Kawan GNFI, siapa sangka tomat yang terbuang karena tak laku di pasaran bisa menjelma menjadi atraksi budaya yang mendunia?
Itulah awal mula kemunculan Festival Perang Tomat di Kampung Cikareumbi RW 03, Desa Cikidang, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Suasana Festival Perang Tomat di Kampung Cikareumbi, Bandung Barat.Foto: Djuli Pamungkas
Festival ini pernah menjadi magnet budaya yang memadukan kreativitas, kearifan lokal, dan geliat ekonomi warga. Namun, pandemi COVID-19 membuatnya sempat vakum. Kekhawatiran pun muncul, apakah tradisi ini akan terus bertahan atau justru hilang ditelan zaman?
Harapan baru kemudian lahir melalui rangkaian Pelatihan Literasi Digital yang digagas dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung dalam skema Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Hibah BIMA Kemdikbudristek.
Asal Usul Perang Tomat Cikareumbi: Dari Lahan Pertanian ke Panggung Budaya

Abah Nanu Munajar Dahlan, budayawan Sunda yang menggagas lahirnya Festival Perang Tomat pada 2011.Foto: Dokumentasi Pribadi | Abah Nanu Munajar Dahlan
Festival Perang Tomat lahir pada 2011 dari gagasan budayawan Sunda, Mas Nanu Munajar Dahlan atau akrab disapa Bah Nanu. Saat itu harga tomat anjlok, hasil panen menumpuk, dan petani terancam rugi.
Alih-alih dibiarkan membusuk, tomat dijadikan medium ekspresi dalam rangkaian upacara adat Ngaruat Bumi. Dari situlah lahir tradisi unik: sebuah “perang” tomat yang bukan sekadar hiburan, melainkan simbol syukur, solidaritas, sekaligus kritik sosial.
Seiring waktu, atraksi ini berkembang pesat. Wisatawan datang dari berbagai daerah, bahkan mancanegara, untuk menyaksikan festival yang penuh warna. Banyak yang menyamakan dengan La Tomatina di Spanyol, padahal versi Cikareumbi lahir dari pengalaman lokal masyarakat Sunda.
Penelitian mencatat, Perang Tomat adalah contoh community based tourism, di mana masyarakat menjadi pelaku utama, sekaligus penerima manfaat langsung dari geliat ekonomi dan pariwisata.
Literasi Digital sebagai Jalan Revitalisasi
Setelah pandemi membuat festival terhenti, warga menyadari perlunya strategi baru. Maka sejak Agustus hingga September 2025, tim dosen ISBI Bandung mengadakan pelatihan literasi digital bagi lebih dari 30 warga Cikareumbi. Pesertanya beragam: pemuda karang taruna, seniman, hingga para sesepuh desa.

Tim PKM ISBI Bandung berfoto bersama warga Cikareumbi usai kegiatan pelatihan literasi digital.Foto: Dokumentasi Pribadi | Shauma Silmi Faza
Pelatihan ini dilaksanakan dalam tiga tahap. Sheila Kurnia Putri mengajarkan literasi digital dan pengelolaan platform media sosial. Shauma Silmi Faza membimbing teknik fotografi, videografi, serta pembuatan konten kreatif. Puncaknya, Arif Budiman menekankan strategi manajemen promosi media sosial dan optimasi website resmi Festival Perang Tomat.
“Perang Tomat adalah identitas budaya yang tidak boleh hilang. Dengan pendekatan digital, kami ingin masyarakat dapat mengelola promosi secara mandiri, sekaligus menjadikannya sumber ekonomi kreatif berkelanjutan,” ujar Sheila Kurnia Putri, ketua tim pengusul PKM sekaligus dosen ISBI Bandung, dalam wawancara September 2025.
Suara Warga, Suara Generasi Muda
Pelatihan ini disambut antusias oleh warga. Cucu, sesepuh kampung, menuturkan bahwa kehadiran media resmi milik warga sangat penting:
“Selama ini banyak media luar menulis tentang Perang Tomat, itu bagus. Tapi bagi kami, informasi yang berkelanjutan dan dikelola langsung oleh warga lebih bermakna. Dengan pelatihan ini, anak-anak muda jadi lebih lihai memanfaatkan media sosial secara positif.”
Hal senada datang dari Bah Use, tokoh desa:
“Kami jadi tercerahkan. Ternyata tanpa harus ke kota pun, potensi desa bisa dimaksimalkan. Kerja di desa, tapi rezekinya bisa setara kota.”
Tian, pemuda lainnya, juga menambahkan:
“Kalau dulu konten saya dibuat secara asal sekadar hiburan, sekarang saya bisa menceritakan festival ini dengan cara yang lebih kreatif. Jadi bukan hanya main-main, tapi juga bisa mengenalkan kampung kami ke dunia luar.”

Generasi muda Cikareumbi mempraktikkan teknik fotografi dan videografi berbasis gawai.Foto: Dokumentasi Pribadi | Sheila Kurnia Putri
Menggerakkan Ekonomi Kreatif Desa
Festival Perang Tomat bukan hanya tentang budaya, tetapi juga ekonomi. Pada masa jayanya, tradisi ini menghidupkan ekosistem lokal: rumah warga menjadi homestay, kuliner khas diburu wisatawan, dan seniman desa memperoleh ruang tampil. Kini, dengan keterampilan digital yang dimiliki warga, peluang itu bisa bangkit kembali.
Sebagai penunjang, tim ISBI Bandung menyerahkan perangkat pendukung seperti router WiFi, mikrofon, pembuatan logo, hingga flashdisk. Sebuah plang “Mekar Budaya” juga dipasang sebagai penanda destinasi wisata Cikareumbi, memudahkan wisatawan mengenali lokasi. Langkah-langkah kecil ini memperkuat identitas desa sekaligus memberi daya tarik bagi wisatawan.
“Festival Perang Tomat harus menjadi kebanggaan budaya sekaligus motor ekonomi kreatif di desa,” tegas Sheila.
Menatap Masa Depan
Revitalisasi Perang Tomat bukan sekadar menghidupkan kembali sebuah atraksi, melainkan membangun keberlanjutan. Kolaborasi antara masyarakat, perguruan tinggi, pemerintah, dan swasta sangat dibutuhkan agar festival ini tetap bertahan dan terus berkembang sesuai tuntutan zaman.
Kawan GNFI, dari tomat yang dulu dianggap tak berharga, Cikareumbi menunjukkan bahwa kearifan lokal bisa bertransformasi menjadi kekuatan baru. Dengan literasi digital, suara desa kini dapat menjangkau dunia. Sebuah optimisme yang sederhana, membumi, sekaligus menginspirasi bangsa.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News