Anak usia sekolah dasar seharusnya pulang ke rumah dengan rasa aman, bercerita tentang pelajaran dan permainan yang mereka lalui seharian, serta merasakan kehangatan dari lingkungan terdekatnya.
Rumah idealnya menjadi ruang paling nyaman untuk beristirahat dan tumbuh, sementara keluarga berperan sebagai pelindung utama bagi perkembangan fisik dan emosional anak.
Namun kenyataannya, tidak semua anak memiliki kemewahan tersebut. Bagi sebagian anak, rumah dan lingkungan terdekat justru berubah menjadi ruang paling berbahaya, tempat terjadinya kekerasan dan pelanggaran hak anak.
Kasus eksploitasi seksual terhadap anak usia sekolah dasar di Indonesia menunjukkan bahwa anak masih menjadi kelompok paling rentan, terutama ketika orang-orang yang seharusnya melindungi justru gagal menjalankan perannya, baik karena kelalaian, ketidaktahuan, maupun penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan.
Pada usia ini, anak belum mampu mengenali ancaman, memahami batas tubuh, maupun melawan tekanan dari orang dewasa. Ketergantungan penuh pada lingkungan sekitar membuat anak mudah dimanipulasi dan dibungkam.
Situasi ini tampak nyata dalam kasus siswi sekolah dasar di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang menjadi korban eksploitasi seksual oleh orang terdekatnya sendiri.
Dalam budaya yang menekankan kepatuhan dan menganggap pembicaraan tentang tubuh sebagai hal tabu, anak sering memilih diam karena takut disalahkan, tidak dipercaya, atau dianggap membawa aib keluarga.
Diamnya anak bukanlah tanda persetujuan, melainkan cerminan ketidakberdayaan ketika sistem perlindungan keluarga dan sekolah tidak berpihak pada korban.
Menurut Erikson, anak usia sekolah dasar sedang membangun rasa aman dan percaya diri melalui relasi dengan orang terdekat. Ketika kekerasan seksual justru terjadi dalam lingkar keluarga, proses perkembangan ini terganggu secara serius.
Fenomena ini tampak dalam kasus siswi sekolah dasar di Kota Mataram yang menjadi korban eksploitasi seksual oleh kakak kandungnya sendiri.
Relasi kuasa dalam keluarga dan ketergantungan anak pada orang dewasa membuat korban sulit melawan maupun melapor. Akibatnya, anak kehilangan rasa aman, menarik diri, dan mengalami trauma yang berdampak panjang pada perkembangan emosional dan sosialnya.
Kondisi ini sering tidak segera dikenali oleh lingkungan sekitar. Perubahan perilaku anak sering disalahartikan sebagai masalah sikap atau akademik, sehingga kekerasan berlangsung tanpa henti. Tanpa konsekuensi tegas bagi pelaku dan tanpa penguatan bagi anak untuk berani melapor, perilaku kekerasan cenderung berulang, sebagaimana dijelaskan dalam Hukum Efek Thorndike.
Karena itu, pencegahan perlu diperkuat melalui pendidikan seks dini berbasis body safety yang membekali anak dengan pemahaman tentang batasan tubuh, hak untuk berkata tidak, dan keberanian mencari bantuan, serta didukung oleh sistem perlindungan yang responsif di sekolah dan keluarga.
Kasus eksploitasi seksual terhadap anak sekolah dasar di Mataram bukan sekadar kesalahan individu, melainkan cerminan lemahnya perlindungan bagi anak-anak yang belum mampu menjaga dirinya sendiri.
Pada usia ini, anak sangat bergantung pada orang dewasa untuk merasa aman, namun kepercayaan tersebut justru dikhianati dan suara anak dibungkam oleh rasa takut serta tekanan lingkungan.
Diamnya anak bukan pilihan, melainkan akibat dari keluarga yang lalai, sekolah yang tidak peka, dan negara yang terlambat hadir. Karena itu, perlindungan anak tidak boleh berhenti pada slogan atau aturan tertulis, tetapi harus diwujudkan dalam keberanian untuk peduli, mendengar, dan bertindak.Cara masyarakat melindungi anak adalah ukuran nurani dan kemanusiaannya, sebab setiap anak yang terluka bukan hanya korban kejahatan, melainkan tanda kelalaian kita bersama terhadap masa depan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


