Bayat merupakan salah satu kecamatan yang terletak di bagian selatan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kecamatan ini memiliki luas wilayah sekitar 39,43 km2 serta terdiri dari 18 desa/kelurahan.
Bayat seringkali dikenal dengan jejak sejarah penyebaran agama Islam-nya oleh Sunan Bayat. Namun, apakah Kawan GNFI tahu bahwa Bayat juga menyimpan jejak peninggalan dari masa penjajahan Belanda?
Sumur Tirto Mili, peninggalan masa penjajahan Belanda berupa sumur raksasa yang berada di Desa Jotangan, Kecamatan Bayat. Sumur ini memiliki diameter mencapai 10 meter dan kedalaman sekitar 15 meter.
Bukan tanpa alasan, sumur raksasa diberi nama “Tirto Mili” karena adanya aliran air di dasar sumur. Air tersebut berasal dari Rowo Jombor yang jaraknya hanya sekitar 800 meter dari sumur.
Pembuatan ventrikultur sebagai Bentuk Kepedulian Ketahanan Pangan dan Peduli Sampah Sejak Dini di SD Ketapang Raya
Menurut Sigit, petugas dari Teknik Pembangunan dan Pengembangan Tirto Mili, dalam video “SUMUR RAKSASA PENINGGALAN BELANDA DI KLATEN” yang diunggah pada 20 April 2021 di YouTube, sumur ini dibangun oleh Pemerintah Belanda sekitar tahun 1910.
Berdasarkan sejarahnya, Pakubuwana X juga turut andil dalam keputusan pembangunan sumur yang berada di Bukit Pegat ini. Ia dengan sengaja, seolah-olah bekerja sama dengan Belanda membangun sumur ini. Tujuannya adalah menjadikan Sumur Tirto Mili sebagai sarana untuk mengairi lahan tebu yang diolah di Pabrik Gula Manisharjo atau sering disebut PG Pedan.
Sumur Tirto Mili bukan menjadi satu-satunya sumur peninggalan masa Belanda di Bayat. Terdapat lima sumur totalnya, tiga sumur berada di Desa Jotangan dan dua sumur di Desa Krakitan. Namun, Sumur Tirto Mili inilah yang paling besar.
Kondisi struktur sumur masih tergolong bagus dan kokoh hingga saat ini, meskipun tidak begitu dirawat dan ditumbuhi tanaman liar yang cukup lebat. Selain itu, karena sumur memang berada di lahan warga sehingga akses menuju sumur harus melewati perkebunan terlebih dahulu.
Melihat kondisi ini, cukup disayangkan bahwa Sumur Raksasa Tirto Mili ini tak kunjung ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Padahal usia struktur sumur telah lebih dari 50 tahun.
Menurut UU No. 11 Tahun 2010, Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Untuk ditetapkan sebagai suatu Cagar Budaya, terdapat beberapa kriteria:
- Berusia 50 tahun atau lebih.
- Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun.
- Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.
- Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Sumur Tirto Mili dapat dikatakan memenuhi empat kriteria di atas. Terhitung di tahun ini, sumur raksasa telah berusia lebih dari satu abad dengan mengandung nilai historis di dalamnya. Hasil ide kooperatif Pakubuwana X, sumur dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengairi lahan tebu miliknya yang menjadi bahan produksi di PG Manisharjo.
Dengan kata lain, sumur raksasa ini menjadi bukti tersirat perlawanan Pakubuwana X terhadap pemerintahan Belanda. Ia tidak serta merta mengikuti alur tujuan kolonial, melainkan tetap ingat kepentingan rakyat.
Lingkungan Bersih Generasi Sehat Melalui Pengenalan Perilaku 3R oleh Tim KKN-PPM UGM 2024
Terdapat banyak dampak positif jika Sumur Tirto Mili menjadi Cagar Budaya. Selain pelestariannya terjaga, Struktur Cagar Budaya Sumur Tirto Mili dapat menjadi peluang ekonomi bagi warga yang tinggal di sekitarnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News