Kawan, singkong goreng sering dipandang sebagai makanan kampung yang sederhana. Banyak orang menganggapnya identik dengan kebiasaan orang tua, padahal sebenarnya camilan ini menyimpan fenomena ilmiah yang menarik.
Tekstur renyah di luar dan lembut di dalam bukan hanya hasil menggoreng biasa, melainkan melibatkan proses kimia pangan yang dikenal dengan gelatinisasi pati. Melalui proses ini, singkong goreng tidak sekadar enak dimakan, tetapi juga menjadi sumber energi yang efisien bagi tubuh kita.
Singkong sendiri kaya akan pati, yaitu polisakarida kompleks yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Perbandingan keduanya memengaruhi sifat termal, tekstur, dan tingkat kecernaan. Menurut Chimphepo etal., (2021), tiap varietas singkong memiliki kadar amilosa, amilopektin, dan ukuran granula yang berbeda.
Hal ini berpengaruh terhadap suhu awal gelatinisasi, viskositas, serta kelembutan tekstur setelah pengolahan. Dengan demikian, tidak semua singkong akan menghasilkan kualitas gorengan yang sama.
Saat singkong digoreng, minyak panas bekerja dengan cepat. Air di dalam jaringan sel bergerak keluar, sementara granula pati menyerap air, membengkak, dan akhirnya pecah ikatan hidrogennya.
Pada suhu sekitar 66–70 °C, amilosa keluar dari granula dan membentuk massa amorf yang lebih mudah dicerna (Abduh etal., 2024). Proses inilah yang disebut gelatinisasi. Hasilnya, bagian dalam singkong menjadi empuk serta lembut saat dikunyah.
Sisi luar singkong mengalami kondisi berbeda. Akibat kontak langsung dengan minyak panas, air di permukaan cepat menguap, membentuk lapisan kering yang garing. Perpaduan antara tekstur renyah di luar dan lembut di dalam inilah yang membuat singkong goreng disukai banyak orang.
Rachman etal., (2022) menegaskan bahwa sifat ini dipengaruhi oleh varietas singkong, perlakuan praproduksi, serta ukuran granula pati. Jadi, kawan, ada singkong yang terasa mealy (berpasir) dan ada yang lebih kenyal setelah digoreng.
Selain membuat teksturnya enak, gelatinisasi juga meningkatkan kecernaan pati. Pati mentah yang semi-kristalin sulit dipecah enzim amilase, tetapi setelah tergelatinisasi, strukturnya menjadi longgar sehingga glukosa lebih cepat terbentuk dan diserap tubuh kita.
Penelitian RIKEN (2021) menunjukkan bahwa varietas singkong dengan kadar amilosa tinggi (sekitar 40%) mengalami gelatinisasi lebih lambat. Pati yang dihasilkan lebih tahan cerna atau dikenal sebagai resistant starch, yang baik untuk kesehatan usus serta membantu mengendalikan kadar gula darah. Sebaliknya, singkong dengan kadar amilosa rendah (sekitar 17%) lebih cepat dicerna dan menyediakan energi instan.
Dari sisi gizi, singkong goreng memang tidak setara dengan sumber karbohidrat kaya serat seperti oat atau nasi merah. Namun, lewat gelatinisasi, singkong tetap bisa menjadi sumber energi praktis.
Hal ini pula yang menjadikannya populer di masyarakat pedesaan: mudah diperoleh, murah, dan cepat mengenyangkan. Selain itu, singkong dapat diolah dalam berbagai bentuk, mulai dari gorengan sederhana hingga hidangan tradisional seperti getuk atau tape.
Dengan memahami proses di balik singkong goreng, kita bisa melihat bahwa camilan sederhana pun menyimpan pengetahuan ilmiah yang berharga.
Setiap gigitan singkong goreng adalah hasil interaksi kompleks antara pati, air, panas, dan minyak. Gelatinisasi bukan sekadar istilah laboratorium, tetapi fenomena nyata yang bisa diamati langsung di dapur kita.
Kesimpulannya, singkong goreng bukan hanya makanan kampung atau camilan nostalgia. Ia merupakan contoh nyata bagaimana ilmu kimia pangan bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Proses gelatinisasi menjadikan singkong goreng empuk, renyah, sekaligus lebih mudah dicerna sebagai sumber energi.
Dengan begitu, Kawan, singkong goreng layak dipandang sebagai warisan kuliner yang bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga menyimpan nilai ilmiah dan gizi yang patut diapresiasi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News