Presiden Prabowo mencanangkan Komite Reformasi Polri yang bertujuan untuk memperbaiki bagian dalam ‘tubuh’ Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Hal ini sejalan dengan ditunjuknya seorang perwira tinggi Polri, Ahmad Dofiri, sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Kepolisian.
Komisi ini bakal ditugaskan selama beberapa waktu untuk menyelesaikan beberapa hal yang mencakup reformasi Polri, seperti pengkajian ulang terhadap kedudukan, ruang lingkup, tugas, dan kewenangan. Tim ini diharapkan bisa melakukan evaluasi, perbaikan kinerja, sampai pelayanan di institusi kepolisian.
Di sisi lain, Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo selaku Kapolri juga membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri. Tim yang beranggotakan 52 orang ini merupakan upaya tindak lanjut yang dilakukan Polri untuk mengelola perubahan institusi agar selaras dengan harapan masyarakat.
Melihat hal ini, Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Achmad Munjid, M.A., Ph.D., menyambut baik adanya reformasi besar di tubuh kepolisian. Ia juga mendukung agar perubahan ini benar-benar dilakukan dengan substansial.
“Jadi saya kira kita semua harus menyambut baik inisiatif Presiden untuk melakukan reformasi Polri. Yang paling penting setelah ini direncanakan, dibentuk tim, itu bagaimana caranya supaya reformasi Polri itu betul-betul terlaksana dan terlaksana secara substansial, bukan cuma sebagai program yang di permukaan, tapi substansinya sebetulnya belum kemana-mana,” sebutnya dalam keterangan tertulis di ugm.ac.id.
5 Hal yang Harus Dibenahi di Tubuh Polri
Lebih lanjut, Munjid menyebutkan lima hal krusial yang harus dibenahi oleh Polri. Lima hal itu mencakup soal perbaikan model pendidikan, penguatan pemahaman tentang hak asasi manusia (HAM), meritokrasi dalam rekrutmen, transparansi dan akuntabilitas lembaga, dan pengawasan secara kelembagaan.
Soal perbaikan, Munjid menilai hal ini berdasarkan pendekatan praktik kekerasan yang dilakukan oleh aparat saat menangani permasalahan. Ia menyoroti bagaimana masalah ini menjadi cerminan dasar dalam sistem pendidikan kepolisian, sehingga harus dibenahi.
Kemudian, ia menyarankan agar aparat untuk diberikan pemahaman soal HAM, mengingat kurangnya pemahaman HAM secara menyeluruh membuat mereka cenderung ‘mudah’ melakukan persekusi pada masyarakat.
Lebih lanjut, Munjid menggarisbawahi hal yang sangat penting dalam upaya untuk mereformasi Polri, yakni pembenahan pada tes masuk kepolisian. Menurutnya, sistem seleksi harus berdasarkan sistem meritrokrasi atau kemampuan. Praktik kolusi dan nepotisme betul-betul harus dibenahi.
Dalam penjelasannya, Munjid turut meminta adanya transparansi dan akuntabilitas yang menjadi salah satu titik vital dalam upaya untuk memperbaiki bagian internal Polri. Hal yang sering terjadi di lapangan adalah saat publik tidak bisa meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota Polri.
Selain itu, Munjid pun mengingatkan agar Polri tidak dilibatkan dalam kepentingan politik dan bisnis. Untuk memastikan hal ini, perlu ada perbaikan sistem lewat lembaga pengawas.
“Kalau polisi mau profesional, dia tidak boleh menjadi alat politik, dia tidak boleh menjadi alat bisnis,” tegasnya.
Perlu Ada Reformasi yang Sistematis
Munjid mengatakan, reformasi Polri harus dilakukan dengan sistematis. Artinya, reformasi yang dilakukan harus seimbang dengan reformasi di lembaga penegak hukum dan sistem hukum secara serentak. Jika ini tidak dilakukan, agenda reformasi tidak akan berjalan.
Reformasi Polri adalah hal yang sangat penting dan perlu dilakukan dengan serius serta substansial demi mengembalikan kepercayaan publik.
“Polri, termasuk para pimpinan dan pejabat terkait, harus bijaksana melihat reformasi ini sebagai kesempatan emas untuk mengemban tanggung jawab profesionalnya secara bermartabat,” pungkasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News