Masyarakat Suku Bajo merupakan salah satu kelompok masyarakat maritim di Indonesia yang menggantungkan hidupnya melalui perairan dan kelautan. Sebagai masyarakat yang hidup mengandalkan laut, masyarakat Bajo memiliki kedekatan emosional terhadap sumber daya kelautan yang melahirkan perilaku dan kebiasaan yang mempertimbangkan lingkungan laut di sekitar mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Kedekatan masyarakat Bajo dengan laut menjadikan mereka memiliki banyak pengetahuan lokal tentang kondisi kelautan, seperti gejala-gejala alam atau tanda atmosfer yang dipercaya dan diketahui oleh masyarakat Bajo.
Sistem pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat Bajo tersebut membentuk sistem etika, adat, dan budaya yang membuat masyarakat Bajo memiliki kemampuan hidup di lautan yang cukup tinggi dan mampu hidup selaras dengan lautan maupun kawasan pesisir tempat mereka mencari penghasilan.
Salah satu contoh kearifan lokal dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat Bajo adalah tradisi yang bernama Bapongka atau juga bisa disebut Babangi. Bapongka atau biasa mereka sebut juga dengan Babangi adalah tradisi yang dilakukan masyarakat Bajo dalam kegiatan melaut selama beberapa minggu hingga bulan secara berkelompok atau bersama-sama.
Tradisi Bapongka bagi masyarakat Bajo merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan untuk mencari nafkah, yaitu dengan mengumpulkan hasil laut seperti teripang atau jenis ikan yang hidup bergerombol. Hasil tangkapannya dijual ke pasar atau kampung terdekat dengan sistem barter dengan bahan kebutuhan rumah tangga seperti beras, ubi, sagu, dan sebagainya.
Dalam pelaksanaan tradisi Bapongka, kegiatan pelayaran untuk mencari ikan tersebut mereka mengarungi lautan dan Samudra yang luas. Mereka masih menggunakan sistem pengetahuan lokal yang diwariskan secara turun menurun. Sistem pengetahuan berupa alat nagivasi yang masih digunakan masyarakat Bajo adalah menggunakan rasi bintang untuk menentukan arah.
Hal ini didasari pada langit perairan Indonesia timur masih memiliki langit yang bersih, minim polusi, dan gugusan bintang yang dapat terlihat jelas. Selain itu, mereka menggunakan tanda-tanda alam yang tenang, riuhnya ombak, buih di lautan, hingga burung sebagai penanda bagi mereka untuk mengetahui lokasi banyak atau tidaknya ikan yang ada disana.
Tradisi Bapongka ini dilakukan secara bersama-sama atau berkelompok menggunakan perahu besar berukurang sekitar 4x2 m yang biasa mereka sebut dengan Leppa atau Sopek. Tradisi ini juga tak jarang dilakukan masyarakat Bajo dengan mengikutsertakan keluarga, seperti istri atau anak dalam satu perahu.
Tak hanya itu, tradisi ini juga sering dilakukan secara bersama nelayan lainnya dengan melakukan penangkapan ikan secara beriringan dengan menggunakan 3 sampai 4 perahu, atau bisa juga disebut sebagai sasakai. Secara tidak langsung, Tradisi Bapongka yang dilakukan masyarakat Bajo ini memiliki sifat gotong royong dan nilai kebersamaan yang cukup tinggi dalam rangka mempererat tali silaturahmi antar sesama keluarga ataupun kelompok masyarakat Bajo lainnya.
Tradisi Bapongka memiliki beberapa aturan dan pantangan khusus yang harus ditaati oleh setiap nelayan. Aturan atau pantangan yang ada pada tradisi Bapongka tersebut berupa hal-hal yang tidak boleh dilakukan seperti tidak boleh membuat air cucian beras, arang kayu, ampas kopi, air cabe, air jahe, kulit dan air perasan jeruk, puntung rokok, dan sebagainya ke laut.
Pantangan tersebut dipercaya oleh masyarakat Bajo dapat menyebabkan datangnya kesialan atau keburukan saat melaut, seperti datangnya angin kencang dan ombak besar yang mengganggu aktivitas melaut dan mempengaruhi hasil tangkapan mereka yang semakin sedikit, atau bahkan kecelakaan saat melaut.
Sebaliknya, apabila pantangan-pantangan tersebut ditaati akan membawa hal positif seperti mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah, dijauhi dari cuaca yang buruk, atau dengan kata lain dijauhkan dari hal-hal negatif tersebut.
Penerapan tradisi Bapongka pada masyarakat Bajo dapat dilihat dari upaya mereka dalam menaati aturan dan pantangan yang ada di kehidupan sehari-hari mereka. Terdapat dua pandangan bagi masyarakat Bajo, di mana ada yang menganggap aturan atau pantangan dalam tradisi Bapongka ini hanya dilakukan saat melaut. Namun ada juga yang menganggap mereka tetap mematuhi aturan atau pantangan yang ada di setiap kehidupannya, baik saat melaut ataupun saat tidak melaut.
Bagi mereka yang tidak melaut, pantangan yang dilakukan adalah tidak boleh membuang sampah-sampah rumah tangga ke laut, mereka harus menampung terlebih dahulu sampah yang ada sampai anggota keluarga yang melaksanakan Bapongka ini kembali ke rumahnya.
Namun, terdapat dari beberapa masyarakat Bajo yang melanggar aturan dalam tradisi Bapongka ini untuk tujuan yang positif, misalnya membuang panci ke laut, yang mana mereka percaya akan mendatangkan angin kencang, sehingga membantu mereka agar dapat lebih cepat mencapai daratan dengan perahu layar mereka.
Adanya aturan atau pantangan untuk tidak membuang sampah tersebut bagi masyarakat Bajo menggambarkan bahwa tradisi Bapongka ini mengajarkan masyarakat akan nilai-nilai terkait pelestarian lingkungan.
Secara tidak sadar, apa yang sudah dilakukan masyarakat Bajo dalam tradisi Bapongka tersebut menjadi salah satu upaya untuk melestarikan ekosistem dan sumber daya laut. Oleh karena itu, tradisi Bapongka yang dilakukan oleh masyarakat Bajo ini dapat menciptakan lingkungan laut yang sehat dan sumber daya laut yang berkelanjutan.
Referensi
Artanto, Y. K (2017). BAPONGKA, SISTEM BUDAYA SUKU BAJO DALAM MENJAGA KELESTARIAN SUMBER DAYA PESISIR. Jurnal Sabda Vol.12, No. 1, Hal. 52-69.
Haerulloh, A. A., dkk (2021). IDENTITAS BUDAYA DAN SEJARAH SUKU BAJO DI BAJO PULAU PASCANOMADEN. Jurnal Metahumaniora Vol.11. No.2 Hal. 75-90.
Utina, Ramli. (2008). BAPONGKA: Studi Nilai Pendidikan Pelestarian Ekosistem Laut dan Pesisir Pada Masyarakat Bajo. Jurnal Matsains Vol. 12 No.3 Hal. 108-120.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News