Hal inilah yang menjadi sorotan dalam perbincangan Helmy Yahya bersama Prof. Bagus Mulyadi, akademisi Indonesia yang kini menjadi profesor di Inggris. "Masalahnya, kemampuan berpikir analitis ini sangat bergantung pada penguasaan bahasa. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga alat berpikir. Ketika pendidikan bahasa dimarginalkan, kemampuan berpikir pun ikut melemah," ujarya. Dalam konteks AI, kebiasaan “meng-outsource” pemikiran ini menjadikan masyarakat rentan menjadi konsumen pasif teknologi, bukan produsen pengetahuan. Akibatnya, AI bukan dimanfaatkan, melainkan justru mengendalikan cara berpikir. Makin Tahu Indonesia Rendahnya minat baca bukan semata soal akses buku, melainkan juga soal kualitas pendidikan dasar, terutama kualitas guru. Guru yang tidak memiliki penguasaan literasi dan logika yang kuat akan kesulitan menanamkan kemampuan berpikir analitis sejak dini. Berpikir analitis berkaitan dengan kebenaran faktual dan logika, sementara berpikir kritis menyangkut keberanian mempertanyakan asumsi, hierarki, dan otoritas. Keduanya merupakan kemampuan yang sangat manusiawi dan belum sepenuhnya dapat digantikan oleh AI. Dengan fondasi tersebut, Indonesia tidak hanya mampu bertahan di era AI, tetapi juga berpeluang besar untuk berperan aktif dan berdaulat dalam perkembangan teknologi global. copyright by Pekalongan News Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
Menurut Prof. Bagus, AI adalah mesin yang sangat piawai menciptakan narasi. Tanpa kemampuan berpikir analitis, masyarakat akan kesulitan membedakan mana informasi yang faktual, manipulatif, atau sekadar simulasi.
Indonesia dinilai masih menghadapi apa yang disebut sebagai post-colonial syndrome, yakni kecenderungan untuk mengandalkan pihak luar dalam berpikir dan mengambil keputusan.
Tantangan tersebut diperparah oleh kondisi literasi nasional. Data PISA menunjukkan kemampuan literasi membaca siswa Indonesia masih berada di peringkat bawah.
Dalam diskusi ini juga ditegaskan perbedaan antara analytical thinking dan critical thinking.
Ke depan, AI tidak bisa dihindari sebagaimana revolusi industri sebelumnya. Pilihannya hanya dua: memanfaatkan AI atau menjadi korbannya. Karena itu, literasi bahasa, kejujuran dalam berpikir, serta penguatan identitas intelektual bangsa menjadi kunci.
Hal inilah yang menjadi sorotan dalam perbincangan Helmy Yahya bersama Prof. Bagus Mulyadi, akademisi Indonesia yang kini menjadi profesor di Inggris.
Menurut Prof. Bagus, AI adalah mesin yang sangat piawai menciptakan narasi. Tanpa kemampuan berpikir analitis, masyarakat akan kesulitan membedakan mana informasi yang faktual, manipulatif, atau sekadar simulasi.
"Masalahnya, kemampuan berpikir analitis ini sangat bergantung pada penguasaan bahasa. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga alat berpikir. Ketika pendidikan bahasa dimarginalkan, kemampuan berpikir pun ikut melemah," ujarya.
Indonesia dinilai masih menghadapi apa yang disebut sebagai post-colonial syndrome, yakni kecenderungan untuk mengandalkan pihak luar dalam berpikir dan mengambil keputusan.


