Perkebunan teh Kayu Aro yang berlokasi di kaki gunung Kerinci, dikenal sebagai perkebunan teh tertua di Indonesia yang menghasilkan teh hitam Orthodox. Dengan lokasi perkebunan yang berada pada ketinggian 1.600 mdpl, perkebunan ini merupakan kebun teh tertinggi kedua di dunia setelah perkebunan teh Darjeeling di Himalaya, India.
Baca juga: Inilah Perkebunan Teh Tertinggi di Asia Tenggara, Di Mana Tepatnya?
Sejarah Perkebunan Teh Kayu Aro
Pembukaan perkebunan pada tahun 1925 dilakukan oleh perusahaan Belanda, yaitu NV HVA (Namlodse Venotchhhaaf Handle Veriniging Amsterdam). Mereka melakukan penebangan hutan besar-besaran di kaki gunung Kerinci, tepatnya di daerah Kayu Aro, untuk dijadikan perkebunan teh.
Baca juga: Teh Kayu Aro, Warisan Nusantara dari Jambi yang Legendaris
Setelah melakukan pembukaan lahan, maka pada tahun 1928 dilakukan penanaman teh untuk pertama kalinya. Dalam waktu dua tahun, perkebunan ini memperlihatkan hasil penanaman teh yang memiliki pucuk-pucuk yang berkualitas tinggi. Sehingga pada tahun 1931, didirikanlah pabrik pengolahan teh untuk menunjang produksi, yang berlokasi di Bedeng Delapan dan menjadi pusat aktivitas perkebunan. Pabrik ini baru mulai beroperasi di tahun 1932, setelah pucuk-pucuk tumbuhan teh dinilai siap untuk proses pemanenan.
Tahun 1934, perkebunan ini mengalami peningkatan hasil produksi yang sangat signifikan, yaitu 2x lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Perkebunan Kayu Aro mampu menghasilkan jenis produksi teh hitam yang tergolong kedalam kualitas terbaik kelas I, dan hasil perkebunan ini diekspor ke daratan Eropa seperti Inggris, Belanda, dan negara Eropa lainnya. Pada tahun 1940, perkebunan Kayu Aro tercatat sebagai perkebunan teh terluas di keresidenan Sumatra Barat, dengan luas mencapai 2.590 hektar.
Pemerintah Indonesia mengambil alih pengelolaan perkebunan Kayu Aro pada tahun 1959. Infrastruktur dan fasilitas yang dibangun oleh Belanda, seperti jalan, jembatan, dan rumah sakit, masih dapat ditemui di sekitar area kebun hingga saat ini. Pengelolaan kebun teh saat ini berada dibawah PT Perkebunan Nusantara VI (PTPN 6), dengan menghasilkan sekitar 6 juta kilogram teh hitam Orthodox per tahun. Negara tujuan ekspor produksi teh Kayu Aro adalah negara-negara di Asia, Eropa, hingga Amerika Serikat.
Perkembangan Metode Pengolahan Teh
Proses pembuatan teh Kayu Aro menggunakan metode orthodox atau masih dalam bentuk daun. Selain itu, teh ini juga diolah dengan strategi C-T-C atau crush-tear-curl yang memiliki arti peras-remas-keriting, sehingga produk akhir dari teh ini akan menyerupai butiran-butiran kecil seperti kristal.
Sejak pertama kali dikelola oleh pemerintah Belanda di tahun 1925, perkebunan ini telah mengalami perubahan metode cara panen petik teh, dimana evolusi mesin petik yang digunakan mengikuti perkembangan jaman.
Pada awal pemanenan teh perdana di masa Belanda, cara panen petik daun teh masih menggunakan cara manual yaitu dengan dipetik pakai tangan oleh pekerja. Metode ini berlangsung hingga tahun 1990-an, dimana kemudian pemanenan teh mulai menggunakan mesin petik double. Mesin ini menggunakan bahan bakar bensin dan dioperasikan oleh lima orang tenaga manusia, yang terdiri dari tiga orang memegang mesin, satu orang melangsir pucuk, dan satu orang lagi memasukan pucuk ke fishnet.
Baca juga: Teh Kayu Aro, Teh Asal Indonesia Yang Mendunia
Perkembangan selanjutnya adalah dengan penggunaan mesin single electric. Mesin ini menggunakan tenaga listrik berbentuk baterai yang di-charge. Penggunaan mesin ini, jauh lebih efisien dan efektif dibandingkan mesin petik double. Penghematan biaya dapat dilakukan karena tidak mengeluarkan biaya untuk pembelian bahan bakar bensin, dan cukup menggunakan satu orang tenaga manusia sebagai pemetik. Selain itu, daun teh dan hasil petik juga lebih bagus dengan penggunaan mesin single electric.
Sejarah Pekerja Pemetik Teh
Pada awal pembukaan perkebunan di masa Belanda, dengan luas perkebunan mencapai 2.590 hektar, tentunya dibutuhkan jumlah tenaga pekerja dalam jumlah yang besar. Tidak tersedianya tenaga kerja yang cukup di pulau Sumatra, mendorong pemerintah Belanda untuk mendatangkan tenaga siap kerja dari pulau Jawa yang penduduknya lebih padat.
Awal kedatangan pekerja ke Kayu Aro bertujuan membuka lahan yang dulunya adalah hutan untuk dijadikan perkebunan teh, kemudian para buruh bekerja sebagai penanam, perawat dan pengolah hasil tanaman teh. Para buruh kebanyakan berasal dari daerah-daerah kerajaan Vorstellen (terdiri dari Surakarta dan Yogyakarta) dan sekitarnya.
Hadirnya pekerja dari Jawa ini mengakibatkan terbentuknya komunitas atau kelompok etnis sendiri. Bahkan, para pekerja dari Jawa ini membawa budayanya masing-masing dari daerah asal. Kebudayaan serta adat Jawa masih cukup kental ditemukan di kecamatan Kayu Aro, seperti ritual kenduri, slametan, tradisi perkawinan, dan tradisi pemakaman. Hasil kesenian yang berbau tradisi suku Jawa, seperti Kuda Lumping dan Wayang Kulit, masih banyak ditemukan di daerah ini.
Setelah pemerintah Indonesia mengambil alih pengelolaan, para pekerja perkebunan dari pulau Jawa itu menetap di Kayu Aro dan melanjutkan pekerjaan sebagai pekerja di area perkebunan. Generasi pemetik teh pastinya sudah mengalami perubahan, bahkan sudah masuk generasi kedua dan ketiga dari pemetik teh awal, yang artinya generasi anak dan cucu para pekerja awal dulu di jaman Belanda.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News