Pernahkah Kawan merasa sudah kenyang makan sesuatu, tetapi ketika disuguhkan makanan lain Kawan ingin mencicipinya lagi dan lagi?
Lantas apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah banyak yang beranggapan bahwa makhluk hidup terutama manusia dan hewan lapar karena mengalami defisit energi (kekurangan energi)?
Berkenalan dengan Teori Insentif-Positif
Teori Insentif-Positif adalah sebuah teori dalam psikologi yang menyatakan bahwa rasa lapar bukan disebabkan oleh defisit energi seperti yang dijelaskan oleh teori set-point, melainkan antisipasi/ekspektasi/harapan terhadap rasa senang atau kenikmatan yang akan kita rasakan saat kita makan makanan tersebut.
Sederhananya, Kawan merasa lapar karena secara tidak sadar membayangkan rasa senang dari makanan yang akan Kawan makan.
Teori insentif-positf juga menganggap bahwa rasa kenyang bukan hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor biologis, tetapi oleh faktor-faktor eksternal yang bisa “mengelabui” tubuh Kawan.
Menurut Pinel & Barnes dalam buku Biopsychology edisi ke-11, beberapa faktor yang mempengaruhi rasa lapar dan seberapa banyak kita makan adalah sebagai berikut.
1. Kehadiran Orang Lain
Pernahkah Kawan merasa nafsu makan Kawan bertambah saat sedang ngeliwet? Ternyata faktor makan bersama dengan orang lain juga berpengaruh pada rasa lapar dan seberapa banyak Kawan makan lho.
Dalam kajian pustaka yang dilakukan Herman pada 2015 menjelaskan bahwa kita cenderung makan lebih banyak pada saat makan bersama orang lain. Tak heran nafsu makan Kawan terasa lebih besar, apalagi ketika bersama orang terdekat.
2. ‘Pemanasan’: Appetizer Effect
Pernah tidak sih Kawan makan di sebuah restoran yang menyajikan makanan pembuka? Namun, bukannya efektif buat “mengganjal” perut malah membuat Kawan tambah merasa lapar. Apa yang sebenarnya terjadi?
Saat kita mulai membayangkan akan makan apa, tubuh Kawan merespon dengan menurunkan kadar gula darah dalam tubuh untuk mempersiapkan Kawan mengonsumsi makanan.
Dalam psikologi hal ini disebut sebagai fase cephalic. Makanan pembuka dengan porsi yang kecil justru memperkuat fase cephalic ini. Nah, fenomena rasa lapar yang semakin meningkat akibat makanan pembuka ini disebut sebagai Appetizer Effect.
3. Variasi Rasa pada Makanan
Seperti pada kasus Haikal di awal, variasi rasa pada makanan juga berpengaruh pada seberapa banyak makanan yang Kawan makan. Eksperimen pada tikus yang dilakukan oleh Rogers & Blundell pada tahun 1980 menguji dua kelompok tikus.
Kelompok pertama hanya diberi menu makanan seperti biasa, dan kelompok kedua, selain diberi menu makanan seperti biasa, mereka juga diberi roti dan coklat. Hasilnya, kelompok tikus yang diberi variasi rasa makanan mengonsumsi 84% lebih banyak kalori daripada biasanya.
Jadi, itulah alasan mengapa Kawan seringkali merasa masih ingin makan padahal sebelumnya Kawan merasa sudah kenyang.
Lain kali Kawan ditawari makanan oleh orang terdekat, ingatlah untuk tidak kebablasan, karena rasa lapar tidak sesederhana “butuh energi” saja, tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang dapat “menipu” tubuh Kawan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


