#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung
Saat itu sandal japit yang kukenakan mendadak putus pengaitnya sejak kerumunan penonton kesenian jaranan menarik mundur dirinya dari arena panggung. Ada yang adu pukul antara penonton dengan penonton, penonton dengan pemain jaranan, dan kebanyakan dari mereka berupaya mengamanankan diri dari kerumunan. Dan sama seperti kebanyakan, saya berupaya untuk mengamankan diri. Sehingga selepas semuanya mereda dan acara dibubarkan, saya pulang dengan telanjang kaki sembari menenteng sandal jepit di tangan kanan dan kiri. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2016, saat amukan barong dari jaranan dari pagelaran tanggapan nyadran di Desa Sonoageng, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk mulai meluap.
Hiruk-Pikuk
Usut punya usut, singo barong yang sedang dalam kondisi trance ini mengamuk lantaran pendengarannya terusik oleh suara siulan yang terlontar dari arah penonton. Konon, bagi penikmat jaran kepang yang ada di Nganjuk, ketika terdapat siulan yang dilayangkan oleh penonton, maka singo barong dalam pementasan jaranan ini akan terusik pendengarannya. Sehingga tidak jarang pementasan kesenian ini sering bubar sebelum pementasan berakhir lantaran terjadi keributan antar penonton.
Sungguh sesuatu yang sangat disayangkan. Padahal, acara ini merupakan serangkain dari pagelaran nyadran yang ada di Desa Sonoageng, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk. Sebagaimana mestinya nyadran, pagelaran ini kerap diidentikan sebagai acara yang sakral dan suci. Meskipun memang jaranan ini merupakan salah satu wahana tontonan dari serangkaian nyadran, tapi kesakralan yang berada pada inti tujuan dari diselenggarakannya pagelaran ini perlu dijaga, minimal tidak dengan diciderai oleh keributan.
Meskipun tidak pernah berjung sampai menelurkan korban jiwa, bahwasanya kericuhan yang terjadi ini tidak sesederhana keremunan yang bertikai, lalu kemudian dimediasi oleh pihak Bhabinkamtibmas, lalu esoknya berdamai begitu saja. Namun lebih dari itu. seperti halnya pengingkaran, sebagaimana disadur dari artikel jurnal dari Tuti (2017) dan Nadlir (2016), dimanapun tempatnya, yang namanya pagelaran nyadran (bersih desa), kerap dianggap suci karena berupaya untuk melestarikan dan mewartakan nilai-nilai luhur dari lokalitas desa kepada masyarakat hingga menjadi lokomotif local genius. Dari sinilah terdapat nilai-nilai yang perlu dirawat, agar terhindar dari pencideraan-pencideraan lokalitas yang terdapat di dalam Desa Sonoageng.
Selain itu, mengingat pagelaran yang ada di Desa Sonoageng ini merupakan acaran tahun yang digelar dengan secara megah dan meriah, sehingga ada banyak sub-sektor desa yang diuntungkan dari adanya pagelaran ini. Berdasarkan media massa Kabar Nganjuk pada tahun (2022) saja, animo yang terjadi dari adanya pagelaran ini mampu menarik perhatian sejumlah 300 orang peserta. Belum lagi terhitung dari pengunjungnya. Sebagaimana itulah, pagelaran nyadran ini sangat lekat hubunganya dengan kesakralan, berkah dan pewarisan nilai budaya. Sehingga tidak menutup kemungkinan, misalnya: mulai dari pelaku ekonomi, yakni pedagang kecil, baik dari dalam maupun luar desa, dan lokalitas masyarakat Desa Sonoageng itu sendiri mendapat ganjaran manfaat yang berarti.
Nyadran dalam Lintasan Sejarah Desa Sonoageng
Sebagaimana menurut (Fatanti & Tuti, 2020), prosesi nyadran ini digelar setiap setahun sekali pada rentang bulan Juni-Juli selama 20 hari penuh setelah masa pemanenan padi kedua. Tidak ada ketepatan pasti mengenai kapan dimulainya nyadran yang kini telah menjadi sebuah tradisi. Namun yang jelas, kesadaraan untuk menciptakan nilai-nilai dari tradisi nyadran ini mulai mencuat pada tahun 1994 yang disertai dengan penambahan rangkaian prosesi dan pertunjukan rakyat. Hal ini dapat terjadi dikarenakan mendapat dorongan dari penguasa setempat dimasa itu (Fallahnda, 2021). Dan pemahaman konsep nyadran ini sebagai ziarah mengalami pergeseran pemahaman menjadi “bersih desa”.
Pelaksanaan upacara prosesi nyadran di Desa Sonoageng pertama kali dilaksanakan pada tahun 1994. Prosesi nyadran diselenggarakan atas musyawarah masyarakat dengan Dinas kebudayaan Kabupaten Nganjuk (Nugroho, 2015). Melalui kutipan tersebut dapat diketahi mengenai awal mula keterlibatan pihak pemerintahan Kabupaten Nganjuk. Walaupun prosesi dimulai pada tahun 1994, nyadran sendiri telah dilakukan oleh segelintir kecil masyarakat Sonoageng yang memiliki hubungan keturunan dengan Mbah Sahid.
Terlebih mengenai keterlibatan itu, tidak dapat dipungkiri bahwa memiliki tujuan, diantaranya untuk menjadikan nyadran di Sonoageng sebagai destinasi wisata sekaligus sebagai cara untuk melestarikan warisan budaya. Tujuan-tujuan yang di rancang oleh pemerintahan Kabupaten Nganjuk, khususnya Dinas Kebudayaan ditempuh dengan cara yang tidak mudah. Adanya hambatan dari kalangan masyarakat menjadi pendukung terbesarnya. Pada tahun itu masyarakat Sonoageng masih belum menerima mengenai wacana penyempurnaan pelaksaan prosesi nyadran yang menimbulkan pro-kontra. Pro-kontra tersebut bergulir dalam rentang waktu mulai tahun 1994 sampai 1996.
Namun di penghujung tahun 1996 hingga menjelang tahun 1997, masyarakat yang berada di posisi kontra merasakan dampak positif dengan diadakanya prosesi nyadran. Wacana dengan dijadikanya sebagai destinasi wisata, mengakibatkan banjirnya pengujung dari luar desa dalam nyadran ini. Kemudian masyarakat menganggap seperti mendapat keberkahan. Sehingga kesadaran partisipasi muncul dengan ditandainya kerjasama dalam pengkoordinasian panitia nyadran di tahun 1998.
Kemeriahan nyadran yang memuat mengenai unsur-unsur ziarah tidak pernah lepas dari sejarah Desa Sonoageng. Berdasarkan naskah cerita cekak Eyang Sahid, sejarah bermula pada kisaran tahun 1700-an, terdapat seorang punggawa kerajaan Mataram yang bernama Raden Keneman bersama para pasukan mendapat perintah dari gurunya untuk melakukan penjelajahan ke arah timur (TUTI, n.d.). Sampai akhirnya perjalanan terhenti ketika Raden Kaneman menemukan sebuah pohon sono berukuran besar di suatu wilayah yang kini disebut dengan Sonoageng. Pemberhentianya itu, menguatkan niatnya untuk membangun suatu pemukiman di wilayah tersebut sampai dilakukanlah babad alas (menebang hutan) (TUTI, n.d.). Sehingga cerita turun temurun yang diperoleh itu menyimpulkan bahwa ada kesinambungan sejarah antara nama desa dengan pohon sono yang ditemukan oleh Raden Kaneman.
Nama Desa Sonoageng sendiri secara keseluruhan dapat diartikan sebagai pohon sono (sawo kecik) yang besar(Tuti, 2017). Kemudian Raden Kaneman menyamarkan namanya menjadi Raden Sahid atau Mbah Sahid dengan tujuan dilakukan sebagai bentuk penyamaran terhadap kejaran musuh. Akan tetapi, melalui nyadran ini selain penokohan terhadap Eyang Sahid, namun ada juga sebagaian masyarakat Sonoageng yang menokohkan tokoh lain dalam peristiwa babad alas, yaitu Syech Wadzat (Tuti, 2017).
Refrensi
Fallahnda, B. (2021). Pengertian Kearifan Lokal: Fungsi, Karakteristik, dan Ciri-Cirinya. Tersedia Pada Https://Tirto. Id/Pengertian-Kearifan-Lokal-Fungsi-Karakteristik-Dan-Ciri-Cirinya-F9mi. Diakses Pada Tanggal, 11.
Fatanti, M. N., & Tuti, S. N. T. (2020). Interpretation of Nyadran Sonoageng Ritual as the Form of Ritual Communication of Sonoageng Villagers, Nganjuk Regency. Komunikator, 12(1), 67–78.
Kabar Nganjuk. (2022, July 15). Jelang Bulan Suro, Warga Desa Sonoageng Lakukan Tradisi Bersih Desa. Kabar Nganjuk .
Nadlir, N. (2016). Urgensi pembelajaran berbasis kearifan lokal. Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies), 2(2), 299–330.
Nugroho, B. S. (2015). Tradisi Upacara Nyadran di Desa Sonoageng Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk Tahun 1994-2014.
TUTI, S. N. T. (n.d.). NYADRAN SEBAGAI KOMUNIKASI.
Tuti, S. N. T. (2017). Tradisi Nyadran Sebagai Komunikasi Ritual. Jurnal Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya.
(pastikan sertakan sumber data berupa tautan asli dan nama jika mengutip suatu data)
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News