Suku Tengger menjadi suku yang menghuni kawasan Dataran Tinggi Tengger atau sekitar Pegunungan Tengger, Semeru dan Bromo.
Nenek moyang dari masyarakat Suku Tengger diyakini berasal dari Majapahit, hal ini dibuktikan dengan Prasasti Walandit yang berangka tahun 1303 Saka dan 1327 Saka.
Masyarakat Suku Tengger juga memeluk agama Hindu serta masih menjalankan tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan sejak lama.
Berbagai tradisi hingga beragam upacara adat yang dimiliki Suku Tengger masih terjaaga dengan baik, salah satunya adalah upacara kematian.
Menariknya, upacara kematian masyarakat Suku Tengger berbeda dari upacara kematian yang biasa dilakukan oleh masyarakat beragama Hindu.
Lalu, bagaimana masyarakat Suku Tengger menjalankan upacara kematian? Kawan GNFI dapat menyimaknya pada artikel berikut !
Upacara Penguburan
Ketika ada salah satu kerabat atau warga yang meninggal, masyarakat Suku Tengger secara bergotong-royong akan membantu keluarga duka untuk menyiapkan upacara penguburan.
Warga biasanya akan datang ke rumah duka dengan membawa uang, kebutuhan pokok, tenaga hingga bantuan lain yang diperlukan, mereka menyebutnya dengan istilah nglawuh.
Sebelum dikuburkan, orang yang meninggal akan terlebih dahulu dimandikan dan diletakkan di atas balai serta dibacakan doa oleh seorang dukun sembari memercikan air prasen.
Sang dukun juga akan menyiramkan air yang sudah diberi doa pada tenah kuburan sebelum digali untuk memakamkan jenazah.
Pemakaman masyarakat Suku Tengger ini berbeda dengan masyarakat agama Hindu lainya yang umumnya dibakar.
Masyarakat Suku Tengger akan menguburkan orang yang sudah meninggal dengan kepala membujur ke selatan atau menghadap Gunung Bromo.
Meskipun sudah menguburkan orang yang sudah meninggal, masyarakat Suku Tengger tetap melakukan upacara pembakaran menggunakan boneka sebagai ganti dari orang yang meninggal.
Baca juga: Menyimak Asal Usul dan Kehidupan Suku Tengger
Boneka Petra
Boneka petra merupakan media ritual dalam upacara kematian masyarakat Suku Tengger sebagai simbol dari roh orang yang sudah meninggal.
Boneka ini juga digunakan dalam rangkaian upacara kematian pada hari ke-3, ke-7 dan ke-40.
Boneka petra biasanya dibuat oleh Sepuh atau tangan kanan dari Dukun Pandita dan dibuat dari tanaman, seperti daun plampung, daun thlotok, daun pelawa atau andhong, daun putihan, bunga maribang, bunga tanlayu atau edelweeis, bunga kenikir dan janur.
Bahan pembentuk boneka tersebut jika disatukan bermakna bahwa manusia yang telah dilahirkan di dunia harus menggunakan kesempatannya sebaik mungkin.
Penamaan petra pada boneka juga memiliki arti leluhur, serta selalu dihadirkan dalam upacara besar di Tengger sebagai wujud penghormatan dan pengingat kepada leluhur.
Pada upacara kematian, boneka petra akan dibakar di akhir rangkaian upacara sebagai simbol atau pengganti orang yang telah meninggal
Masyarakat percaya dengan membakar boneka petra maka roh dari orang yang meninggal akan kembali ke alamnya.
Perbedaan upacara kematian masyarakat Suku Tengger dengan penganut agama Hindu pada umumnya dipengaruhi oleh keyakinan masyarakat Tengger bahwa tanah Tengger merupakan tanah hila-hila (tanah suci), sehingga tidak boleh dilakukan pembakaran terhadap jasad.
Meskipun demikian, masyarakat Suku Tengger memiliki kesamaan dengan penganut agama Hindu lainya, yaitu meyakini proses pembakaran sebagai cara agar roh orang yang sudah meninggal cepat sampai di alamnya. Sehingga, untuk mewujudkannya mereka menggantinya dengan boneka petra.
Baca juga: Yadnya Kasada, Simbol Pengabdian Warga Tengger pada Sang Hyang Widhi
Upacara Nyurup
Upacara Nyurup juga menjadi salah satu rangkaian dalam upacara kematian masyarakat Suku Tengger yang pelaksanaanya terbilang cukup sederhana.
Biasanya diselenggarakan ketika seseorang baru meninggal dunia dengan menyiapkan sesaji manca lima (pencok bakal) dan pras pesangon.
Setiap sesaji dalam upcara ini memiliki arti tersendiri, misalnya pencok bakal yang merupakan bentuk ucapan syukur kepada bumi. Sedangkan, pras pesangon merupakan simbol bekal bagi orang yang meninggal.
Upacara Sedekah
Upacara ini dilakukan pada hari ke-11 kematian dan dilaksanakan dalam dua kali prosesi, yaitu pagi dan sore, dimana pagi hari akan dipimpin oleh Romo Dukun Pandhita dan sorenya dipimpin oleh Romo Mangku.
Upacara Sedekah memiliki tiga media penting yang mengandung makna yang berkaitan dengan roh orang yang meninggal, yaitu pras sedekah,pras lungguh dan Tumpeng Mungkur.
Ketiga media tersebut bermakna pemisahan roh dengan keluarga, penyatuan dengan Tuhan serta perbedaan alam dengan mereka yang masih hidup.
Upacara Entas-Entas
Upacara ini menjadi rangkaian terakhir bagi orang yang sudah meninggal, biasanya dilaksanakan pada hari ke-1.000.
Upacara Entas-Entas juga menjadi salah satu upacara besar yang dilaksanakan oleh masyarakat Suku Tengger karena harus menyiapkan media dan sesaji yang beragam serta menyembelih kerbau
Diantara banyaknya sesaji yang harus disiapkan, terdapat 4 media penting dalam upacara ini, yaitu Pras Panglukat, Pras Pangetas, Tuwuhan, dan boneka petra.
Pada upacara ini, boneka petra akan dibakar sebagai bentuk pengentasan atau tanda berakhirnya roh manusiadi bumi dan siap untuk memasuki masa yang abadi (pelanggengan).
Sumber:
- Diana Martalia dan Ida Ayu Etsa Pracintya. (2023). Kajian Rangkaian Upacara Kematian Etnis Tengger Sebagai Daya Tarik Wisata Desa Argosari Lumajang. MountHope Economic Journal , 1(3).
- Elvin Nuril, dkk. (2022). Leksikon Tanaman pada Boneka Petra dalam Ritual Kematian Masyarakat Tengger Sebagai Simbol Leluhur: Kajian Antropolinguistik. Mount Hope Economic Journal , 5(2).
- Diana Martalia dan Ida Ayu Etsa Pracintya. (2023). Simbol dan Makna Tradisi Upacara Kematian Nyurup Etnis Tengger Desa Argosari: Daya Tarik Wisata Edukasi Budaya. Akademik: Jurnal Mahasiswa Humanis, 3(3).
- Ayu Sutarto. (n.d.). Sekilas Tentang Masyarakat Tengger. Repositori Institusi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. https://repositori.kemdikbud.go.id/1106/1/Masyarakat_Tengger
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News