Ratusan peserta dengan penuh antusiasme mengikuti kegiatan Telusur Jejak Multatuli pada Minggu, 21 September 2025. Kegiatan ini menjadi salah satu rangkaian acara dalam Festival Seni Multatuli 2025 yang kembali digelar di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak.
Lebih dari 100 orang peserta dari berbagai latar belakang hadir, mulai dari masyarakat asal Jabodetabek dan Banten, hingga peserta dari luar daerah seperti Kediri, Yogyakarta, Bangka Belitung, Palembang, dan Lampung. Kehadiran mereka menegaskan bahwa gagasan Multatuli, penulis Max Havelaar ,tetap relevan dan menginspirasi lintas generasi.
Rute telusur membawa peserta mengunjungi delapan titik penting yang menyimpan jejak sejarah kolonial dan lokal di Lebak, antara lain Rumah Dinas Bupati Lebak (Regent’swoning te Lebak), Gedung DPRD Lebak (eks Contracten Administrative N.V Nieuw Tjisalak), pusara Raden Tumenggung Adipati Kartanata Nagara.
Peserta juga diajak untuk mengunjungi bekas rumah dinas Asisten Residen Lebak, Jalan Multatuli, Rutan Rangkasbitung (Gevanghuis te Rangkas-betong), bekas menara air Rangkasbitung, hingga berakhir di Museum Multatuli.

Para peserta Telusur Jejak Multatuli menyimak paparan guide. Mereka berkeliling menyusuri jejak peradaban di Rangkasbitung. Foto: Panitia Festival Seni Multatuli
Peserta yang terbagi dalam 3 kelompok mula-mula mengunjungi Rumah Dinas Bupati Lebak (Regent'swoning te Lebak). Rumah dinas bupati ini masih mempertahankan konstruksi aslinya dan masih aktif digunakan sebagai rumah dinas.
Pada bagian pendopo, peserta melihat prasasti yang memuat daftar nama Bupati Lebak dari masa ke masa. Salah satu nama bupati yang menarik perhatian adalah Bupati Kedua Lebak pada periode 1837-1865, Raden Tumenggung Adipati Kerta Nata Negara. Bupati tersebut muncul dalam buku "Max Havelaar" yang ditulis oleh Multatuli dan digambarkan melakukan kesewenang-wenangan.
Perjalanan berlanjut dan peserta mengunjungi rumah bekas Asisten Residen Lebak yang terletak di dalam kompleks RSUD Dr. Adjidarmo Rangkasbitung. Disinyalir Douwes Dekker, nama asli dari Multatuli, dulu menetap di sana ketika menjabat sebagai Asisten Residen Lebak.
Objek lain yang menarik perhatian peserta adalah bekas menara air Rangkasbitung (Watertoren). Kondisi bekas menara air masih terawat hingga kini. Area sekitar watertoren juga cukup lega untuk dijadikan tempat berkumpul bagi para peserta.
Menara setinggi 9 meter tersebut digunakan sebagai sumber air bersih bagi warga Rangkasbitung pada tahun 1931 sampai sekitar tahun 1980. Sumber air Watertoren diambil dari mata air Gung Karang yang terletak di Pandeglang. Selang-selang mengalirkan air bersih kepada warga Rangkasbitung yang membayar sewa untuk mendapatkan air bersih.
Peserta mengakhiri tur di Museum Multatuli. Museum ini menjadi satu dari dua museum yang mengangkat tentang Multatuli, penulis buku "Max Havelaar". Sementara itu keberadaan Museum Multatuli satu lagi terletak di Amsterdam, Belanda. Peserta tur juga bisa menikmati beragam koleksi yang ditawarkan di Museum Multatuli.
Meskipun bentuknya kecil, Museum Multatuli memiliki ragam koleksi yang menarik diikuti. Seperti jejak-jejak penjajahan oleh kolonial Belanda. Salah satu ruangan juga menyimpan buku Max Havelaar yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Ada juga ruangan yang menyimpan potret perjuangan pahlawan asal Banten yang melawan bentuk penjajahan kolonial.
Sepanjang perjalanan, suasana penuh suka cita mewarnai interaksi peserta. Tak hanya menapaktilasi jejak sejarah, kegiatan ini juga menjadi ruang silaturahmi, berbagi pengetahuan, serta refleksi atas nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang diperjuangkan Multatuli lebih dari satu abad lalu.
Dengan semangat yang tersulam dalam kegiatan ini, Telusur Jejak Multatuli diharapkan terus menjadi jembatan antara warisan sejarah, kesadaran budaya, dan perjuangan nilai kemanusiaan yang tetap relevan hingga hari ini.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News