pendidikan di ujung negeri antara janji pemerataan dan realitas ketimpangan - News | Good News From Indonesia 2025

Pendidikan di Ujung Negeri: Antara Janji Pemerataan dan Realitas Ketimpangan

Pendidikan di Ujung Negeri: Antara Janji Pemerataan dan Realitas Ketimpangan
images info

Pendidikan di Ujung Negeri: Antara Janji Pemerataan dan Realitas Ketimpangan


Saat kota-kota besar tengah menggaungkan revolusi digital dan integrasi teknologi mutakhir dalam sistem edukasi, kita disuguhkan realitas kontras di teritori pinggiran dan terisolasi Indonesia.

Di sana, para peserta didik masih menghadapi keterbatasan infrastruktur fundamental, dimana kegiatan literasi dilakukan di atas papan kayu seadanya dan proses pembelajaran berlangsung di ruang kelas dengan dinding anyaman bambu yang rapuh.

Di satu sisi, diskursus kebijakan di pusat lebih sibuk mengurus implementasi kurikulum berbasis kecerdasan artifisial, di sisi lain para pendidik di Kepulauan Maluku hingga dataran Papua harus menempuh perjalanan yang berisiko dan melintasi sungai yang deras selama berjam-jam.

Fenomena disparitas ini tidak hanya mencerminkan persoalan geografis, melainkan sebuah indikasi nyata dari arah politik pendidikan nasional yang belum sepenuhnya berorientasi pada imperatif keadilan sosial dan pemerataan hak asasi.

Selama rentang waktu yang cukup panjang, pendidikan sering kali diagungkan sebagai simbol kemajuan dan martabat bangsa. Namun, ironisnya, ia belum berhasil diposisikan sebagai prioritas politik yang sejati dalam alokasi sumber daya dan perumusan regulasi negara. Inisiatif transformatif seperti program "Merdeka Belajar" memang menstimulasi optimisme, tetapi efek merdeka yang dijanjikan tersebut belum termanifestasi secara substansial di komunitas yang bermukim di kawasan 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).

Struktur kebijakan yang berlaku saat ini menunjukkan adanya dominasi sentralistik yang berlebihan dari pemerintah pusat dalam menentukan arah strategis, sehingga pemerintah daerah hanya tereduksi menjadi entitas eksekutor, bukan pemegang otoritas diskresioner yang partisipatif dalam pengambilan keputusan.

Penelitian komprehensif yang dilakukan oleh SMERU Research Institute pada tahun 2023 menyajikan temuan krusial bahwa desentralisasi sistem pendidikan di Indonesia mengalami hambatan yang substansial.

Hal ini diakibatkan oleh kapabilitas institusional daerah yang suboptimal, terutama dalam merumuskan perencanaan strategis yang komprehensif dan mengelola eksekusi anggaran secara akuntabel.

Konsekuensinya, upaya-upaya yang diklaim sebagai pemerataan kerap kali terhenti pada fase prosedural dan administratif. Sejalan dengan temuan tersebut, laporan dari UNICEF Indonesia (2023) mengidentifikasi bahwa dua variabel penentu utama yang memicu disparitas pendidikan adalah kualitas kompetensi guru dan heterogenitas kondisi infrastruktur yang tidak terdistribusi secara merata di seluruh jenjang wilayah.

Sering kali terjadi kecenderungan untuk mereduksi esensi pendidikan hanya pada aspek-aspek teknis meliputi pengembangan kurikulum, penyediaan sarana fisik, atau sistem evaluasi akademik.

Padahal, pada hakikatnya, pendidikan adalah sebuah isu politik yang esensial. Ia mendeterminasi struktur sosial, menentukan segregasi dalam aksesibilitas terhadap kesempatan untuk mobilitas vertikal, dan memilah antara kelompok yang diizinkan untuk maju dan kelompok yang secara sistematis diabaikan.

Manakala negara gagal dalam menyediakan akses pendidikan yang berstandar setara bagi seluruh warga negaranya, maka secara implisit negara tersebut telah melanggar mandat konstitusionalnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai sebuah entitas kolektif.

Oleh karena itu, Pemerintah Republik Indonesia dihadapkan pada tugas imperatif untuk mereorientasi fokus kebijakan secara drastis, dari sekedar upaya meningkatkan agregasi angka partisipasi menjadi penguatan keadilan dalam distribusi kualitas dan akses. Wilayah-wilayah 3T memerlukan intervensi kebijakan afirmasi yang bersifat konkret dan terukur.

Langkah-langkah strategis yang harus segera diimplementasikan meliputi skema pemerataan penempatan guru yang berbasis insentif, peningkatan substansial alokasi anggaran yang diformulasikan berdasarkan indeks ketimpangan regional, serta penyediaan solusi teknologi pembelajaran yang adaptif dan memadai.

Pendidikan tidak seharusnya lagi dikondisikan oleh daya tarik sentra urban, melainkan harus dijamin kehadirannya secara universal, di manapun lokasi geografis anak-anak Indonesia berada.

Mengadopsi perspektif filosofis Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, proses pendidikan yang autentik hanya akan terekstraksi dari sebuah dialog konstruktif antara masyarakat itu sendiri dengan realitas sosial yang mereka hadapi.

Dengan demikian, arsitektur pembangunan pendidikan harus mengintegrasikan komunitas lokal sebagai elemen integral dari sistem, alih-alih hanya menempatkan mereka sebagai subjek penerima manfaat pasif dari program bantuan.

Pada akhirnya, pendidikan harus diposisikan sebagai hak fundamental yang terjamin secara definitif oleh regulasi yang pro-keadilan, dan bukan sebagai kemewahan yang ditentukan oleh parameter geografis.

Jika pemerintah terus bersikap abai terhadap eksistensi disparitas pendidikan yang bersifat struktural ini, maka cita-cita luhur untuk mencerdaskan kehidupan seluruh bangsa hanya akan terdegradasi menjadi slogan yang indah namun kehilangan makna substantif dan daya transformatifnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AM
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.