Oleh: Ari J. Palawi.
Peneliti Budaya & Akademia Seni, Universitas Syiah Kuala.
Universitas Syiah Kuala (USK) bukan sekadar institusi pendidikan. Sejak pendiriannya pada 2 September 1961 dan pengukuhannya melalui Keputusan Presiden No.161/1962¹, ia berdiri sebagai salah satu proyek paling serius dalam membangun Aceh yang baru: wilayah yang bergerak dari luka kolonial dan ketegangan politik menuju harapan “Dar as-Salam” — sebuah ruang aman bagi ilmu, keberadaban, dan masa depan rakyat. USK tumbuh sebagai jantung nadi modernitas Aceh, tempat lahirnya para tenaga profesional, intelektual publik, sekaligus mediator antara Aceh dan republik.
Namun bila dulu hubungan kampus–publik Aceh bersifat organik, intens, bahkan emosional, kini relasi itu mengalami retak halus yang semakin nyata. Pilihan editorial ini bukan nostalgia murahan; ini diagnosis struktural terhadap transformasi tata kelola universitas, dinamika politik Aceh, serta melemahnya figur-figur penghubung yang dulu menghidupkan imajinasi USK sebagai rumah besar rakyat.
Dulu: ketika rektor USK adalah figur publik Aceh
Sejarah kepemimpinan USK mencatat satu pola penting: beberapa rektornya tidak berhenti sebagai administrator pendidikan; mereka terjun menjadi pemimpin publik dengan mandat besar. Contoh paling menonjol ialah Ibrahim Hasan, yang setelah menjabat rektor, kemudian memimpin Aceh sebagai Gubernur (1986–1993)² dan menempati posisi strategis di tingkat pusat pada masa Orde Baru³. Ia bukan hanya teknokrat; ia simbol gagasan bahwa kampus adalah pusat gravitasi moral-intelektual Aceh.
Di sisi lain, ada pula kisah tragis Prof. Dayan Dawood, rektor yang ditembak mati pada 2001 di tengah konflik bersenjata⁴. Kepergiannya mengguncang Aceh. Ia bukan sekadar pimpinan universitas; ia figur publik yang dipercaya menautkan aspirasi rakyat, dunia akademik, dan proses perdamaian. Publik Aceh merasakan kehilangan itu bukan sebagai kabar kampus, tetapi sebagai tragedi kolektif.
Baca Selengkapnya

