“Suatu hari, seekor anak rusa bernama Rara tersesat di hutan. Dia kehilangan peta pemberian ibunya untuk pergi menuju rumah nenek. Sepanjang perjalanan, Rara mencoba bertanya pada hewan-hewan yang ia temui.”
Hari yang cerah mendengarkan Eklin mendongeng di teras rumah berdinding merah di suatu desa Maluku. Anak-anak yang duduk beralas tikar menyimak keahlian Eklin bermain ekspresi dan berdialog ria. Sesekali keahlian menirukan suara tokoh-tokoh hewan, berhasil membawa gelak tawa anak-anak dalam penuturan kisahnya.
Teriknya matahari tidak menyurutkan semangat Eklin mendongeng bersama Dodi, boneka ventriloquist yang menemaninya sejak akhir tahun 2017. Sebab dengan menghidupkan dongeng, Eklin dapat menyebar nilai-nilai kebaikan dan kebahagiaan untuk anak-anak Maluku yang terdampak pasca konflik segregasi wilayah.
Inilah kisah Eklin, peraih SATU Indonesia Award 2020 yang menebarkan kasih dan perdamaian di Maluku melalui dongeng.
Eklin si Pendongeng Nasional dari Maluku
Eklin Amtor de Fretes tidak menyangka, langkah awalnya membangun ruang perjumpaan anak-anak muda lintas iman di Maluku menjadi seorang pendongeng nasional. Lahir di Pulau Seram, Maluku Utara, pendeta yang akan berusia 34 tahun di bulan November mendatang itu menyaksikan langsung dampak dari konflik Islam-Kristen tahun 1999. Dampak dari konflik tersebut selain segregasi wilayah yang diperkuat adalah anak-anak Muslim dan Kristen yang tak bisa bermain bersama-sama lagi. Saling berjauh-jauhan.
Kegelisahan Eklin melihat dampak besar dari segregasi wilayah pasca konflik Maluku tersebut, Eklin membangun Youth Interfaith Peace Camp pada tahun 2017 guna mempertemukan anak-anak muda lintas iman Maluku. Program ini telah terlaksana sebanyak tiga kali pertemuan. Melalui YIPC, anak-anak lintas iman dapat saling sapa untuk berdiskusi, memahami, hingga menumbuhkan nilai-nilai toleransi.
Hingga pada suatu hari, Eklin mulai berada di titik kejenuhan dalam pelaksanaan program tersebut. Pendanaan program menjadi salah satu alasan Eklin berpikir ulang tentang rencananya menanamkan pendidikan perdamaian. Dana yang diperoleh pada saat itu berasal dari hasil penjualan cokelat dan bunga. Sehingga di penghujung 2017 silam, Eklin mencari cara untuk tetap menghidupkan pendidikan perdamaian dengan cara sederhana, mudah, dan biaya yang murah.
Eklin yang saat itu merupakan calon pendeta berada di titik refleksi. Segregasi wilayah pascakonflik di Maluku tidak hanya berdampak pada orang dewasa, tetapi anak-anak. Seringkali para orang dewasa akan bercerita kepada anak-anak tentang konflik yang terjadi, terutama pada anak-anak yang tidak berdampak konflik. Bisa jadi penuturannya sejak awal kurang tepat atau hanya dilihat dari sisi sepihak.
“Oleh sebab itu, saya berpikir bahwa segregasi wilayah bisa berdampak ke pemikiran akibat penuturan, maka hal itu pun dapat di counter dengan penuturan pula,” terang Eklin saat di wawancara melalui media WhatsApp.
Titik awal Eklin bertemu dongeng berada di bulan Desember tahun 2017. Boneka bernama Dodi, si boneka ventriloquist yang diberi nama dari akronim Dongeng damai, telah tiba di kediamannya. Eklin sempat merasa bingung bagaimana menggunakan Dodi dan minimnya pengetahuannya cara mendongeng atau bermain boneka. Namun, demi menghidupkan pendidikan perdamaian, Eklin berhasil mempelajarinya kurang dari satu minggu.
Penolakan dan Penerimaan Membuka Jalan Eklin Menjalankan ‘Dongeng Damai’
Perjalanan Eklin menjadi pendongeng dimulai dari penolakan. Saat kalender berganti tahun menjadi 1 Januari 2018, Eklin dan Dodi datang ke sebuah suku agama pedalaman di Pulau Seram. Niat baiknya menyebarkan nilai perdamaian akibat segregasi wilayah disalahpahami sebagai Misi Kristenisasi dan pihak mereka mengetahui bahwa Eklin adalah calon pendeta. Akan tetapi, penolakan tersebut tidak menyurutkan niat baik Eklin.
“Esoknya, tanggal 2 Januari saya pindah ke suku agama pedalaman lainnya di Pulau Seram. Namanya Desa Nua Nea. Di desa itu, mereka menerima saya penuh kasih bersama Dodi, lalu mereka menyiapkan tempat yang biasanya dijadikan tempat upacara keagamaan suku mereka. Saya mendongeng pertama kalinya bersama Dodi bagi anak-anak suku itu di tempat biasanya mereka mengadakan upacara keagamaan,” tuturnya menceritakan pengalaman berkesannya.
Penerimaan warga Desa Nua Nea membuka jalan untuk Eklin mengangkat nilai-nilai perdamaian dan toleransi melalui dongeng. Eklin pun mengaku sempat mengajak anak-anak Muslim ke daerah Kristen, begitu pula sebaliknya, agar mereka saling bertemu dan berbagi tawa.
Perjalanan mendongeng di Maluku hingga ke daerah-daerah Indonesia lainnya tidak mudah karena banyak tantangan, tetapi Eklin menjalaninya penuh kesabaran. Alhasil, Eklin yang telah berkeliling Maluku untuk mendongeng telah mendapat berbagai undangan. Undangan tersebut dapat berasal dari berbagai agama di berbagai tempat ibadah, rumah sakit berkebutuhan khusus, rumah anak-anak penyintas kanker, hingga posko-posko bencana alam dan sosial untuk trauma healing psikososial melalui terapi cerita.
“Sampai kapanpun saya akan tetap mendongeng untuk merawat perdamaian di Maluku bahkan di Indonesia,” ucap Eklin dengan mantap.
Pencapaian Eklin yang Mengharumkan Namanya
Kisah inspiratif Eklin mendongeng untuk anak-anak Maluku membawanya menjadi salah satu penerima SATU Indonesia 2020. Langkahnya mewujudkan misi menanamkan cinta damai dan menghargai perbedaan melalui dongeng tidak berhenti.
Setelah menjadi pendeta sejak 6 tahun lalu, Eklin masih mendongeng untuk anak-anak Maluku hingga namanya dikenal sebagai Pendongeng Nasional. Saat ini, Eklin sedang menempuh pendidikan S2 Pendidikan Agama Kristen di Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Timur. Ketika membahas dongeng yang disukai, Eklin yang telah melahirkan buku berjudul Mari Belajar Mendongeng Kisah-Kisah Damai mengatakan dongeng Fabel adalah favoritnya.
Berdasarkan analisis Eklin yang tercantum dalam buku pertamanya, dongeng yang menceritakan hewan dan tumbuhan sebagai karakter utama lebih mudah diterima anak-anak, orang dewasa, hingga orang lanjut usia. Dongeng fabel mengandung nilai universal memudahkan Eklin dan Dodi—akronim dari Dongeng Damai—memperkenalkan perdamaian, ketulusan, kasih sayang, menjadi sebuah cerita kebaikan yang mudah dibawa tanpa menggurui anak-anak dan semua kalangan.
Kini, Eklin masih aktif mendongeng di berbagai tempat dan akan meluncurkan buku keduanya berjudul Dongeng dalam Pendidikan Perdamaian di bulan November 2025 mendatang. Eklin berharap, banyak orang-orang yang tergerak untuk menanamkan cinta damai dan toleransi kepada anak-anak. Serta, markas Rumah Dongeng Damai dapat diperluas agar dapat menampung anak-anak dan orang tua yang ingin belajar mendongeng.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News