Candi Cangkuang adalah candi Hindu bekas dari peninggalan dari Kerajaan Galuh yang terletak di kota Garut, tepatnya di Kampung Pulo. Candi ini merupakan candi yang pertama kalinya ditemukan di tanah Sunda dan menjadi candi Hindu satu-satunya.
Meskipun Candi Cangkuang bercorak Hindu, tetapi di dekat candi tersebut terdapat makam Embah Dalem Arief Muhammad, yaitu sosok pemuka agama Islam yang dipercaya oleh masyarakat sana sebagai leluhur penduduk Desa Cangkuang.
Nama Candi Cangkuang sendiri diambil dari nama desa dimana candi ini didirikan. Kata ‘cangkuang’ adalah nama tanaman sejenis pandan yang banyak ditemukan di sekitar makam milik Embah Dalem Arief Muhammad.
Di artikel ini Kawan GNFI akan diajak untuk menyelami asal-usul Candi Cangkuang, salah satu candi Hindu tertua di Garut yang dibangun untuk memuja Dewa Siwa.
Baca juga: Menyaksikan Keunikan Kampung Pulo dan Candi Cangkuang di Garut
Sejarah Berdirinya Candi Cangkuang
Candi Cangkuang dibangun pada masa kerajaan Sunda yang pada saat itu merupakan kerajaan Hindu-Buddha memiliki pengaruh kuat di wilayah Jawa Barat.
Candi ini merupakan peninggalan Hindu dari abad ke-8 masehi. Candi dibangun oleh masyarakat sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa dan dewa lainnya dalam kepercayaan Hindu.
Candi Cangkuang pertama kali ditemukan pada tahun 1966 oleh ahli purbakala bernama Drs. Uka Tjandrasasmita. Penemuan candi di Kampung Pulo ini tidak lepas dari informasi yang terdapat di Bataviaasch Genootschap karya dari Vorderman.
Melansir indonesia.go.id, Vorderman merupakan salah satu warga Belanda yang pada saat itu menetap di Garut, dalam catatan yang ditulisnya pada tahun 1893, disebutkan bahwa terdapat sebuah peninggalan patung Dewa Siwa dan makam Embah Dalem Arif Muhammad yang merupakan prajurit dari Kerajaan Mataram.
Candi Cangkuang ini ditemukan kembali pada 9 Desember 1966 oleh peneliti yang berasal dari empat wilayah (Provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Lampung) dengan peneliti Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita.
Pada saat candi tersebut ditemukan, para ahli tersebut mulai melakukan penelitian dan penggalian yang dimulai tahun 1967 hingga tahun 1968. Pada tahap pertama penelitian, batu-batu yang tersebar sebanyak 40% di sekeliling candi mulai dikumpulkan kembali untuk diteliti dan dipelajari sebelum melakukan pemugaran candi.
Dilansir indonesiakaya.com, setelah dipelajari para ahli memutuskan untuk melakukan pemugaran Candi Cangkuang yang dilaksanakan pada tahun 1974 sampai 1976. Pemugaran candi dilakukan sebanyak 60% dari puing yang ada ditambah dengan batu yang dicetak agar terlihat mirip dengan perkiraan bentuk aslinya.
Setelah selesai pemugaran di tahun 1976 Candi Cangkuang mulai diresmikan sebagai warisan budaya oleh Menteri Pendidikan saat itu, yakni Prof. Dr. Syarif Thayeb.
Bentuk Bangunan dari Candi Cangkuang
Candi Cangkuang memiliki arsitektur yang sederhana tetapi elegan, dengan struktur bangunan yang terbuat dari batu andesit dan batu merah. Candi ini berbentuk bangunan persegi empat dengan atap bertingkat, ciri gaya arsitektur yang umum pada candi-candi Hindu-Buddha di pulau Jawa.
Melansir dari kumparan.com, Candi Cangkuang berdiri pada lahan persegi empat berukuran 4,7 x 4,7 meter. Kaki bangunan yang menjadi penyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi memiliki ukuran 4,5 x 4,5 meter dengan tinggi mencapai 1,37 meter. Bentuk tubuh candi yang persegi empat ini memiliki ukuran 4,22 x 4,22 meter dengan tinggi 2,49 meter.
Terdapat dua tingkat pada puncak candi yang berbentuk persegi empat dengan ukuran 3,8 x 3,8 meter dengan tinggi 1,56 meter dan 2,74 x 2,74 meter dengan tinggi 1,1 meter.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News