Ada anak-anak yang berangkat ke sekolah bukan dengan semangat belajar, melainkan dengan perut mual dan dada sesak. Mereka duduk di bangku kelas, tetapi pikirannya sibuk bertanya: hari ini aku akan diejek apa lagi? Luka itu tidak berdarah, tetapi menetap lama di kepala dan hati.
Tahun 2025 mencatat kenyataan pahit itu. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendata 61 anak menjadi korban perundungan di sekolah. Angka ini tampak kecil ketika dituliskan, tetapi terasa besar jika kita membayangkan satu per satu wajah anak yang harus menanggungnya.
Lebih tragis lagi, KPAI juga melaporkan 25 kasus bunuh diri anak sepanjang 2025, dan sebagian besar berkaitan dengan tekanan bullying. Pada titik ini, perundungan bukan lagi sekadar kenakalan, ia telah menjadi ancaman nyawa.
Perundungan jarang datang dengan wajah yang jelas. Ia sering menyamar sebagai candaan, lelucon, atau “sekadar iseng”. Namun bagi korban, kata-kata itu menumpuk, membentuk keyakinan bahwa dirinya tidak cukup baik, tidak pantas diterima, dan tidak layak didengar. Ketika suara anak-anak ini tenggelam, rasa sepi menjadi semakin pekat.
Data Kementerian Kesehatan memperkuat gambaran tersebut. Sepanjang tahun 2025, tercatat 2.621 laporan kasus bullying. Angka ini menunjukkan bahwa perundungan bukan peristiwa tunggal, melainkan pola yang berulang dan sistemik. Banyak kasus bahkan tak pernah tercatat karena korban memilih diam, takut disalahkan, tak ingin dianggap lemah, atau sudah terlanjur kehilangan harapan.
Ketika Kepedulian jadi Jalan Keluar

Menghentikan bullying tidak cukup dilakukan melalui imbauan moral atau kampanye sesaat. Upaya ini membutuhkan keterlibatan nyata dari berbagai pihak yang hadir dalam kehidupan anak sehari-hari.
Sekolah, sebagai ruang utama tumbuh kembang anak, perlu benar-benar menjadi tempat yang aman, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara psikologis. Kebijakan antiperundungan harus diterapkan secara tegas, disertai mekanisme pelaporan yang melindungi korban tanpa membuat mereka merasa terancam.
Keluarga memiliki peran yang tidak kalah penting dalam membangun ketahanan emosional anak. Orang tua perlu membuka ruang dialog yang aman, mendengarkan tanpa menghakimi, serta peka terhadap perubahan perilaku anak.
Anak yang merasa didengar cenderung lebih berani bercerita sebelum luka yang mereka rasakan tumbuh terlalu dalam.
Masyarakat pun tidak bisa terus berada di posisi penonton. Ketika perundungan dianggap sebagai candaan atau urusan pribadi, budaya kekerasan akan terus berulang. Keberanian untuk menegur, melapor, dan berpihak pada korban merupakan bentuk kepedulian paling sederhana, tetapi berdampak besar. Dalam konteks ini, diam bukan lagi pilihan.
Di era digital, pencegahan bullying juga harus menjangkau ruang daring. Literasi digital perlu diperkuat agar anak memahami batas antara kebebasan berekspresi dan kekerasan verbal. Media sosial seharusnya menjadi ruang yang aman untuk bertumbuh, bukan tempat yang justru memperparah luka.
Menghentikan bullying memang tidak dapat dilakukan secara instan. Namun setiap langkah kecil, seperti mendengarkan, melindungi, dan bertindak, adalah bentuk harapan. Jika tahun 2026 ingin dimaknai sebagai awal yang lebih baik, maka upaya melawan perundungan harus dimulai sekarang, bersama-sama, sebelum lebih banyak anak kehilangan masa depannya dalam diam.
Menjelang 2026, mungkin kita tidak bisa memberi hadiah yang dibungkus pita. Namun kita bisa menawarkan sesuatu yang jauh lebih bermakna: keberanian untuk menghentikan bullying.
Hadiah ini hadir ketika kita mau mendengarkan tanpa menghakimi, menegur tanpa merendahkan, dan berpihak pada korban tanpa menunggu semuanya terlambat.
Sekolah, keluarga, dan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama: memastikan anak-anak tumbuh di ruang yang aman, bukan ruang yang melukai. Anak tidak membutuhkan dunia yang sempurna, tetapi dunia yang mau melindungi mereka saat rapuh.
Jika 2025 menyisakan duka, maka 2026 seharusnya menjadi awal kepedulian. Menghentikan bullying bukan hanya tentang hari ini, melainkan tentang masa depan yang masih ingin kita jaga.
Dan mungkin, hadiah terbaik yang bisa kita berikan adalah memastikan tak ada lagi anak yang merasa sendirian dalam diamnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


