Di pedalaman Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, tepatnya di tengah
kehidupan komunitas adat terpencil Suku Lauje, muncul sosok perempuan tangguh
yang membawa angin perubahan bagi masyarakatnya. Ia adalah Jein Marlinda, tokoh
perempuan yang dikenal karena keteguhan hati dan kepeduliannya terhadap
kemajuan ekonomi masyarakat adat. Dengan semangat pantang menyerah, Jein
berupaya membangun kemandirian ekonomi komunitas adat terpencil tersebut
melalui pengembangan UMKM gula semut, sebuah produk lokal yang kini menjadi
sumber penghidupan baru bagi banyak keluarga di desa Molomamua.
Suku Lauje merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah Kabupaten Parigi
Moutong, Sulawesi Tengah. Komunitas ini hidup di daerah perbukitan dan
pegunungan yang masih asri, jauh dari keramaian kota. Letak yang terpencil membuat
masyarakat Lauje menjalani kehidupan yang sederhana dan sangat bergantung pada
alam sekitar. Meski begitu, mereka dikenal memiliki semangat gotong royong yang
tinggi serta menjaga tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan turun
temurun.
Sebagian besar masyarakat Suku Lauje berprofesi sebagai petani dan pekebun.
Tanah di wilayah mereka yang subur dimanfaatkan untuk menanam berbagai jenis
tanaman seperti padi ladang, jagung, kakao, serta umbi-umbian. Selain itu, hutan di
sekitar perkampungan juga menjadi sumber penghidupan penting. Dari sana mereka
memperoleh rotan, damar, hingga hasil alam yang kini menjadi perhatian besar, yaitu
nira pohon aren.
Pertemuan pertama Jein Marlinda dengan masyarakat adat Suku Lauje menjadi titik
balik dalam perjalanan hidupnya. Semua bermula ketika ia bergabung sebagai
relawan dalam program Komunitas Adat Terpencil yang diinisiasi oleh Kementerian
Sosial Republik Indonesia. Dalam kegiatan tersebut, Jein turun langsung ke lapangan
dan berinteraksi dengan masyarakat di pedalaman Kabupaten Parigi Moutong,
Sulawesi Tengah. Dari kedekatan itulah, ia mulai menyadari betapa kerasnya
perjuangan hidup masyarakat Suku Lauje yang hidup dalam keterbatasan, namun
tetap menjaga kearifan dan tradisi leluhur mereka.
Jein melihat sendiri bagaimana sebagian besar keluarga Suku Lauje hanya mampu
bertahan dengan penghasilan yang sangat minim, berkisar antara Rp500.000 hingga
Rp700.000 per bulan. Pendapatan itu harus cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari sekaligus membiayai pendidikan anak-anak mereka. Situasi ini membuat
banyak anak terpaksa putus sekolah dan membantu orang tua bekerja di ladang.
Kondisi tersebut menyentuh hati Jein dengan begitu dalam. Ia merasa terpanggil
untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi turut mengambil peran dalam membawa
perubahan bagi komunitas tersebut.
Sejak saat itu, Jein mulai menaruh perhatian besar terhadap potensi ekonomi lokal
yang dimiliki oleh masyarakat Suku Lauje. Ia menyadari bahwa di balik segala
keterbatasan, tersimpan sumber daya alam yang melimpah dan belum tergarap
secara maksimal — salah satunya adalah pohon aren yang tumbuh subur di sekitar
perkampungan. Dari pengamatan itu, Jein terinspirasi untuk mengubah hasil nira aren
menjadi produk yang memiliki nilai jual lebih tinggi.
Berawal dari rasa ingin tahu dan tekad untuk belajar, Jein mencari berbagai referensi
tentang cara pengolahan nira menjadi gula semut melalui video-video di YouTube.
Dengan ketekunan dan kerja keras, ia akhirnya berhasil mempraktikkan proses
pembuatan gula semut secara mandiri. Keberhasilan tersebut menjadi langkah awal
bagi Jein untuk berbagi pengetahuan dengan masyarakat di sekitarnya.
Jein kemudian mengajak warga Suku Lauje untuk melihat potensi besar yang dimiliki
pohon aren. Ia menjelaskan bahwa gula aren tradisional yang selama ini hanya dijual
dalam bentuk cetakan bisa dikembangkan menjadi gula semut, produk yang memiliki
nilai ekonomi lebih tinggi dan daya jual yang luas.
karena ilmu dan pengetahuan yang dibagikan Jein kepada masyarakat Suku Lauje,
kini produk gula semut hasil olahan UMKM komunitas adat terpencil tersebut mulai
dikenal luas, tidak hanya di wilayah Sulawesi Tengah, tetapi juga di berbagai daerah
di Indonesia. Inovasi yang digagas Jein berhasil membuka peluang ekonomi baru bagi
masyarakat adat yang selama ini hidup dalam keterbatasan. Dampaknya pun terasa
nyata. Pendapatan masyarakat Suku Lauje yang sebelumnya hanya berkisar antara
Rp500.000 hingga Rp700.000 per bulan, kini meningkat signifikan menjadi
Rp1.000.000 hingga Rp2.000.000 per bulan. Peningkatan ini tidak hanya membawa
perubahan pada taraf hidup mereka, tetapi juga menumbuhkan rasa percaya diri dan
semangat untuk terus mengembangkan usaha lokal agar semakin mandiri dan
berkelanjutan.
Dari hasil
keberhasilannya dalam mengembangkan UMKM komunitas adat terpencil di
Suku Lauje, Jein Marlinda berhasil meraih penghargaan SATU Indonesia Awards dari
Astra pada tahun 2023. Penghargaan tersebut menjadi bentuk apresiasi atas dedikasi
dan kerja keras Jein dalam memberdayakan masyarakat adat melalui inovasi
pengolahan gula semut yang tidak hanya meningkatkan ekonomi lokal, tetapi juga
menginspirasi banyak orang untuk turut berkontribusi dalam pembangunan daerah
terpencil di Indonesia.
Hal ini membuktikan bahwa ilmu, tekad, dan niat yang kuat dapat membawa
perubahan serta dampak positif bagi banyak orang. Seperti yang dilakukan oleh Jein
Marlinda, melalui dedikasi dan kepeduliannya, ia berhasil menghadirkan perubahan
nyata dalam perekonomian masyarakat Komunitas Adat Terpencil Suku Lauje di
Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Perjuangan Jein menjadi bukti bahwa satu langkah
kecil yang dilakukan dengan ketulusan dapat menjadi awal dari perubahan besar bagi
komunitas yang membutuhkan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News