Indonesia sebagai negara dengan beragam tradisi ternyata juga menyimpan fakta menarik di dalamnya. Dari ribuan tradisi di indonesia, ternyata terdapat tradisi yang tidak hanya menjaga kearifan lokal semata.
Akan tetapi, juga menciptakan toleransi sosial di tengah masyarakat dan juga berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan. Ini menjadi berita baik di tengah tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini.
KLHK mencatat bahwa deforestasi Indonesia mencapai 104 ribu hektare pada tahun 2022. Di sisi lain, penelitian dari Setara Insititute (2023), Indeks Toleransi Beragama Indonesia tahun 2023 turun ke skor 63,6 dari skala 0 sampai 100 melansir dari khub.
Lalu apa saja tradisi lokal Indonesia yang ternyata bantu ciptakan toleransi sosial dan menjaga kelestarian alam? Berikut ulasannya!
1. Tradisi Subak Bali atau Sistem Irigasi Kolektif di Bali

potret pelaksanaan Subak di Bali (commons.wikimedia.org/Anggabuana)
Subak merupakan tradisi pengelolaan air irigasi untuk mengaliri sawah-sawah di bali. Tradisi ini terdiri dari sekelompok atau beberapa petani yang mengelola pembagian air, rotani tanam, dan ritual air sehingga mengurangi konflik atas air dan menjaga lanskap lahan dalam bentuk terasering.
Dilansir dari unesco.org, Bali memiliki sekitar 1.200 kelompok tani air yang sudah menjadi bagian dari tradisi subak air ini di mana 50 sampai 400 petani mengelola pasokan air dari satu sumber yang sama.
Hal tersebut jelas mengambarkan bagaimana tradisi ini menjaga kelestarian lingkungan serta menanamkan nilai kebersamaan dan toleransi sosial yang terus terjaga hingga sekarang.
Bukan hanya sebatas pengelolaan air, tradisi ini juga membuat para petani padi tradisional menanam dengan sistem tradisional tanpa bantuan pupuk dan pestisida. Secara keseluruhan kegiatan ini dipandang sebagai bagian tradisi sakral di Bali.
Berdasarkan Jurnal yang dikeluarkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali (2017) menyatakan bahwa subak sebagai organisasi agraris, menerapkan prinsip toleransi dan kerjasama antar anggota termasuk situasi multi-etnis dan multi-agam, Semua anggota mendapat perlakuan yang sama melalui aturan tradisional (awig-awig) yang adil.
2. Sasi Laut

potret Pantai Ora di Maluku yang menerapkan Sasi Laut (commons.wikimedia.org/Trifosa18)
Sasi laut adalah tradisi yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia, seperti: Maluku, Maluku Utara, dan, Raja Empat yang merupakan bagian timur Indonesia.
Adapun sasi laut adalah praktik lokal penutupan sementara area laut/ terumbu/ fishing grounds atau larangan panen yang mengatur kapan dan siapa yang boleh memanfaatkan sumber daya yang bertujuan untuk memulihkan stok ikan dan keanekaragaman ikan.
Tidak hanya sebatas menjaga sumber daya laut, sasi laut juga menjunjung nilai gotong-royong sehingga tercipta masyarakat bersatu dan menjunjung tinggi toleransi.
Berdasarkan penelitian jurnal Universitas Musamus (2025) menyatakan bahwa di tengah kerusakan lingkungan, sasi laut memainkan peran penting sebagai sistem nilai, ritual, dan pengetahuan yang menjaga keseimbangan ekologis sekaligus sosial komunitas masyarakat sekitar.
3. Hutan Adat

potret masyarakat Sungai Utik dan hutan adat mereka di Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat (commons.wikimedia.org/Hendrojkson)
Sebagai salah satu negara dengan luas hutan terbesar di dunia, seperti dilansir dari kementrian kehutanan, pada tahun 2024 luas hutan di Indonesia adalah 95,5 juta hektar, yang setara dengan 51,1 persen dari total daratan di Indonesia.
Kita dianugerahi tradisi lokal untuk menjaga kelestarian hutan, yaitu melalui tradisi hutan adat. Hutan adat adalah aturan dan norma adat yang mengatur pemanfaatan hutan yang meliputi zona larangan, rotasi pemanfaatan lahan hutan, serta mengatur perburuan akan satwa di dalam hutan.
Hutan adat memberikan manfaat berupa menjaga fungsi ekosistem, menyediakan air, bahan obat, dan pangan bagi masyarakat, sekaligus memperkuat identitas dan solidaritas sosial.
Saat ini hutan adat masih berjalan dan tetap terjaga kelestariannya di beberap wilayah Indonesia, contohnya: hutan adat komunitas Dayak di Kalimantan, hutan wilayah adat Nagari di Sumatera, dan hutan adat suku Baduy di Banten.
4. Kerja Tahun atau Merdang Merdem Suku Karo

ilustrasi pelaksanaan Kerja Tahun oleh pemuda-pemudi (foto pribadi/Johanes Bastanta)
Kerja tahun atau merdang merdem adalah tradisi yang berasal dari Sumatera Utara dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suku Karo. Tradisi merupakan sebuah ungkapan syukur atau doa kepada alam dan Sang Pencipta atas keberhasilan panen raya.
Kerja Tahun juga menyatukan muda-mudi pada segmen Gendang Guro-guro Aron, sambil ditonton warga desa. Pesta ini biasa diselenggarakan di jambur atau balai desa. Saat ini, kerja tahun tidak hanya dilakukan di Kabupaten Karo. Akan tetapi hampir di seluruh wilayah Indonesia yang terdapat masyarakat suku Karo di dalamnya.
Tidak hanya itu, kerja tahun bahkan sudah dijadikan ajang bagi pemuda-pemudi mengenal budaya, saling berkenalan serta menjaga silaturahmi antar saudara yang sudah lama merantau.
Tradisi kerja tahun biasanya terdiri atas 3 tahapan, yaitu: Merdang Merdem atau penanaman padi atau bahan pertanian lainnya, Nimpa Bunga Benih atau panen raya, serta Mburo Ate Tedeh yang dilakukan saat libur semester anak sekolah, sehingga mereka bisa pulang kampung.
Di tengah tantangan akan sulitnya mewujudkan harmoni sosial dan lingkungan, ternyata terdapat tradisi dan budaya lokal yang sudah sejak dulu mewujudkan toleransi sosial dan pelestarian alam di Indonesia.
Bahkan di antara budaya ini, ada yg sudah diakui oleh unesco dan menjadi bukti bahwa budaya Indonesia sudah mendunia.
Oleh sebab itu, tradisi-tradisi ini tidak boleh ditingggalkan dan harus tetap dijaga agar tetap eksis. Yuk, Kawan GNFI bersama kita jaga dan ikut ambil bagian di dalamnya!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News