Polemik tambang nikel di Raja Ampat menuai sorotan dan kritik dari berbagai pihak. Eksploitasi di kawasan laut terkaya di dunia ini dikhawatirkan merusak ekosistem dan merugikan sektor pariwisata berkelanjutan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua mencatat, terdapat empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Papua, di mana tiga di antaranya berada di pulau-pulau kecil di kawasan Raja Ampat. Hal ini melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam UU itu, pemanfaatan pulau-pulau kecil hanya diprioritaskan untuk pariwisata, konservasi, budi daya laut, dan penelitian. Tidak ada satu pasal pun yang melegalkan eksplorasi tambag di area tersebut.
Di sisi lain, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan tak ada kompromi terkait kegiatan pertambangan di Raja Ampat. Jika masih terus berlanjut, selain merusak ekosistem, pendapatan pariwisata di Raja Ampat bisa merosot hingga 60 persen. Sektor ini menyumbang Rp150 miliar ke Pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan 70 persen wisatawan berasal dari luar negeri.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan pihaknya akan melakukan evaluasi dan memanggil pemegang IUP, baik BUMN maupun swasta, untuk dievaluasi. Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menerangkan bahwa mereka tengah mengkaji dan melakukan pengembangan untuk mengambil langkah penegakan hukum terkait pertambangan nikel di Raja Ampat.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News