Perceraian sering kali dipahami sebagai akhir dari hubungan suami-istri. Namun, di balik keputusan tersebut, ada anak yang harus belajar menerima perubahan besar dalam hidupnya.
Terlebih ketika perceraian disebabkan oleh perselingkuhan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh orang tua, tetapi juga membekas dalam keseharian dan cara anak bersosialisasi.
Belakangan ini, publik kerap disuguhi kabar perselingkuhan yang terjadi di kalangan selebgram Indonesia dan berujung pada perceraian. Perhatian publik biasanya tertuju pada konflik, proses hukum, atau pembagian hak asuh.
Sayangnya, sorotan tersebut sering berhenti pada orang tua, sementara kondisi psikologis anak justru luput dari perhatian.
Beberapa kasus menunjukkan bahwa perceraian akibat perselingkuhan tidak hanya mengakhiri hubungan pernikahan, tetapi juga mengubah dinamika keluarga secara drastis. Anak harus beradaptasi dengan situasi baru, mulai dari perubahan pola asuh, suasana rumah yang berbeda, hingga tekanan sosial dari lingkungan sekitar.
Pada fase ini, anak berada pada posisi yang rentan karena belum sepenuhnya mampu memahami dan mengelola konflik orang dewasa.
Penelitian yang dilakukan oleh Rifka Ilma Prasidarini dan Muhammad Arifin mengungkap bahwa perselingkuhan dan perceraian orang tua dapat berdampak pada perilaku sosial anak. Yuk, kita simak bersama!
Kepercayaan Diri Anak dalam Bersosialisasi Menurun
Salah satu dampak yang sering kali muncul adalah menurunnya kepercayaan diri dalam bersosialisasi. Anak dari keluarga yang tidak utuh sering kali menjadi lebih pendiam, menarik diri, atau justru menunjukkan perilaku agresif. Rasa malu, takut menjadi bahan pembicaraan, dan perasaan tidak aman membuat mereka kesulitan untuk berteman dengan teman sebaya.
Semangat Belajar Anak Ikut Terpengaruh
Selain itu, perceraian juga dapat memengaruhi semangat belajar anak. Keluarga merupakan sumber dukungan emosional utama bagi anak. Ketika konflik orang tua berlangsung berkepanjangan, dukungan tersebut bisa berkurang.
Akibatnya, anak lebih mudah kehilangan fokus, merasa cemas, dan tidak termotivasi untuk belajar. Kondisi ini berpotensi berdampak pada prestasi akademik dan minat anak terhadap sekolah.
Trauma Emosional yang Membekas
Dampak lain yang tidak kalah serius adalah trauma emosional. Anak yang mengetahui atau menyaksikan perselingkuhan orang tuanya dapat membawa luka psikologis hingga dewasa. Trauma ini kerap memengaruhi cara mereka memandang hubungan dan pernikahan.
Tidak sedikit anak yang tumbuh dengan rasa takut menjalin komitmen karena khawatir mengalami pengalaman serupa. Dalam beberapa kasus, trauma juga membuat anak kesulitan membangun hubungan yang sehat dan penuh kepercayaan, sehingga menyebabkan anak takut untuk menikah.
Berbagai temuan tersebut menunjukkan bahwa perceraian akibat perselingkuhan bukan sekadar urusan orang dewasa. Anak yang awalnya ceria dan aktif bisa berubah menjadi lebih murung, tertutup, atau menjauh dari lingkungan sosialnya.
Dampak ini memang tidak selalu terlihat secara langsung, tetapi dapat bertahan lama dan memengaruhi perkembangan psikologis anak.
Pada akhirnya, setiap konflik dalam rumah tangga meninggalkan jejak bagi seluruh anggota keluarga, terutama anak. Dampak perceraian akibat perselingkuhan memang tidak selalu terlihat secara langsung, tetapi bisa memengaruhi perkembangan emosional dan sosial, serta meninggalkan jejak trauma pada anak untuk waktu yang lama.
Namun, dengan pendampingan emosional yang tepat, komunikasi yang sehat antara orang tua, serta lingkungan yang suportif, anak tetap memiliki peluang untuk tumbuh dengan baik meski berasal dari keluarga yang bercerai.
Kesadaran orang dewasa untuk menempatkan kesejahteraan anak sebagai prioritas menjadi langkah penting agar luka emosional tidak terus terbawa hingga masa depan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


