Banyak ibu menjalani hari dengan satu keyakinan yang terdengar wajar: rasa lelah adalah bagian dari peran mereka. Kurang tidur, emosi yang mudah naik turun, cepat marah, hingga perasaan bersalah sering dianggap sebagai konsekuensi alami dari mengasuh anak.
Kalimat “aku cuma capek” pun kerap menjadi penutup dari berbagai keluhan yang tidak pernah benar-benar dibicarakan. Padahal, pada sebagian ibu, kondisi tersebut bukan sekadar kelelahan fisik, melainkan tanda depresi yang belum disadari.
Depresi pada ibu sering kali tersembunyi di balik rutinitas yang tetap berjalan. Selama anak masih makan, sekolah, dan terlihat baik-baik saja, banyak ibu merasa tidak memiliki alasan untuk mengeluh. Kondisi ini membuat depresi dipandang sebagai masalah pribadi yang harus dihadapi sendiri.
Padahal, berbagai kajian dalam psikologi keluarga menunjukkan bahwa kondisi emosional ibu tidak berhenti pada dirinya. Apa yang dirasakan ibu dapat memengaruhi cara ia merespons anak dan, dalam jangka panjang, ikut membentuk perkembangan emosional anak. Dengan kata lain, depresi ibu bukan hanya persoalan individu, tetapi isu keluarga.
Ketika Luka Lama Tidak Hilang, Ia Berubah Bentuk
Sejumlah penelitian menemukan bahwa pengalaman masa kecil memiliki peran besar dalam kesehatan mental seseorang ketika dewasa. Sebuah studi terhadap 385 pasangan ibu dan anak menunjukkan bahwa ibu yang pernah mengalami trauma masa kecil, seperti pengabaian emosional atau kekerasan, memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi saat dewasa.
Trauma tersebut tidak selalu hadir sebagai ingatan yang jelas, tetapi tersimpan dalam cara seseorang memandang diri, merasa aman, dan menjalin relasi.
Ketika memasuki peran sebagai orang tua, luka lama ini dapat muncul kembali dalam bentuk yang lebih samar. Ibu bisa merasa sangat mudah bersalah, takut dianggap gagal, atau merasa kelelahan emosional yang sulit dijelaskan.
Depresi dalam konteks ini tidak selalu tampak sebagai kesedihan yang mendalam, melainkan sebagai rasa lelah batin yang menetap dan perlahan memengaruhi hubungan dengan anak.
Depresi Ibu, Bahasa Diam-Diam yang Ditangkap Anak
Depresi tidak hanya menguras energi, tetapi juga memengaruhi kualitas interaksi ibu dan anak. Respons menjadi lebih singkat, kontak emosional terasa datar, dan perhatian diberikan secara tidak konsisten. Dalam keseharian, hal ini bisa terlihat ketika ibu menjawab cerita anak sekadarnya karena merasa lelah, atau merespons tangisan anak dengan nada tegang alih-alih pelukan.
Bagi anak, hubungan dengan ibu merupakan “cermin pertama” untuk memahami dunia emosional. Ketika cermin tersebut tidak jernih, anak dapat merasa bingung, tidak sepenuhnya diterima, atau kesulitan mengenali emosinya sendiri.
Kondisi ini sering muncul dalam bentuk perilaku seperti mudah marah, sering menangis, menarik diri, menolak aturan, atau mencari perhatian dengan cara yang negatif. Penelitian menunjukkan bahwa ibu yang mengalami depresi cenderung lebih tegang dalam pengasuhan, kurang responsif, dan kesulitan memberikan dukungan emosional. Tanpa disadari, pola ini menjadi bahasa emosional yang dipelajari anak.
Dampak yang Bisa Berulang Antargenerasi
Jika tidak disadari, dampak depresi ibu tidak berhenti pada satu fase kehidupan anak. Cara anak memahami kasih sayang, mengelola emosi, dan membangun relasi dapat terbawa hingga dewasa.
Pola ini berpotensi menjadi semacam warisan emosional yang berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, kondisi ini bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah. Siklus tersebut dapat dihentikan melalui kesadaran dan dukungan yang tepat.
Pulihnya Ibu Adalah Pulihnya Anak
Pemulihan dimulai dari pengakuan sederhana bahwa ibu juga manusia. Mereka tidak dituntut untuk selalu kuat. Merawat diri bukan bentuk egoisme, melainkan bagian dari tanggung jawab emosional terhadap keluarga. Ada berbagai langkah yang dapat membantu proses pemulihan, mulai dari konseling psikologis, belajar mengelola emosi, berlatih mindfulness, menjaga waktu istirahat, berolahraga ringan, hingga berbagi cerita dengan orang-orang terdekat.
Pendekatan pengasuhan berbasis kesadaran atau mindful parenting juga terbukti membantu memperbaiki kualitas hubungan ibu dan anak. Pendekatan ini memberi ruang bagi ibu untuk hadir secara utuh, mengenali emosinya sendiri, serta merespons anak dengan lebih hangat dan konsisten.
Tidak Harus Sempurna, tapi Perlu Didukung
Anak tumbuh dari suasana emosional yang ia rasakan setiap hari. Ketika ibu berani mengakui lelahnya, mencari bantuan, dan merawat luka lama yang belum pulih, ia tidak hanya menolong dirinya sendiri, tetapi juga memberi anak kesempatan untuk tumbuh dalam lingkungan emosional yang lebih sehat.
Jika depresi ibu dapat memengaruhi anak, maka proses pemulihan ibu pun dapat menjadi jalan bagi seluruh keluarga untuk pulih. Mengasuh bukan tentang selalu kuat, melainkan tentang berani belajar, bangkit, dan tumbuh bersama.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


