwatan bumi juga dilakukan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat Jawa yang ditunjukkan dengan cara mengarak gunungan kakung dan estri untuk Sang Pencipta sembari berdoa mengharapkan hasil panen yang melimpah.

Tak hanya itu saja, tradisi ruwatan yang sudah diturunkan dari para leluhur sejak zaman Kerajaan Mataram ini dilaksanakan dengan harapan dapat melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dan kebudayaan yang sudah turun temurun dilakukan. Dengan demikian, ini tidak tenggelam dimakan arus globalisasi seperti di era sekarang.

Bagaimana Prosesi Ritual Ruwatan Berlangsung?

Dalam pelaksanaan ritual ruwatan, terdapat beberapa proses yang dilakukan secara berurutan, di antaranya adalah:

- Menyiapkan sesajen

Sesajen merupakan syarat utama dalam pelaksanaan tradisi ruwatanbumi, yang terdiri dari kembang boreh, kembang setaman, dupa, cok bakal, kelopo wutuh pitu, beras samjipit, jarik, kembang kantil, rencek, kembang mayan kembar, dan kembang kenongo lan pitik jago jowo.

Sesajen yang sudah disiapkan ini biasanya diletakkan di atas sebuah sumur keramat dan juga makam sesepuh.

- Melaksanakan slametan dan siraman

Ritual ruwatan lalu dilanjut dengan prosesi selamatan di makam sesepuh yang biasanya diteruskan dengan prosesi yang disebut melekkan.

Setelah itu barulah dilaksanakan prosesi siraman yang juga merupakan tahapan penting dalam ritual ruwatanbumi. Siraman ini dilakukan dengan cara membasuh kaki dengan air yang sudah dicampur dengan bunga 7 macam.

- Kirab Sedekah Bumi

Prosesi yang satu ini dilakukan dengan cara berjalan kaki membawa dua buah gunungan yang bernama gunungan kakung dan gunungan estri yang diiringi oleh kesenian dongkrek khas Madiun.

Kedua gunungan ini terdiri dari bahan-bahan yang berbeda. Gunungan kakung berisi nasi tumpeng lengkap dengan berbagai macam lauk pauknya, sedangkan gunungan estri berisi hasil panen masyarakat setempat.

- Pagelaran Wayang Ruwat

Prosesi terakhir dari tradisi ruwatan adalah pagelaran wayang ruwat yang membawakan cerita khusus untuk prosesi ritual ruwatan.

Demikianlah penjelasan singkat tentang tradisi ruwatan yang merupakan salah satu dari sekian banyak warisan budaya yang ada di Indonesia.

Tentunya dengan kita mengetahui asal muasal, makna, serta bagaimana prosesi pelaksanaannya akan sangat menambah wawasan kita akan budaya yang sudah diwariskan oleh para leluhur dengan berbagai macam nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya, bukan?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Nindy Agustin Andriani lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Nindy Agustin Andriani.

NA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.