Upaya memperkenalkan masakan Jawa ke dunia internasional telah dilakukan sejak akhir abad 19. Pada masa itu, muncul kesadaran dari negara-negara kolonial untuk memanggungkan serba-serbi kebudayaan di tanah jajahan mereka.
Kesempatan untuk memperkenalkan masakan Jawa terwujud dalam sebuah perhelatan Exposition Universelle, sebuah perhelatan pameran negeri-negeri jajahan sedunia yang diselenggarakan di Paris sejak 6 Mei hingga 31 Oktober 1889.
Menukil buku Rasa Tanah Air: Awal Perkembangan Kuliner Indonesia di Mancanegara pada Akhir Abad ke-19 hingga 1940-an karya Fadly Rahman menceritakan rombongan yang menaiki kapal Rotterdamsche Llyod bertolak dari Pelabuhan Tanjung Priok pada 24 Februari.
Fadly menjelaskan kapal itu tidak hanya disesaki oleh penumpang, tetapi bambu-bambu dari desa yang dipakai sebagai bahan untuk membangun perkampungan Jawa di Paris. Nantinya proyek pembangunan itu dipimpin oleh M.Bernard yang sudah tinggal di Jawa selama 18 tahun.
“Dengan pengetahuan terhadap seluk beluk kehidupan masyarakat dan budaya Jawa yang dikuasainya, dalam pameran ini ia membangun sekitar dua puluh rumah besar kecil, kios/warung, lumbung beras, gedung teater, serta restoran,” jelasnya.
Hal yang mencolok dari pameran di kampung Jawa ini adalah adanya gudang beras. Bernard menghadirkan gedung beras ini mengingat bangunan tersebut memiliki nilai yang sangat penting bagi orang-orang Jawa.
“Adapun bagi para pengunjung bangunan untuk menyimpan beras ini lebih merupakan penanda kultural yang memudahkan mereka dalam memahami sumber pokok dari kebiasaan makan orang-orang Jawa,” ucapnya.
Mengamati orang Jawa saat makan
Para penghuni yang berada di kampung ini ditampilkan apa adanya seperti di negeri asalnya. Seorang dokter bernama George Crouigneau yang hadir dalam pameran itu mendeskripsikan hasil pengamatannya.
“Makanan semua kampung disiapkan bersama, di bawah semacam gudang juru masak meletakkan dandang berisi air di atas api kayu lalu mereka menempatkan wadah berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman bambu dengan mata jaring yang cukup lebar, kukusan yang ujungnya diarahkan ke dalam dandang tempat nasi itu dituangkan kemudian dikukus,” jelasnya.
Crouigneau juga mendeskripsikan alat memasak di dapur orang Jawa yang meliputi tembikar, piring kayu, dan lesung yang dipajang di dinding bambu ruang dapur. Jurnalis itu juga mendeskripsikan cara orang Jawa ketika memasak nasi.
Makanan itu, jelasnya dibuat dalam kuali tembaga yang disebut dandang yang diisi air hingga seperempatnya dan di bagian dalamnya digantung sekeranjang anyaman bambu yang dinamakan kukusan berisikan beras.
“Ketika air mendidih, nasi mulai dikukus dan setiap butir beras masih mempertahankan bentuknya, ini merupakan pemandangan yang menarik untuk diamati serta rasanya tampak seperti pasta lengket dan kental yang mengerikan dan para juru masak Eropa kami menyebutnya sebagai “nasi mati”” ucapnya.
Melihat cara orang Jawa mengatur makan
Crouigneau juga melihat cara orang Jawa mengatur makanan. Pada pagi hari, jelasnya orang Jawa makan nasi dingin dan menyerap rebusan daun kopi panas. Ketika malam hari, nasi muncul lagi dengan bumbu yang tak terhitung banyaknya.
Dirinya melihat lauk pauk seperti ikan segar, ikan asin, ikan yang dikeringkan, unggas dengan kari, asam jawa, irisan daging kering, sup sayur pedas dengan santan, minyak kelapa, bawang goreng, kacang polong, buncis, dan lain-lain.
“Orang Jawa unggul dalam membuat makanan penutup dan krim manis,” jelasnya.
Hal yang menarik bagi pengunjung yang hadir adalah nasi sebagai menu pokok makanan sehari-hari orang Jawa. Tidak diragukan lagi, jelasnya tidak ada makanan alternatif selain nasi untuk dikonsumsi.
“Semua masakan hampir tidak tersisakan oleh penduduk kampung dengan jumlah tidak kurang dari lima puluh orang yang makan nasi dua kali sehari,” jelasnya.
Hal pilu yang direkam oleh Crouigneau adalah saat melihat orang Jawa tampak menikmati rebusan panas daun kopi. Hal yang ironis adalah saat itu Jawa merupakan pengekspor biji kopi berkualitas di dunia.
Tetapi jelasnya pameran itu memang menampilkan realitas yang terjadi di negeri jajahan. Biji-biji kopi memang ditanam oleh masyarakat Jawa, tetapi ada aturan keras yang melarang rakyat jajahan untuk menikmati kenikmatan biji kopi.
“Kebiasaan meminum rebusan daun kopi yang terlihat di pameran itu merepresentasikan kondisi nyata di negeri jajahan, seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang di Sumatra Barat dalam tradisi kahwa daun-nya.”
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


