Konon katanya penyakit ini adalah kutukan para dewa. Siapapun dia yang terjangkit akan diasingkan, ditakuti, hingga dicap sebagai seseorang yang kotor. Jauh dari yang namanya ‘kutukan’ stigma negatif ini sesungguhnya adalah kebodohan bahkan bisa jadi ketakutan yang terus menerus mengisolasi diri dan lingkungan.
Jika ditarik lebih jauh, soal penyakit ini adalah soal ‘orang sakit’ dibalik tirai tak terlihat. Setidaknya ada obat, ada ilmunya maka semuanya aman dan bisa dikendalikan. Patuh dalam pengobatan juga menjadi salah satu pencapaian besar supaya penderitanya sembuh dengan efektif.
Penyakit ini dikenal dengan penyakit kusta atau Morbus Hansen. Mitos yang membelenggunya seolah menjadikan kusta ini seakan seperti hukuman ilahi bahkan stigma yang melekat lebih mematikan daripada penyakit kusta itu sendiri.
Hanya karena penderitanya diisolasi bak menjadi suatu tanda dia melakukan dosa besar. Padahal, dibalik ketakutan itu, ada tirai yang mesti dibuka tentang keajaiban medis, hapus stigma mitos, hingga edukasi pada masyarakat untuk menunjukkan kebenarannya.
Penyakit Kusta di Indonesia

Ilustrasi Penyakit Kusta | Foto: Wikimedia Commons
Stigma negatif yang berkembang di masyarakat mengenai kusta seringkali membuat penderitanya merasakan dampak pada fisik dan psikis hingga bersifat permanen dan ironisnya stigma ini seringkali membuat penderitanya merasakan kecemasan, depresi, atau gangguan dalam relasi sosial.
Dilansir dari Indonesia.go.id, pertumbuhan populasi memiliki dampak terhadap peningkatan angka penderita kusta di Indonesia yang berada di peringkat ketiga terbesar di dunia. Pada tahun 2022, jumlah kasus kusta di Indonesia mencapai 13.487 kasus, dan angka ini berpotensi meningkat karena adanya kasus yang tidak dilaporkan.
Dengan melakukan deteksi dini dan penanganan yang tepat, penyakit kusta dapat disembuhkan. Pengobatan yang dikenal sebagai terapi multi obat atau MDT menjadi suatu hal yang harus dilakukan oleh setiap penderitanya. Setelah menerima MDT selama 72 jam, pengobatan tersebut mampu mencegah penyebaran penyakit, sehingga kusta tidak lagi menular.
Kusta tidak menyebar melalui udara, melainkan melalui kontak erat dan berulang, tanpa adanya intervensi medis pada orang yang terinfeksi. Bakteri penyebab kusta Mycobacterium leprae, memerlukan waktu lama untuk diatasi, sekitar 6 hingga 12 bulan, tergantung tingkat kepatuhan pasien dalam pengobatan.
Sebagai penyakit endemik, kusta dapat merusak jaringan saraf, saraf tepi, bahkan saluran pernapasan dengan masa inkubasi yang bisa lebih dari 5 tahun. Keberadaan antibiotika sangat membantu dalam membasmi bakteri penyebab kusta, sehingga penanganan lebih cepat dilakukan dan hal ini berdampak positif baik secara fisik maupun psikis bagi penderitanya.
MH Mobile (Morbus Hansen Mobile) Inovasi Aplikasi Penanganan Kusta
Muncul dikala pandemi Covid-19 membuat dunia seakan terhenti sesaat. Aturan PPKM mengharuskan seluruh kegiatan dilakukan dari rumah mulai dari belajar, bekerja, hingga sistem pelayanan kesehatan termasuk layanan kesehatan pada penderita kusta.
Covid-19 membatasi segalanya termasuk pada pasien kusta yang tidak boleh berlama-lama berada di fasilitas kesehatan sehingga menyebabkan pelayanan kesehatan khususnya konsultasi dan pertemuan dengan tenaga kesehatan berkurang dan dibatasi.
Padahal kusta merupakan salah satu penyakit yang memerlukan pemantauan dan evaluasi untuk menilai tingkat kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat, sebagai upaya mendapatkan kesembuhan yang efektif.
Melihat hal ini, Ronal Surya Aditya berinisiatif memberikan layanan khusus dalam memantau tingkat kepatuhan penderita kusta dalam mengkonsumsi obatnya. Layanan ini berupa aplikasi mobile yang dinamakan MH Mobile (Morbus Hansen Mobile).
“Kami melihat masih ada penderita kusta yang bersifat menular. Kendalanya adalah kurangnya pemahaman, stigma, dan kepatuhan dalam minum obat, sehingga aplikasi MH Mobile diharapkan dapat membantu mereka,” kata Ronal kepada Malangtimes, Selasa (27/4/2021).
Awalnya, aplikasi ini berhasil terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak, termasuk Ditjen Kemendikbud dan STIKES Kepanjeng Malang, tempat Ronal Surya Aditya bekerja sebagai dosen.
Aplikasi MH Mobile (Morbus Hansen Mobile) ini menjadi solusi di tengah meningkatnya wabah covid-19. Melalui aplikasi ini, pasien atau pengguna dapat memahami sejarah kusta, cara perawatan, efek samping obat, serta yang paling penting adalah terdapat kalender checklist minum obat.
Aplikasi ini dibuat oleh Ronal Surya Aditya dan didedikasikan secara gratis di Play Store dengan harapan agar para penderita kusta dapat mengakses layanan kesehatan yang mudah, nyaman, serta menjadi sarana efektif dalam membantu pengobatan kusta di Indonesia.
Karena dedikasinya tersebut, pada tahun 2022, Ronal Surya Aditya menerima penghargaan dari SATU Indonesia Awards kategori teknologi sebagai pencipta dan pemegang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) aplikasi MH (Morbus Hansen) Mobile.
Aplikasi ini berfungsi untuk memantau kondisi pasien kusta serta meningkatkan kesadaran dan ketaatan dalam menjalani pengobatan. Inovasi teknologi yang dibuat oleh Ronal Surya Aditya ini merupakan gagasan yang cerdas dan sederhana, dan memiliki dampak besar dalam menghubungkan pasien dengan informasi medis, tenaga kesehatan, serta dukungan sosial yang dibutuhkan.
MH (Morbus Hansen) Mobile jadi aplikasi yang mengedukasi, deteksi dini, serta pendampingan bagi pasien kusta. MH (Morbus Hansen) Mobile ini juga jadi penghubung sebagai alat partisipatif khususnya dalam mendukung para penderitanya patuh obat, bebaskan kusta.
Jangan biarkan kusta menghambat setiap kehidupan, aplikasi MH (Morbus Hansen) Mobile membantu dan mendampingi secara digital yang hadir untuk memudahkan, mengingatkan, dan mencatat setiap obat untuk meningkatkan kepatuhan dan mendukung pemulihan kusta secara lebih optimal.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News