bioetanol dan cita cita mandiri energi indonesia - News | Good News From Indonesia 2025

Bioetanol dan Cita-Cita Mandiri Energi Indonesia

Bioetanol dan Cita-Cita Mandiri Energi Indonesia
images info

Bioetanol dan Cita-Cita Mandiri Energi Indonesia


Belakangan ini, ramai diberitakan mengenai penolakan Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamina oleh pihak swasta seperti Vivo dan BP-AKR, karena kandungan etanol sebesar 3,5% di dalamnya. Penggunaan etanol sebagai campuran BBM sebenarnya telah menjadi praktik yang umum di berbagai negara. Namun, campuran tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi teknis BBM yang dibutuhkan oleh pihak swasta tersebut.

Penggunaan etanol sebagai bahan bakar nabati sebagai bauran bensin dikenal dengan istilah bioetanol. Bioetanol merupakan salah satu bentuk energi terbarukan (renewable energy) yang lebih ramah lingkungan karena menghasilkan emisi gas buang yang lebih rendah. Selain itu, jika etanol yang digunakan diproduksi di dalam negeri maka hal ini dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan bakar fosil yang masih relatif tinggi.

baca juga

Pemerintah Indonesia telah menyusun peta jalan penggunaan bioetanol yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 12 tahun 2015, dengan target bauran etanol minimal 20% pada tahun 2025. Meskipun target tersebut belum tercapai, pemerintah melalui PT Pertamina telah memulai inisiatif penjualan bioetanol dengan bauran etanol 5% (E-5), yang dipasarkan dengan nama dagang Pertamax Green 95 dan kini telah tersedia di 150 SPBU di Pulau Jawa. 

Meskipun bioetanol sudah mulai diperdagangkan di beberapa wilayah di Indonesia, jika bioetanol akan dipasarkan secara nasional sebagai program pemerintah untuk mencapai swasembada energi, terdapat beberapa tantangan dalam pelaksanaannya, yaitu: 

1. Peningkatan Kapasitas Produksi Etanol Fuel Grade di Indonesia 

Dikutip dari laman MyPertamina, saat ini kebutuhan etanol untuk Pertamax Green 95 yang digunakan untuk memenuhi permintaan di Pulau Jawa adalah sebesar 5.000 kilo liter (KL) etanol fuel grade per tahun. Kebutuhan ini telah dipenuhi oleh PT Enero, anak usaha PT Perkebunan Nusantara (PTPN), yang memiliki kapasitas produksi 30.000 KL etanol fuel grade per tahun. 

Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan E-5 di seluruh Indonesia, dibutuhkan sekitar 2 juta KL etanol fuel grade per tahun. Namun, kapasitas produksi dalam negeri saat ini baru mencapai 63.000 KL per tahun, yang dimiliki oleh empat produsen etanol di Sumatera bagian Selatan dan Jawa. Oleh karena itu, masih terdapat defisit etanol untuk memenuhi kebutuhan E-5 secara nasional. 

Mempertimbangkan defisit tersebut, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2023 guna mengakselerasi penyediaan etanol sebagai bahan bakar nabati. Dalam peraturan tersebut, ditargetkan produksi etanol fuel grade pada tahun 2030 mencapai 1,2 juta KL per tahun. Program ini memerlukan pengawasan dari seluruh pihak agar dapat terlaksana sesuai target waktu. 

2. Persaingan Molase Tebu sebagai Bahan Baku Etanol 

Etanol di Indonesia umumnya berasal dari molase tebu yang selain digunakan sebagai bahan bakar (etanol fuel grade), juga digunakan dalam industri pangan (etanol food grade). Selain itu, molase tebu juga merupakan komoditas ekspor yang menarik. Sehingga terdapat persaingan penggunaan molase tebu untuk membuat etanol fuel grade.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksi etanol diperlukan peningkatan produksi tebu dalam negeri. Sebagai upaya mengatasi permasalahan ini, Pemerintah meluncurkan program food estate di Merauke, Papua. Program food estate merupakan program strategis nasional yang mencakup pengembangan perkebunan tebu dan pabrik bioetanol di area seluas sekitar 2 juta hektar yang ditargetkan beroperasi pada tahun 2027. 

Penggunaan lahan yang cukup luas untuk program ini harus dilaksanakan dengan bijaksana agar dapat berdampingan dengan kebutuhan masyarakat sekitar. Selain itu, perlu adanya pengendalian terhadap permasalahan lingkungan yang mungkin timbul akibat pembukaan lahan hutan secara besar-besaran. 

baca juga

3. Kebijakan Insentif Bioetanol agar Kompetitif dengan Bensin Konvensional

Saat ini terdapat selisih harga sekitar Rp 800/liter, dimana Pertamax Green 95 dipatok seharga Rp 13.000/liter sedangkan Pertamax berkisar di Rp 12.200/liter. Perbedaan harga ini disebabkan oleh harga etanol yang lebih tinggi dibandingkan bensin. 

Dikutip dari ERIA, bioetanol dapat mengadaptasi skema feebate yang telah diterapkan di Thailand dalam program bioetanolnya yang telah mencapai E-85. Thailand menerapkan kebijakan berupa adanya pungutan (fee) untuk bensin sekaligus memberikan insentif (pengembalian atau subsidi) untuk bioetanol. Dengan demikian, diharapkan konsumen akan beralih menggunakan bioetanol. 

Program penggunaan bahan bakar nabati sebagai campuran BBM telah lama diterapkan di Indonesia, seperti terlihat pada program penggunaan biodiesel yang telah mencapai B40. Dengan momentum ini, target kemandirian energi melalui bioetanol sangat mungkin terwujud, terutama dengan dukungan penuh dari para pemangku kebijakan dan seluruh lapisan masyarakat.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AK
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.