“Dari mano asa titiak palito, di baliak telong nan batali.
Dari mano asa niniak moyang kito, dari lereang Gunung Marapi”
Sebuah kalimat ikonik yang menggambarkan cikal bakal dari daerah ini. Berada di lereng Gunung Marapi, seakan setiap tempatnya menyimpan permata tersembunyi dari pemukiman indah nan nyaman sejak dahulu hingga saat ini.
Tambo atau cerita rakyatnya semakin memperkuat daerahnya sebagai tempat awal mula pemukiman rakyat Minangkabau. Memiliki julukan ‘Nagari Tuo’ bukan tanpa alasan, hal ini berasal dari tradisi lisan masyarakat Minangkabau, di mana dahulu puncak Gunung Marapi masih berupa daratan dan wilayah sekitarnya adalah perairan.
Kisah berlanjut dari Sultan Iskandar Zulkarnain yang memiliki tiga orang anak, yaitu Sultan Suri Maharajo Dirajo, Sultan Maharajo Alif, dan Sultan Maharajo Depang.
Dalam perjalanan mereka, ketiga orang anak Sultan Iskandar Zulkarnain ini berpisah. Di tengah perpisahannya, Sultan Suri Maharajo Dirajo, bersama rakyatnya akhirnya berlayar hingga tiba di daerah Gunung Marapi. Ketika air surut, wilayah perairan tersebut kemudian dibangun pemukiman di lereng Gunung Marapi. Di sinilah yang akhirnya menjadi tempat pertama kali mereka bermukim dan menjadi awal mula dari keberadaan ‘Nagari Pariangan.’
Mengutip laman Indonesia.go.id, pada tahun 1980, sistem pemerintahan di Nagari Pariangan ini mirip dengan konsep polis pada masyarakat Yunani Kuno yang lebih otonom dan egaliter, sehingga disebutkan sebagai wilayah bukan desa, melainkan Nagari dan kini dikenal dengan Nagari Pariangan.
Pada tahun 1981, terbit undang-undang perubahan sistem pemerintahan di tingkat bawah yang membuat pemerintahan Nagari diganti menjadi sistem pemerintahan desa yang berkembang seperti pada masyarakat Jawa. Hal ini pula yang membuat masyarakat Pariangan kehilangan kemandirian dan semangat egaliter yang sejak lama dipraktekkan.
Setelah menjadi desa selama 19 tahun, munculah undang-undang tentang otonomi daerah pada tahun 1999. Istilah lain menyebut ‘Nagari’ sebagai sistem pemerintahan dengan mengembangkan ‘Nagiri’ atau ‘desanya secara mandiri’ dan sistem pemerintahannya terbentuk dari integrasi daerah-daerah kultura. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan pemerintahan mereka menjadi ‘Nagari’ kembali hingga menjadi ciri khas sistem pemerintahan di Sumatra Barat sampai saat ini.
Kata ‘Nagari’ sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta ‘Nagarom’ yang berarti ‘tanah air’ atau ‘tanah kelahiran’. Nagari ini menjadi gambaran akan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan adat istiadat yang dipercayai dan dihormati di Sumatra Barat.
Wisata Alam, Budaya dan Kearifan Lokal di Desa Wisata Pariangan

Gerbang Masuk Desa Wisata Pariangan | Foto: Wikimedia commons/syurida
Berlokasi di Tanah Datar, Pariangan, Sumatra Barat, lahan pertanian yang berbentuk terasering, udara yang sejuk, dan perbukitan yang hijau menjadi pemandangan alam yang menakjubkan di Desa Wisata Pariangan.
Sebagai Nagari yang tua di wilayah Minangkabau dan memiliki sejarah yang sangat kaya, Pariangan menjadi salah satu pusat budaya yang penting serta menjadi saksi bisu dari perjalanan sejarah peradaban Minangkabau. Beberapa ikon budaya yang dapat dilihat di Desa Wisata Pariangan ini meliputi:
- Rumah Gadang, yaitu rumah besar dengan arsitektur yang khas. Atapnya melengkung dan memiliki struktur besar yang dihiasi dengan ukiran yang indah. Rumah Gadang bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Minangkabau, seperti untuk pertemuan adat, musyawarah, maupun acara kebudayaan.
- Surau atau tempat ibadah yang memiliki nilai sejarah dan sosial. Menariknya, di Desa Pariangan ini terdapat sebuah masjid tradisional yang sudah ada sejak abad ke-19 bernama Masjid Islah yang menjadi saksi bisu akan perjuangan Islam di Nagari Pariangan. Desain yang unik dengan memiliki atap bertingkat empat dan sebagian bangunannya sampai tiga tingkat melambangkan cara berbicara dalam bahasa Minangkabau yang disebut ‘empat kato’, yaitu Kato Malereang, Kato Mandata, Kato Manurun, dan Kato Mandaki.
- Cagar budaya juga menjadi salah satu tempat yang menarik di Desa Pariangan, yaitu Tungku Tigo Sajarangan. Tempat ini dianggap sakral oleh masyarakat Minangkabau dan berkaitan erat dengan nilai-nilai adat dan budaya mereka yang memberikan dimensi sejarah tersendiri di Pariangan.
Selain itu, masih banyak peninggalan sejarah lain yang bisa ditemukan di Desa Pariangan, seperti Batu Lantak Tigo (sebagai penanda awal munculnya peradaban Minangkabau), Kuburan Panjang Datuak Tantejo Gurhano (arsitek pertama Rumah Gadang), Sawah Satampang Baniah (legenda unik tentang kelahiran dan pertumbuhan di Minangkabau), dan Lurah Indak Baraia.
Bentuk Pilar Keberlanjutan dan Mendapatkan Banyak Apresiasi

Perkampungan di Desa Wisata Pariangan | Foto: Wikimedia commons/adhmi
Upaya bersama masyarakat Desa Pariangan dalam mengelola pariwisata yang ramah lingkungan, melestarikan budaya, dan mendorong ekonomi kreatif menarik perhatian besar, termasuk dari Astra.
Sebagai Desa Sejahtera Astra (DSA) Pariangan juga dalam pengembangannya sebagai desa berkelanjutan dan memiliki produk usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang menjadi identitas sekaligus ciri khas yang menambah daya tarik wisata. Produk kreatif dan unik yang dihasilkan meliputi:
- Batik Nagari Tuo Pariangan dengan motif khas yang terinspirasi dari naskah kuno yang ditemukan di desa ini. Motif ini mencakup gambaran rumah gadang, ukiran rangkai, hingga ornamen khas lainnya. Lebih istimewa lagi, batik ini digunakan bahkan menjadi cenderamata dan koleksi para wisatawan nasional maupun internasional.
- Kopi Kawa Daun sebagai minuman yang berasal dari daun kopi khas, bukan dari biji kopinya. Keunikan kopi daun ini terletak pada penyajiannya yang menggunakan batok kelapa di atas potongan bambu agar tidak goyah. Kini, kopi daun dapat dinikmati dengan berbagai rasa seperti dicampur telur, jahe, lemon, dan susu.
Pesona Nagari Pariangan yang membuatnya menjadi desa terindah di dunia tidak hanya dari panorama indah yang memanjakan mata, tetapi juga dari nilai sejarah dan budaya yang membentuk komunitas hidup di ranah Minang. Hidup selaras dengan alam dan budaya, menjadikan tradisi dan kreativitas lokal sebagai suasana yang tenang dan damai.
Apresiasi Desa Pariangan sebagai Desa Sejahtera Astra (DSA) pada 2022 dari PT. Astra International, Tbk ini diberikan sebagai program pemberdayaan masyarakat dan wujud dukungan karena masyarakatnya telah bersedia menjaga, melestarikan, serta merawat warisan budaya sebagai identitas Pariangan.
Apresiasi ini membuktikan bahwa Desa Pariangan tidak hanya indah di mata dunia, tetapi juga menjadi desa yang mencerminkan kemandirian, tangguh, dan sejahtera secara ekonomi dan sosial. Hal ini sejalan dengan visi dari Desa Sejahtera Astra (DSA) untuk mewujudkan desa yang mandiri, maju, dan sejahtera dengan memanfaatkan potensi lokal serta menciptakan ekonomi berkelanjutan yang berdampak positif bagi masyarakat.
Selain sebagai Desa Sejahtera Astra (DSA), Desa Pariangan ini juga pernah dinobatkan sebagai lima desa terindah di dunia dalam kategori World’s 16 Most Picturesque Village yang diadakan oleh majalah pariwisata internasional dari New York, Amerika Serikat bernama Budget Travel, 2012.Desa ini unggul sebagai indigenous culture yang masih terjaga.
Pada tahun 2022, Desa Pariangan juga dinobatkan sebagai juara 1 Desa Wisata Berkembang dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI).
Desa Wisata Pariangan menjadi contoh desa yang mampu menjaga tradisi dan inovasi secara seimbang dengan perkembangan zaman. Adat dan budaya Minang masih relevan dan dihargai hingga sekarang. Transformasi desa menjadi wisata berkelanjutan membuktikan bahwa warisan leluhur bisa menjadi kunci menuju masa depan yang berkelanjutan yang harmonis antara sejarah, alam, dan kemandirian ekonomi.
"Keindahan alamnya adalah karya alam, dan pelestarian budayanya hasil kerja bersama."
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News