Berbicara soal Pulau Sumatra, tak lengkap rasanya jika tidak menyinggung Danau Toba. Danau vulkanik terluas di Asia Tenggara ini tampak seperti lautan dibandingkan danau karena ukurannya yang sangat besar.
Panjangnya sekitar 100 kilometer dengan lebar 30 kilometer. Bisa dibayangkan betapa luas dan besarnya danau ini, bukan?
Di tengah Danau Toba, ada sebuah pulau yang namanya sangat beken. Adalah Pulau Samosir, pulau yang ukurannya hampir sama dengan Singapura.
Karena letaknya di tengah danau, akses menuju daratan lain di Pulau Sumatra dilakukan dengan kapal feri. Untuk memudahkan akses dan meningkatkan pariwisata daerah, dibangunlah sebuah jembatan untuk menghubungkan Pulau Samosir dengan daratan Sumatra yang dipisahkan oleh Danau Toba itu.
Jembatan tersebut adalah Jembatan Aek Tano. Lokasinya berada di di Kelurahan Siogung-Ogung, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatra Utara.
Jembatan Aek Tano—bisa juga disebut Jembatan Tano Ponggol atau Aek Tano Ponggol—memiliki panjang 382 meter. Jembatan ini merupakan satu-satunya akses darat menuju Pulau Samosir yang terletak di tengah Danau Toba.
Pembangunan Jembatan Aek Tano Ponggol ini dilakukan guna mendukung pengembangan Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Prioritas/Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP).
Biaya yang diperlukan untuk membangun jembatan tersebut adalah Rp173 miliar. Panjang bentang utamanya adalah 99 meter dan lebar 8 meter.
Punya Tiga Pilar yang Melambangkan Dalihan Na Tolu
Ada yang unik dari Jembatan Aek Tano. Warna pilarnya merah menyala dan berbentuk seperti konstruksi penyangga tungku. Konon, tungku itu merupakan filosofi lokal khas Batak, yakni Dalihan Na Tolu.
Dalihan Na Tolu berarti tiga tungku. Tiga tungku ini selayaknya pilar yang dipakai oleh masyarakat Batak dalam menjadi konstruksi sosial yang menjadi dasar bersama.
Tiga tungku yang dimaksud adalah:
- Somba marhulahula: hormat pada keluarga pihak pemberi istri atau ibu.
- Elek marboru: mengayomi anak perempuan dan pihak yang menerima anak perempuan.
- Manat mardongan tubu: menghormati teman satu marga.
Istilah tungku berkaki tiga pun bukan tanpa sebab. Tungku yang berkaki tiga memerlukan keseimbangan ekstra.
Jika salah satu kaki itu rusak, maka tungku tidak akan dapat digunakan kembali. Hal ini menjadi falsafah hidup rakyat Batak yang menyeimbangkan hidup lewat tatanan tiga unsur tersebut.
Punya Kanal yang Dibangun Belanda
Menariknya, ada kanal yang berada di bawah Jembatan Aek Tano Ponggol yang bernama Tano Ponggol. Tano Ponggol sendiri dalam bahasa Batak berarti tanah potong/patah/putus. Kanal ini ‘memisahkan’ Pulau Sumatra dan Pulau Samosir.
Dahulu, Pulau Samosir menyatu dengan daratan Pulau Sumatra. Kemudian pemerintah kolonial mulai membangun Tano Ponggol, membuat Samosir menjadi ‘terpisah’ dengan daratan utama Sumatra.
Menyadur dari Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), Tano Ponggol dibangun pada 1907. Peresmian kanal itu dilakukan enam tahun setelahnya.
Dikatakan bahwa pembangunan kanal tersebut adalah strategi Belanda untuk mempermudah perlawanan saat menghadapi masyarakat Batak. Kanal ini juga bisa dilewati oleh kapal-kapal di Danau Toba.
Melalui laman Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum, pembangunan Jembatan Aek Tano Ponggol juga dibarengi dengan pelebaran alur Tano Ponggol. Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatra II melebarkan alur kanal itu dari yang awalnya hanya 25 meter menjadi 80 meter—memungkinkan kapal-kapal pesiar untuk bisa melewati kanal dengan aman.
Kini, Jembatan Aek Tano Ponggol menjadi ikon Pulau Samosir. Selain menghubungkan konektivitas antarwarga di daratan Sumatra dan sebaliknya, jembatan ini juga menjadi salah satu daya tarik utama pariwisata di Danau Toba.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News