Ada satu wajah masjid yang masih sering kita temui megah dari luar, sunyi dari dalam. Karpetnya bersih, pengeras suaranya nyaring, tapi setelah salat berjamaah, suasana kembali lengang. Tak banyak kegiatan, tak banyak interaksi.
Padahal, masjid sejatinya bukan sekadar tempat menunaikan kewajiban spiritual ia adalah simpul kehidupan sosial, ruang belajar bersama, bahkan pusat perubahan.
Masalahnya, banyak masjid di Indonesia masih dikelola dengan pendekatan lama. Administrasi seadanya, program berjalan itu-itu saja, dan pengurus masjid belum semua dibekali keterampilan manajemen yang relevan dengan tuntutan zaman.
Akibatnya, generasi muda merasa jauh, kegiatan jadi monoton, dan fungsi masjid sebagai pusat komunitas pun melemah secara perlahan.
Namun, di satu sudut Kabupaten Bogor, tepatnya di Zona Madina milik Dompet Dhuafa, angin segar mulai bertiup. Pada 30 Juli 2025, Masjid Al-Madinah menyelenggarakan sebuah inisiatif yang berbeda Pelatihan Manajemen Masjid. Bukan sekadar forum duduk-dengar, tapi ajang berbagi visi dan membongkar ulang paradigma tentang bagaimana seharusnya masjid dikelola di era modern.
Bertajuk “Menuju Masjid yang Lebih Profesional untuk Kebangkitan Umat”, pelatihan ini membawa semangat baru bagi para peserta yang terdiri dari takmir, pengurus masjid, hingga penggerak komunitas.
Mereka datang bukan hanya untuk belajar mencatat laporan keuangan atau menyusun jadwal ceramah, tetapi untuk membangun kembali semangat kolektif menjadikan masjid sebagai rumah bersama yang terbuka
Tiga narasumber hadir membagikan pengalaman dan gagasannya dari profesionalisme pengelolaan, pentingnya jejaring antar-masjid, hingga konsep masjid ramah keluarga. Semua disampaikan bukan dari atas podium menara gading, tapi dari pengalaman nyata di lapangan. Suasana pelatihan pun terasa akrab, membumi, dan penuh semangat gotong royong.
Saat Masjid Perlu Belajar Jadi Lebih Relevan
Transformasi masjid menuju pusat peradaban yang modern dan professional. Dokumentasi Pribadi
Mari jujur. Banyak dari kita tumbuh dengan bayangan masjid sebagai tempat yang sunyi, formal, dan agak “dewasa” baik dari suasana, program, maupun pengelolanya. Tak salah, tapi mungkin sudah saatnya kita bertanya: Apa cukup mengandalkan cara lama di zaman yang serba cepat ini?
Di banyak tempat, pengelolaan masjid masih berjalan dengan sistem lama. Yang penting ada takmir, jadwal imam tetap, dan speaker bisa mengumandangkan azan itu sudah dianggap cukup.
Padahal realitas hari ini jauh lebih kompleks. Jamaah datang dengan kebutuhan yang lebih luas: ingin mendengar ceramah yang menyentuh realita, butuh transparansi keuangan, ingin merasa disambut, bahkan sekadar nyaman membawa anak kecil ke masjid.
Namun takmir tak bisa disalahkan begitu saja. Banyak dari mereka menjalankan tugas dengan ikhlas, penuh semangat, namun tak semua dibekali keterampilan teknis dan strategis. Kegigihan tanpa pengetahuan kadang justru membuat mereka kewalahan.
Itulah sebabnya Ust. Iwan, Sekjen Kolaborasi Masjid Pemberdaya (KMP), saat berbicara dalam pelatihan di Masjid Al-Madinah, mengangkat pentingnya satu hal yang sering dianggap tabu di dunia peribadatan profesionalisme.
Ia menyampaikan bahwa kata “profesional” bukan berarti masjid harus menjadi korporasi. “Bukan soal gaji atau bisnis, tapi tentang tanggung jawab, sistem, dan arah yang jelas,” ujarnya di depan para peserta pelatihan.
Menurutnya, masjid juga adalah organisasi. Ia punya aset, pengurus, program, dan yang paling penting jamaah. Maka mengelolanya pun harus sistematis punya struktur yang rapi, program kerja yang terukur, laporan keuangan yang bisa dibaca siapa saja, serta pelayanan yang tidak kaku tapi mengayomi.
Lebih jauh, ia mengajak peserta untuk merenung soal satu hal: kenapa banyak anak muda enggan datang ke masjid? Ust. Iwan dengan gamblang menjawab, “Bukan mereka yang menjauh. Bisa jadi program kita yang tidak pernah mendekat.”
Kalimat itu semacam tamparan halus dan sepertinya disambut banyak anggukan pelan dari peserta. Memang, sering kali kita terlalu cepat menyalahkan generasi muda tanpa mengevaluasi pendekatan kita terhadap mereka.
Rumah Ibadah, Ruang Bertumbuh
Membekali takmir dengan ilmu manajemen masjid modern. Dokumentasi Pribadi
Ketika masuk dalam sesi diskusi yang penuh antusias, seorang tokoh dari Dewan Masjid Indonesia Kabupaten Bogor naik ke podium. Namanya Ust. H. TB Irwan Kurniawan, dan ia datang membawa pesan penting: masjid tak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri.
Ia membuka materi dengan satu kenyataan sederhana tapi menohok banyak masjid hari ini berdiri megah tapi terisolasi, berjalan seperti pulau-pulau kecil yang tidak saling terhubung. Padahal, kata Irwan, dalam dunia yang serba cepat dan kompleks seperti sekarang, kolaborasi bukan sekadar nilai tambah, tapi kebutuhan mendesak.
Setelah semangat kolaborasi ditanamkan, sesi dilanjutkan dengan materi yang jauh lebih membumi tapi justru menggugah sisi emosional para peserta. Ust. Jabaludin, SKM, sosok yang sehari-hari mengurus Masjid Al-Madinah tempat pelatihan ini berlangsung mengangkat tema “Masjid Ramah Keluarga.”
Pak Jabal tidak hanya bicara konsep. Ia menunjukkan langkah konkret yang telah diterapkan di Al-Madinah yakni ruang menyusui, loker jamaah, taman bermain anak, hingga toilet yang bersahabat bagi lansia. Tak ada yang mewah. Tapi semuanya hadir dari semangat yang sama: menjadikan masjid sebagai rumah kedua yang membuat semua orang betah pulang.
Pelatihan hari itu diikuti 55 peserta dari berbagai wilayah Bogor. Namun yang terjadi di ruangan itu jauh lebih besar dari sekadar pelatihan. Diskusi tidak hanya berlangsung di dalam sesi, tapi meluber saat jeda kopi, saat salat, bahkan saat peserta saling bertukar kontak.
Ketika masjid dikelola dengan semangat profesional dan rasa cinta pada jamaahnya, perubahan bisa terasa nyata. Anak-anak tak lagi dimarahi karena berisik. Ibu-ibu punya ruang aman. Generasi muda tak lagi merasa asing.
Masjid menjadi tempat bertumbuh, bukan sekadar tempat bersujud. Dan itulah yang sedang pelan-pelan ditanamkan oleh mereka yang berkumpul di Zona Madina hari itu semangat membangun peradaban dari ruang yang suci dengan akal yang tertata, dan hati yang terbuka.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News