airnya surut tapi takutnya masih menggenang - News | Good News From Indonesia 2025

Airnya Surut, tetapi Takutnya Masih Menggenang

Airnya Surut, tetapi Takutnya Masih Menggenang
images info

Airnya Surut, tetapi Takutnya Masih Menggenang


Setiap bencana selalu meninggalkan dua jenis kerusakan. Pertama, kerusakan yang mudah tertangkap kamera: rumah yang hanyut, jembatan yang runtuh, dan lahan pertanian yang rusak. Kedua, kerusakan yang jarang terlihat: luka psikologis yang hanya terdengar di kepala para penyintas.

Banjir bandang dan longsor di Sumatra dan Aceh mungkin telah mereda dari pemberitaan. Media beralih, linimasa bergerak cepat. Namun bagi penyintas, bencana tidak benar-benar pergi ketika air kembali ke sungai.

Rumah memang bisa dibangun ulang, dan infrastruktur dapat diperbaiki, tetapi rasa aman adalah kebutuhan paling mendasar manusia, tidak memiliki jalur pemulihan yang sesederhana itu.

Selama ini, penanganan bencana kerap diukur melalui kerusakan fisik. Berapa rumah rusak, berapa jumlah pengungsi, dan berapa kerugian materi menjadi tolok ukur utama. Sayangnya, ada satu bentuk kerusakan yang hampir tidak pernah tercantum dalam laporan resmi: kerusakan psikologis.

Padahal, berbagai penelitian telah lama menunjukkan bahwa bencana alam memiliki dampak serius terhadap kesehatan mental. Sebuah meta-analisis menemukan sekitar 15–16 persen penyintas banjir mengalami gangguan stres pascatrauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD).

baca juga

Pada bencana berskala besar, angka tersebut dapat meningkat hingga mendekati 30 persen. Risiko pada anak-anak bahkan lebih tinggi, yakni sekitar 20–30 persen dalam enam bulan pertama setelah kejadian.

Artinya, ketika air telah surut, sebagian penyintas masih hidup dalam “banjir” yang tidak pernah benar-benar berakhir.

Memahami PTSD pada Penyintas Bencana

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelima (DSM-5), PTSD merupakan gangguan psikologis yang muncul setelah seseorang mengalami peristiwa ekstrem, mengancam nyawa, atau sangat traumatis.

Gejalanya terbagi ke dalam 4 kelompok utama: kilas balik dan mimpi buruk, kewaspadaan berlebih, perilaku penghindaran, serta mati rasa emosional.

PTSD bukan persoalan kuat atau lemahnya mental seseorang. Ia merupakan cara otak bertahan ketika dipaksa memproses pengalaman yang terlalu besar, terlalu cepat, dan terlalu menakutkan. Pada penyintas banjir, gejala-gejala ini dapat muncul bahkan ketika mereka tampak tegar dan berfungsi normal dalam keseharian.

Ketika Ingatan Lebih Deras dari Arus Air

Sebagian penyintas dapat merasa seolah kembali ke momen bencana hanya karena pemicu sederhana, seperti melihat air mengalir dari keran, mendengar hujan turun, atau mencium bau tanah basah. Pada malam hari, mimpi buruk hadir berulang, menggambarkan air yang terus naik, teriakan minta tolong, atau suasana gelap ketika listrik padam.

Penelitian menunjukkan bahwa kilas balik dan intrusi ingatan merupakan gejala PTSD yang paling umum, terutama pada bencana yang terjadi secara mendadak dan nyaris tanpa waktu untuk menyelamatkan diri.

Dalam kondisi ini, validasi menjadi langkah awal yang penting, alih-alih memaksa penyintas untuk segera menenangkan diri.

baca juga

Tubuh yang Terus Siaga

Bagi sebagian penyintas, suara hujan bukan lagi hal yang menenangkan. Tubuh bereaksi seolah bahaya akan datang kembali. Kondisi ini dikenal sebagai hyperarousal, ketika sistem saraf tetap berada dalam mode siaga meskipun ancaman telah berlalu.

WHO telah lama memperingatkan bahwa bencana alam—terutama yang datang mendadak dan berpotensi berulang seperti banjir—dapat meningkatkan stres dan kecemasan secara signifikan. Tubuh belajar untuk selalu waspada, dan respons ini sering kali bertahan jauh setelah situasi dinyatakan aman.

Menghindari yang Pernah Menyakiti

Tidak sedikit penyintas yang menunda kembali ke rumah atau menghindari lokasi tertentu setelah bencana. Ada pula yang merasa cemas hanya karena suara air dari pipa atau saluran kamar mandi. Perilaku ini bukan bentuk kemalasan, melainkan bagian dari gejala penghindaran dalam PTSD.

Studi pascabanjir di Kerala, India, menemukan bahwa sekitar setengah penyintas masih menunjukkan gejala PTSD 3 bulan setelah kejadian. Ini termasuk kecenderungan menghindari pemicu trauma. Pendampingan secara bertahap dan tanpa paksaan menjadi kunci dalam membantu proses pemulihan.

Diam yang Tidak Pernah Sepi

Gejala lain yang kerap luput dikenali adalah mati rasa emosional. Orang dewasa yang tampak “kuat” sering kali justru sedang mematikan emosinya. Mereka tidak menangis, tetapi menarik diri, mudah tersinggung, kehilangan minat, atau merasa hampa.

Penelitian pascagempa Wenchuan menunjukkan bahwa banyak anak penyintas terlihat “diam dan kooperatif”, padahal kondisi tersebut merupakan bentuk emotional numbing. Jika tidak ditangani, kondisi ini dapat bertahan dalam jangka waktu lama dan mengganggu perkembangan psikologis.

baca juga

Rasa Aman Tidak Bisa Dibangun Seketika

Rumah dapat dibangun ulang dengan kayu dan semen. Namun rasa aman tidak bekerja dengan cara yang sama. Ia membutuhkan waktu, relasi yang suportif, serta pendampingan psikososial yang berkelanjutan.

Jika pembangunan pascabencana hanya berfokus pada aspek fisik, ketangguhan yang dibangun menjadi timpang. Ketangguhan sejati tidak hanya diukur dari seberapa cepat bangunan berdiri kembali, tetapi juga dari seberapa serius upaya merawat luka yang tidak kasatmata.

Sebab yang retak setelah bencana bukan hanya tembok, melainkan juga manusia yang terlalu sering dipaksa untuk segera “baik-baik saja”.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

JS
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.