Betapa mengejutkan bahwa ternyata, penyumbang komposisi terbesar sampah di TPA Indonesia adalah sampah sisa makanan. Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional ini dipaparkan oleh Kevin Gani dalam sesi webinar bersama GNFI pada 26 September lalu.
“Selama ini kita mengira bahwa sampah terbesar berasal dari plastik, bukan?,” Kevin memulai pemaparannya terkait latar belakang pendirian Yayasan Garda Pangan dengan menampilkan diagram presentase jenis-jenis sampah di Indonesia.
Dengan presentase sampah sisa makanan sebesar itu, pada tahun 2022, Indonesia tercatat sebagai negara peringkat kedua sebagai negara dengan sampah sisa makanan terbesar di antara negara-negara G20, seperti Rusia, Jerman, Turki, atau bahkan India yang merupakan negara terpadat di dunia.
Sampah makanan memiliki banyak dampak buruk, salah satunya adalah di bidang lingkungan. Sampah makanan mengeluarkan metana dalam proses penguraiannya, dan metana adalah salah satu unsur terbesar yang berkontribusi pada perubahan iklim. Apabila dibandingkan dengan karbondioksida, metana memiliki kemampuan 27 sampai 30 kali lebih tinggi dalam memerangkap panas.
Tidak perlu jauh-jauh membahas perubahan iklim untuk membahas dampak buruk atas gas metana. Gas metana telah menorehkan sejarah memilukan, berupa meledaknya TPA Leuwigajah, yang merupakan TPA dengan sistem open dumping dimana semua jenis sampah dihamparkan begitu saja, pada tahun 2005 dan menewaskan 157 orang serta ratusan orang yang dinyatakan hilang.
TPA Leuwigajah itu meledak karena tingginya konsentrasi gas metana yang kemudian semakin dipicu oleh hujan deras dan akhirnya membuat tumpukan sampah runtuh disertai dengan suara gemuruh yang besar.
Tidak hanya pada bidang lingkungan, sampah masyarakat juga memiliki implikasi pada bidang sosial. Kita akan mendapati sebuah kondisi ironis, dimana Indonesia menempati peringkat yang tinggi dalam hal sampah makanan dan dalam waktu yang sama, terdapat 19.4 juta masyarakat Indonesia yang kesulitan untuk mengais barang sesuap nasi.
Ekonomi juga menjadi salah satu aspek yang dirugikan atas tingginya kuantitas sampah makanan. “Terdapat banyak faktor produksi atau resources yang terbuang secara sia-sia,” ujar Kevin. “Kerugiannya sangat besar, hampir setara 4-5 persen PDB Indonesia.”
Kevin menambahkan, “Kalau dibuat dalam bentuk analogi, misal kita membuang sepiring nasi dengan harga lima ribu rupiah, sebenarnya kerugian yang timbul bukan hanya lima ribu rupiah tersebut. Apabila ditarik lebih jauh, terdapat banyak hal yang telah dikeluarkan untuk menghasilkan satu porsi nasi itu. Ada pupuk, air, bibit, bahkan keirngat petani yang terbuang sia-sia.” Analogi Kevin menggambarkan bahwa terdapat banyak kerugian yang timbul ketika makanan dibuang.
Dampak-dampak buruk atas sampah makanan itu menjadi latar belakang Kevin Gani, seorang lulusan Universitas Bhayangkara jurusan Ilmu Komunikasi, untuk berkontribusi terhadap ketahanan pangan bangsa melalui Yayasan Garda Pangan.
Dengan slogan why bin it if you can feed people in need, Garda Pangan berdiri sebagai organisasi yang memiliki tujuan meminimalisasi sampah makanan dengan menyalurkan sisa makanan yang masih layak kepada mereka yang membutuhkan. Garda Pangan ini adalah sebuah food bank yang memiliki beragam cara untuk menyelamatkan sisa makanan.
Yayasan Garda Pangan membagi kegiatan utamanya sebagai dua kegiatan, yaitu food bankyang bersifat nonprofit, serta bussiness unit yang merupakan kegiatan bisnis dengan tujuan yang masih selaras berupa minimalisasi sampah makanan. Kegiatan-kegiatan tersebut berupa workshop atau seminar terkait pengolahan sampah makanan, pengelolaan sampah makanan dengan BSF, dan banyak kegiatan lainnya.
Kegiatan utama dari Yayasan Garda Pangan ini adalah food rescue. Dalam kegiatan ini, mereka bekerja sama dengan industri-industri hospitalitas yang biasanya memiliki makanan berlebih dengan kualitas yang masih layak untuk dimakan.
Dari industri toko roti misalnya. Biasanya, pada penghujung hari, mereka memiliki makanan yang tidak terjual pada hari itu dan sebenarnya masih sangat layak untuk dimakan, namun karena standar kualitas penjualan yang tinggi, mereka tidak bisa menjualnya lagi.
Akhirnya, sisa penjualan tersebut dijemput oleh Yayasan Garda Pangan, dipastikan higienitas makanan tersebut, dan pada akhirnya didistribusikan kepada warga-warga yang membutuhkan.
Selain dari industri hospitalitas, Yayasan Garda Pangan juga melakukan food rescue pada berbagai event besar seperti pernikahan, khitanan, atau syukuran yang memiliki potensi untuk memiliki makanan berlebih selepas acara dalam jumlah besar.
“Kami pernah melakukan food rescue pada sebuah acara pernikahan dan mendapatkan sekitar 600 porsi makanan,” Kevin bercerita. “Bayangkan, dengan 600 porsi tersebut, sebenarnya kita bisa memenuhi kebutuhan makanan untuk satu pernikahan lainnya.”
Selain bekerja sama dengan industri-industri hospitalitas dan menjemput sisa makanan dari event-event besar, Yayasan Garda Pangan juga melakukan food rescue dengan melakukan gleaning on farm. Mereka akan melakukan gleaning on farm ini pada dua kondisi.
Kondisi yang pertama adalah ketika panen raya dan harga komoditas terjun bebas, membuat petani memutuskan untuk membiarkan sayur dan buah yang telah ditanam busuk di atas lahan tanam alih-alih memanennya.
Petani memutuskan hal tersebut karena biaya yang dikeluarkan untuk proses panen tidaklah sedikit dan mereka akan rugi karena harga jual di pasar sangat rendah—biaya yang akan didapatkan dari hasil penjualan tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk proses panen.
Kondisi kedua yang membuat Yayasan Garda Pangan melakukan gleaning on farm adalah ketika terdapat sayuran-sayuran yang bentuknya atau klasifikasinya tidak sesuai dengan permintaan pasar. Biasanya para petani akan membiarkan sayuran seperti itu karena dirasa tidak akan terserap oleh permintaan pasar.
Dalam prosesnya, Garda Pangan juga merangkul teman-teman relawan agar sayur-sayur bisa segera diselamatkan dan masih segar ketika didistribusikan. Sayur-sayur yang didapatkan dari hasil gleaning on farm ini akan dibagikan kepada para masyarakat pada hari yang sama dengan pengambilan sayur dari petani karena sayur tidak memiliki daya tahan yang terlalu lama.
Makanan-makanan jadi atau bahan makanan seperti sayuran yang masih layak dimakan akan berakhir dibagikan kepada masyarakat, lain halnya dengan makanan yang kondisinya sudah tidak layak konsumsi. Dengan tujuan yang sama, yaitu mengurangi sampah makanan terbuang begitu saja, makanan yang tidak layak makan akan diolah secara organik oleh BSF atau black soldier fly–dikenal juga sebagai maggot.
Maggot akan mengonsumsi limbah makanan tersebut dan pada akhirnya, maggot bisa menjadi salah satu sumber pakan ternak dengan kualitas tinggi. Tidak hanya maggot itu sendiri yang bisa bermanfaat, residu atau kotoran dari maggot juga bisa dimanfaatkan menjadi pupuk yang bisa dibagikan kepada warga yang membutuhkan.
Atas kontribusinya ini, Kevin mendapatkan anugerah 15th SATU Indonesia Awards 2024 Bidang Lingkungan. Anugerah tersebut adalah program tahunan yang diberikan oleh PT. Astra International Tbk. untuk para generasi muda yang memiliki kontribusi terhadap bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, serta teknologi. Para penerima anugerah SATU Indonesia Awards ini akan mendapatkan dukungan finansial, pembinaan, serta berbagai kesempatan menarik untuk berkolaborasi dengan Astra.
Salah satu kriteria untuk menjadi penerima anugerah ini adalah kegiatan harus selaras dengan aspek keberlanjutan atau sustainability. Kevin sebagai salah satu kontributor di Yayasan Garda Pangan betul-betul berhak atas penghargaan ini atas upayanya mencegah banyak makanan terbuang sia-sia sekaligus mengurangi jumlah masyarakat yang terancam kekurangan bahan makanan atau bahkan kondisi kelaparan.
Upayanya yang luar biasa ini perlu kita lanjutkan agar terdapat lebih banyak makanan yang bisa diselamatkan—sekaligus berkontribusi menyelamatkan negeri ini dari berbagai dampak buruk tingginya kuantitas sampah makanan.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News