Siapa yang tak kenal dengan cengkih? Rempah berupa kuncup bunga yang biasa kita temukan pada masakan ini adalah komoditas rempah bernilai tinggi pada masanya.
Cengkih sempat diperebutkan oleh berbagai bangsa di dunia, sebab tanaman herbal endemik asal Maluku ini punya segudang manfaat mulai dari obat, bahan masakan, hingga aromaterapi.
Permintaannya yang tinggi membuat cengkih juga turut dibudidayakan di Pacitan, Jawa Timur. Dari atap Kecamatan Arjosari, warga Dusun Gading menjadikan cengkih sebagai salah satu penopang kehidupan mereka.
Perkebunan cengkih di Dusun Gading, Desa Temon, merupakan perwujudan seni ketelatenan yang diterapkan oleh para petani di sini. Ditanam di puncak tertinggi Dusun Gading dengan medan yang menantang, pohon cengkih memerlukan waktu 5-7 tahun untuk tumbuh dengan ketinggian mencapai 20 hingga 30 meter tiap pohonnya.
Biasanya, kuncup bunga cengkih akan muncul dari pucuk hingga ranting terbawah pohon. Untuk memanen kuncup bunga cengkih yang berada pada pucuk pohon, petani cengkih harus menggunakan batang bambu yang telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai tumpuan badan untuk meraih dan memetik cengkih.
Terkadang tidak cukup hanya satu batang bambu saja yang digunakan sebagai penopang, petani harus menyambungkan dua batang bambu untuk mencapai kuncup bunga cengkih di pucuk tertinggi pohon.
Satu karung kosong turut serta dibawa untuk menampung kuncup-kuncup cengkih yang dipanen. Petani akan mengisi karung yang dibawanya hingga penuh, lalu setelah karung pertama penuh, karung akan dibawa turun. Petani akan mengulang proses tersebut hingga seluruh cengkih terpanen.
Setelah proses panen, petani cengkih akan melakukan proses mrithili. Pada proses ini, cengkih yang sudah dipanen akan dipisahkan dari tangkainya. Selanjutnya, cengkih akan dijemur hingga kehitaman sebelum akhirnya dijual kepada tengkulak.
Tak hanya kuncup cengkih saja, tangkai dan daun cengkih juga memiliki nilai jual. “Ini gagangnya juga payu (laku) dijual, dibuat bumbu rokok, cengkeh rajang” ujar Mbah Lani, seorang petani cengkih, saat ditemui di perkebunan cengkih Dusun Gading pada Rabu (10/07).
Tangkai dan daun cengkih juga melewati proses penjemuran hingga akhirnya dapat dijual. Untuk harga jualnya sendiri, cengkih yang sudah dikeringkan mencapai angka Rp80.000 per kilogramnya sedangkan tangkai cengkih dihargai Rp10.000 per kilogram dan daun cengkih Rp2.000 per kilogram.
Momok yang Menghantui Ladang Basah Petani Cengkih
Tahukah Kawan GNFI? Petani cengkih ternyata menghadapi momok menakutkan yang menghantui mereka tiap waktu, loh! Bukan setan maupun hal-hal mistis lainnya, melainkan penyakit kering cengkih yang mengancam kehidupan tanaman cengkih.
Penyakit kering cengkih yang juga disebut dengan penyakit mati pucuk ini disebabkan oleh bakteri Pseudomonas syzygi atau awam dikenal dengan bakteri pembuluh kayu cengkih (BPKC) (Sarni, 2016).
Jika pohon cengkih terjangkit penyakit ini, pucuk daun dan batangnya akan mengering sehingga pohon tidak dapat kembali tumbuh dan berangsur-angsur mati. Saat ditemui pada Rabu (10/07), beberapa petani mengaku bahwa penyakit ini sangat merugikan karena memiliki potensi yang besar untuk mengurangi hasil panen dan mematikan pohon yang sudah dirawat bertahun-tahun.
Menurut penuturan para petani, mereka belum dapat menemukan obat untuk mengatasi penyakit ini sehingga penyakit ini masih senantiasa mengancam tanaman cengkih milik petani.
Selain penyakit tanaman cengkih, petani cengkih harus siap menghadapi momok ketidakstabilan harga, loh, Kawan GNFI! Para petani kerap mengeluhkan harga jual cengkih dari petani yang relatif lebih kecil. Mbah Miseno, seorang petani cengkih, di Dusun Gading, Desa Temon, mengungkapkan bahwa harga jual cengkih di pasaran saat ini tidak sesuai dengan harga yang didapatkan oleh petani.
Menurutnya, rantai penjualan yang terlalu panjang menyebabkan petani sering tidak berdaya sehingga harga berapa pun akan diterima asalkan hasil panennya laku oleh tengkulak. Ia berharap agar pemerintah dapat memberikan solusi yang berpihak pada petani agar industri pertanian menjadi lebih berkeadilan bagi seluruh pihak yang terlibat.
Penulis : Kalisya Ainun, Tim KKN PPM UGM Temon Tahun 2024
Fotografer : Kalisya Ainun
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News