Di berbagai wilayah di Indonesia terdapat begitu banyak daerah yang memiliki kain tenun dengan motif khas. Wilayahnya pun terbentang dari Aceh sampai Papua.
Sejak lama, kain tenun telah menjadi satu warisan budaya turun-temurun, yang menjadi bagian dari tradisi. Dari kain tenun juga, ada ruang pemberdayaan masyarakat, karena menjadi satu mata pencaharian.
Namun, perjalanan waktu dan modernitas membuatnya perlahan memudar. Fakta ini membuat Yuyun Ahdiyanti tergerak untuk menghidupkan lagi geliat kain tenun Bima.
Berawal dari kecintaannya terhadap warisan leluhur, perempuan asal Kelurahan Ntobo, Kota Bima ini membangun UKM Dina pada tahun 2015. Langkah ini menjadi bentuk nyata dari upaya pelestarian budaya sekaligus pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal.
Sejak kecil, Yuyun cukup akrab dengan benang, kain dan motif tenun khas Bima. Familiaritas ini didapat dari orang tua dan neneknya.
Dalam budaya masyarakat Bima, kain tenun dianggap sebagai simbol peradaban dan identitas lokal yang sarat makna. Setiap motif tenun Bima memiliki cerita, doa, dan filosofi yang diwariskan lintas generasi.
Pada prosesnya, UKM Dina tumbuh dari tekad sederhana menjadi usaha yang memberi dampak besar. Pelan tapi pasti, UKM ini berhasil membangkitkan lagi gairah menenun di kalangan warga Ntobo.
Selain mengajarkan kembali teknik menenun tradisional, pendekatan bisnis modern juga diperkenalkan. Alhasil, kain tenun yang dulu hanya digunakan pada upacara adat kini berkembang menjadi produk fashion yang diminati berbagai kalangan.
Di bawah bendera UKM Dina, Yuyun terus berinovasi menciptakan motif-motif baru tanpa meninggalkan akar tradisi. Ia memadukan warna dan pola khas Bima dengan sentuhan modern agar tenun dapat memperluas jangkauan pasar.
Perpaduan antara nilai budaya dan kreativitas menjadi sebuah nilai khas yang diperjuangkan UKM Dina. Kombinasi unik ini lalu membuahkan apresiasi SATU Indonesia Award tahun 2024.
Dengan pengakuan tersebut, identitas UKM Dina sebagai UKM yang berkarakter, kreatif, dan berorientasi pada nilai-nilai budaya menjadi satu ciri khas. Setiap helai tenun yang dihasilkan menjadi gambaran warisan budaya kebanggaan daerah Bima yang hidup kembali.
Progres ini lalu menghadirkan satu harapan baru, yakni menjadikan Ntobo sebagai Kampung Tenun Bima. Di sini, wisatawan bisa datang langsung menyaksikan proses pembuatan kain tenun, belajar tentang filosofi motif, dan menjumpai kearifan budaya lokal.
Dengan menjadikan Ntobo sebagai destinasi wisata budaya, perekonomian masyarakat Ntobo dapat semakin berkembang. Setiap kunjungan wisatawan akan membuka peluang baru bagi para pengrajin dan pelaku usaha lokal.
Perjalanan UKM dari provinsi Nusa Tenggara Barat ini membuktikan, pelestarian budaya dapat seiring sejalan dengan laju kencang modernitas. Dengan sentuhan inovasi dan kreativitas, warisan budaya bisa menjadi potensi ekonomi berkelanjutan. Terbukti, kain tenun Bima yang dulu hampir dilupakan, kini kembali hidup, dikenakan dengan bangga oleh generasi muda, dan menjadi simbol warisan leluhur.
Boleh dibilang, ini bukan sebatas upaya pelestarian budaya atau merawat warisan nenek moyang dari masa lalu. Ini adalah satu upaya nyata, dalam menciptakan masa depan yang lebih baik, lewat potensi manfaat ekonomi dan ruang pemberdayaan masyarakat yang ada dalam satu produk warisan budaya, seperti pada kasus tenun Bima ini.
Menariknya, apa yang diupayakan Yuyun Ahdiyanti lewat UKM Dina ini menjadi satu cara organik paling efektif, dalam menjaga satu warisan budaya. Dengan menggali potensi manfaat ekonominya, dan membangun "rasa ikut memiliki" di kalangan masyarakat setempat, ada ruang berkembang lebih luas dan manfaat berkelanjutan yang dapat dinikmati bersama.
Mungkin, inilah satu alasan, mengapa Indonesia kerap disebut sebagai satu bangsa yang "kaya".
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


