Sejak kecil tahun 1950-an, saya mendengar kisah bagaimana nenek moyang kita yang pelaut itu mengarungi laut hanya berbekal perahu kecil. Mereka itu dikenal dari Suku Bugis, Madura, dan Bawean, yang berlayar jauh sampai ke negara jiran seperti Singapura dan Malaysia. Saya yang tidak bisa berenang pernah merasa ketakutan tak terhingga ketika berada di atas kapal pesiar modern milik Jepang bernama Nippon Maru yang dijadikan kapal program pertukaran pemuda ASEAN-Jepang tahun 1982 yang saya ikuti, terhempas ombak setinggi 3–4 meter di lautan lepas sebelum mencapai Pelabuhan Tokyo. Dengan pengalaman mengerikan melihat ombak besar itu, saya tidak bisa membayangkan bagaimana nenek moyang kita masa lalu yang hanya naik perahu jauh menuju negara asing.
Khusus tentang ketangguhan orang Bawean, kisah yang saya dengar sejak kecil itu diperkuat dengan cerita dari junior saya, alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga (di Unair angkatannya sekitar 6–7 tahun di bawah saya) yang sekarang menjadi anggota DPR-RI. Ia orang asli Pulau Bawean dan pernah bercerita jika sudah lama punya keluarga di Singapura atau Malaysia.
Pulau Bawean masuk ke dalam wilayah Kabupaten Gresik tahun 1974 setelah sebelumnya pulau tersebut masih bagian dari Surabaya. Letaknya 120 km di utara Gresik. Pulau ini dapat dicapai dengan menggunakan kapal ekspres (feri) selama 3–6 jam. Pulau Bawean sedikit lebih luas daripada Pulau Singapura. Namun, penduduknya hanya berjumlah 107.000 lebih berdasarkan data kependudukan Kabupaten Gresik tahun 2020. Dari pulau kecil ini, warga Bawean merantau ke Singapura sebagai bagian dari tradisi di mana para laki-laki Bawean meninggalkan rumah mencari nafkah. Mereka merantau sampai ke Singapura sejak awal abad ke-19.
Penduduk Pulau Bawean menyebut diri mereka Orang Bawean atau Orang Babian, tetapi di daerah tempat mereka bermigrasi, termasuk Singapura, mereka menyebut diri mereka sendiri (atau disebut) sebagai Orang Boyan. Kata "Boyan" berasal dari kesalahan pengucapan "Bawean" oleh kolonialis Eropa.
Menurut Nor-Afidah Abd Rahman dan Marsita Omar, yang menulis artikel lengkap mengenai orang Bawean di National Library Board Singapore, dijelaskan bahwa pendirian pos perdagangan Inggris di Singapura pada tahun 1819 menarik banyak migran dari wilayah tersebut. Dibandingkan dengan kelompok etnis lain dari Kepulauan Melayu seperti Bugis dan Jawa, orang Bawean datang ke Singapura lebih lambat dan dalam jumlah yang lebih kecil.
Secara historis, orang Bawean adalah pedagang dan pelaut, berlayar dengan kapal kecil mereka ke Kalimantan, Sulawesi, Madura, dan Jawa untuk barter. Dikatakan bahwa pelaut Bawean yang bergabung dengan orang Bugis telah mengunjungi Singapura selama hari-hari awal pemerintahan Inggris. Setelah kembali, mereka menceritakan kepada sesama orang Bawean tentang kisah-kisah kemakmuran Singapura, sehingga menjadikan pemukiman Inggris itu sebagai tujuan lain bagi orang Bawean.
Menurut kedua penulis itu, tidak ada catatan tentang kedatangan pertama orang Bawean di Singapura. Mereka secara resmi tercatat dalam sensus penduduk Singapura pada tahun 1849. Populasi orang Bawean di Singapura meningkat pesat antara tahun 1901 dan 1911, karena pemaksaan pemeriksaan individu oleh Belanda di wilayah mereka sekitar tahun 1900. Artinya, selain membayar sewa tanah, rakyat harus membayar pajak berdasarkan jumlah orang yang tinggal di tanah tersebut. Untuk menghindari hal ini, banyak orang pindah dari Hindia Belanda (Indonesia) ke daerah lain, termasuk orang Bawean yang berbondong-bondong ke Singapura.
Singapura juga menarik orang-orang Bawean melalui kegiatan ibadah haji, karena munculnya kapal uap telah menjadikan Singapura sebagai pelabuhan untuk berangkat haji ke Mekkah. Sebagai Muslim yang taat dan berani karena diasah oleh tradisi merantau, orang Bawean datang ke Singapura dengan kapal uap untuk mencari pekerjaan, sehingga mereka dapat menabung dan memulai perjalanan haji dari Singapura.
Banyak orang Bawean yang bermigrasi ke Singapura antara tahun 1840-an dan 1950-an menetap di Kampong Kapor, yang dikenal oleh orang Melayu sebagai Kampong Boyan. Orang Bawean adalah komunitas yang erat, dan banyak yang tinggal di pondok (juga dieja ponthuk; rumah penginapan), yang dipimpin oleh Pak Lurah. Karena para pelaut Bawean pergi selama berbulan-bulan, Pak Lurah akan mengurus barang-barang pelaut dan anggota keluarga selama ketidakhadiran mereka.
Orang Bawean di Singapura telah berasimilasi dan menikah dengan penduduk Melayu di negara itu, dan banyak yang menganggap diri mereka sebagai orang Melayu. Pondok Gelam Peranakan Club, sebuah klub komunitas untuk komunitas Melayu Bawean, didirikan pada tahun 1932. Antara tahun 1960-an dan 1980-an, klub menyelenggarakan sejumlah kegiatan keagamaan dan sosial di bekas tempatnya di 64 Club Street.
Persatuan Bawean Singapura, atau Asosiasi Boyan Singapura, yang didirikan pada tahun 1934, terus memainkan peran penting dalam masyarakat. Saat ini, Persatuan Bawean Singapura secara aktif memberikan pembaruan tentang komunitas dan warisan Bawean, terutama melalui publikasinya, beberapa di antaranya melengkapi karya-karya sebelumnya oleh Ahmad Haji Tahir yang menulis Shair Saudara Bawean pada tahun 1930. Sebuah karya sastra klasik yang berkaitan dengan orang Bawean adalah Shair Kampong Boyan dimakan Api, diterbitkan oleh Persatuan Jawi Peranakan pada tahun 1883.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News