Sebagian orang barangkali mengira bahwa sastra itu berat dan membosankan, penuh dengan kalimat puitis dan karya klasik yang sulit dipahami. Namun, kenyataannya, sastra Indonesia memiliki perjalanan yang dinamis, mulai dari pujangga dengan karya roman hingga sastra digital dengan genre bervariasi.
Setiap generasi membawa ciri khas tersendiri, dan sastra selalu menemukan cara untuk tetap relevan dengan perkembangan zaman. Nah, Kawan GNFI, mari kita telusuri transformasi sastra Indonesia dari masa ke masa!
Era Pujangga Lama: Awal Mula Sastra Indonesia
Sastra Indonesia diperkirakan bermula pada era "Pujangga Lama", meski para ahli belum menyepakati hal ini secara resmi. Tantangan utama dalam menelusuri karya-karya dari periode ini adalah minimnya arsip, karena sebagian besar diwariskan secara lisan.
Periode Pujangga Lama mencakup karya-karya sebelum abad ke-20, dengan tema seputar kerajaan dan mitologi lokal. Gaya bahasa pada masa ini terkesan kaku dan formal, serta biasanya ditulis dalam Bahasa Melayu dan Arab.
Karya-karya ini umumnya menyampaikan pesan moral dan nasihat dengan bentuk sastra, seperti: syair, pantun, gurindam, hikayat, dongeng, dan cerita rakyat. Sastrawan Pujangga Lama yang terkenal, yaitu: Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Fansuri, dan Raja Ali Haji.
Era Balai Pustaka: Maraknya Genre Roman
Setelah periode Pujangga Lama, sastra Indonesia beralih ke era "Balai Pustaka" yang berlangsung antara 1920 hingga 1930. Angkatan ini banyak menghasilkan karya jenis roman dan drama.
Adanya pembatasan karya oleh pemerintah Belanda saat itu, menyebabkan sastrawan periode ini didominasi oleh orang Sumatra. Maka, tak heran jika bahasa Melayu Tinggi menjadi ciri khas karya sastra Balai Pustaka.
Beberapa tokoh sastra termasyhur di era Balai Pustaka, antara lain: Marah Rusli, yang dikenal melalui karyanya Siti Nurbaya (1922), dan Nur Sutan Iskandar dengan Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1923). Salah satu novel paling fenomenal pada masa ini adalah Si Doel Anak Betawi (1932) oleh Aman Datuk Madjoindo, yang telah diadaptasi ke layar lebar beberapa kali.
Baca juga: Siti Nurbaya: Kritik Budaya Pernikahan Minangkabau
Pujangga Baru: Era Kebangkitan Sastra
Periode berikutnya adalah "Pujangga Baru", yang ditandai dengan penerbitan majalah sastra "PoedjanggaBaroe" pada tahun 1933. Salah satu karya paling ikonis di masa ini, yaitu Layar Terkembang ciptaan Sutan Takdir Alisjahbana. Nama-nama seperti Sanusi Pane, Armijn Pane, dan Ali Hasymi adalah sejumlah tokoh sastra Indonesia yang mewarnai era ini.
Menurut Wantimpres.go.id, angkatan Pujangga Baru hadir sebagai respons terhadap kontrol ketat yang diberlakukan penerbit Balai Pustaka, khususnya pada karya-karya yang membahas nasionalisme.
Balai Pustaka atau Komisi Bacaan Rakyat (KBR) ini sendiri memang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari strategi politik etis. Tujuannya yaitu untuk mengekang tulisan-tulisan yang bertentangan dengan kebijakan kolonial.
Angkatan 45: Realisme dalam Sastra
Memasuki era kemerdekaan, sastra Indonesia berkembang pesat dengan munculnya karya-karya yang lebih berani dan realistis. Tema-tema seperti kemerdekaan, perjuangan, dan kemanusiaan menjadi sorotan utama.
Beberapa karya populer dari periode 45, antara lain: Tiga Menguak Takdir (1950) karya Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin, yang berisi kumpulan syair tentang suasana sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Ada pula Kranji dan Bekasi Jatuh (1947), novel karya Pramoedya Ananta Toer yang mengisahkan perjuangan pemuda Indonesia melawan Belanda dan Inggris. Tak ketinggalan, Mutiara dari Nusa Laut (1943) karya Usmar Ismail yang mengangkat peran perempuan dalam perjuangan melawan penjajah.
Baca juga: Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Patriotisme Indonesia
Angkatan 50-an: Sastra Pasca-Kemerdekaan
Periode 50 dimulai tahun 1950-an hingga 1960-an. Dipelopori dengan terbitnya majalah sastra Kisah Asuhan dari HB Jassin, yang menggambarkan pergolakan di tengah perubahan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia pasca-kemerdekaan.
Pada era ini, karya yang muncul didominasi oleh cerita pendek dan puisi mengenai realitas kehidupan sosial dan politik, serta isu-isu pribadi yang dialami masyarakat. Sastrawan yang dikenal pada masa ini, antara lain: Taufiq Ismail, WS Rendra, Umar Kayam, dan NH Dini.
Angkatan 70-an: Eksperimen dalam Sastra
Era 70-an menandai kebangkitan gaya sastra eksperimental di Indonesia. Sastrawan seperti Sapardi Djoko Damono, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, dan Iwan Simatupang tampil dengan karya-karya yang menantang gaya tradisional.
Melalui pendekatan baru dalam menulis puisi, cerpen, novel, dan naskah drama yang menggabungkan realitas dengan imajinasi. Kehadiran mereka membawa angin segar, dan terus mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia hingga saat ini.
Era Reformasi: Sastra sebagai Kritik Sosial
Periode menuju reformasi ditandai dengan karya bertema sosial-politik pada akhir 1990-an. Sastrawan seperti Wiji Thukul, Seno Gumira Ajidarma, dan Joko Pinurbo menghasilkan karya simbolis yang menyoroti keadilan sosial dan huru-hara politik pada masa itu.
Angkatan 2000-an: Estetika dalam Bercerita
Masuk ke era 2000-an, gaya bersastra semakin mengandalkan keindahan literasi dan estetika. Nama-nama seperti Ayu Utami, Dee Lestari, dan Andrea Hirata mulai menghiasi dunia sastra Indonesia. Mereka membawa warna baru dengan eksplorasi tema-tema yang lebih kontemporer, seperti feminisme, pencarian jati diri, dan percintaan dalam dunia modern.
Sastra Cyber: Revolusi Literasi di Era Digital
Perkembangan teknologi telah mencetuskan sastra cyber, yaitu karya sastra yang dipublikasikan melalui platform digital, seperti Wattpad, Webtoon, dan KaryaKarsa. Meski awalnya menuai kontroversi, sastra cyber kini digemari oleh anak muda, serta memberikan ruang bagi penulis pemula untuk berkarya.
Beberapa karya seperti novel Dear Nathan, dan komik Si Juki yang awalnya viral di platform digital, berhasil diterbitkan sebagai buku fisik, bahkan diangkat menjadi film layar lebar. Fenomena sastra cyber membuka peluang baru bagi generasi muda untuk mengekspresikan kreativitas, sembari mendobrak batas-batas konvensional dalam dunia sastra.
Menjaga Literasi di Era Digital
Dari masa pujangga hingga kehadiran sastra cyber, satu hal yang pasti: sastra Indonesia selalu mampu beradaptasi seiring berkembangnya zaman. Di era digital ini, semakin banyak platform bagi penulis muda untuk menyalurkan ide-ide kreatif mereka secara lebih luas.
Yuk, Kawan, terus dukung perkembangan sastra Indonesia! Jangan lupa bagikan artikel ini agar lebih banyak orang terinspirasi untuk menulis dan mencintai karya sastra lokal.
Sumber Referensi:
- Pratiwi, D. I. (2014). Sastrawan Angkatan Pujangga Lama. Jakarta: Logika Galileo
- https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/
- https://kemenparekraf.go.id/ragam-ekonomi-kreatif/Mengenal-Sastrawan-Indonesia-dari-Generasi-ke-Generasi
- https://wantimpres.go.id/id/2017/11/peran-balai-pustaka-dalam-bidang-pendidikan-dan-kesusastraan/
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News