Di balik keindahan alam Papua Barat, ada realitas yang tak selalu tertangkap kamera wisata. Di banyak kampung, anak-anak belum mampu membaca dan menulis. Bhrisco Jordy, pemuda asal Manokwari dan Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards 2022 Bidang Pendidikan, melihat ketimpangan ini sejak kecil. Baginya, masalah pendidikan di Papua bukan sekadar ada atau tidaknya sekolah, melainkan akses literasi yang benar-benar layak.
Pengalaman dua dekade tinggal di Papua membuat Bhrisco paham betul jurang pendidikan antara kota dan daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Saat menempuh kuliah di Jakarta, ia sempat berharap kondisi di kampung halamannya akan membaik.
Namun, ketika kembali, angka buta huruf nyaris tidak berubah. Titik baliknya terjadi pada kunjungan ke Pulau Mansinam hanya 30 menit dari Manokwari ketika ia mendapati remaja SMP belum bisa menulis nama sendiri.
“Kalau menunggu pemerintah, terlalu lama,” ujar Bhrisco, dikutip dari kanal YouTube GNFI.
Pada 2021, ia mendirikan Papua Future Project (PFP), komunitas anak muda yang fokus membuka akses literasi untuk anak-anak pedalaman. Moto mereka sederhana namun kuat, every child matters. Setiap anak, di mana pun tinggalnya, berhak mendapat pendidikan berkualitas.
Langkah awal PFP adalah membangun pojok baca di kampung-kampung. Di sana, anak-anak belajar membaca dan menulis sambil mengenal buku berkualitas. Bhrisco paham pembelajaran tak bisa kaku. Karena itu, PFP mengusung pendekatan holistik dan kontekstual: pelatihan guru lokal, permainan edukatif seperti ular tangga raksasa dengan pertanyaan literasi, hingga metode belajar sambil bermain.
PFP juga memanfaatkan teknologi lewat program Asynchronous Learning. Relawan dari berbagai daerah membuat video pembelajaran sesuai kurikulum terbaru. Video ini diputar di laptop saat pendampingan, sekaligus mengenalkan teknologi kepada anak-anak yang bahkan belum pernah menyentuh komputer. Inovasi ini memungkinkan relawan dari Jawa dan daerah lain untuk tetap berkontribusi tanpa harus hadir di lokasi.
Namun perjalanan PFP penuh tantangan. Medan yang sulit, minimnya guru yang mau tinggal di pedalaman, hingga sulitnya mengajak anak muda lokal jadi relawan karena keterbatasan ekonomi menjadi hambatan besar.
“Anak muda di sini hidupnya sudah susah, jadi volunteering tanpa dibayar itu berat,” kata Bhrisco.
Meski begitu, semangat pantang menyerah membuahkan hasil. Sejak berdiri, PFP telah menjangkau 14 kampung di Papua Barat dan Papua Barat Daya, melibatkan sekitar 725 anak dan 250 relawan dari seluruh Indonesia, baik daring maupun luring. Program mereka mencakup pembangunan pojok baca, kelas belajar, hingga pelatihan tenaga pendidik agar lebih siap menerapkan kurikulum merdeka dan metode pembelajaran berbasis konteks budaya.
Kini, Bhrisco dan tim telah meresmikan Papua Future Project sebagai Lembaga Masa Depan Papua, sehingga program literasi dapat berjalan lebih terstruktur dan berkelanjutan. Mereka menargetkan pendirian pojok baca di 100 kampung pada 2025 dengan konsep pendidikan yang memadukan literasi dasar, nilai adat, kesadaran lingkungan, dan pemanfaatan teknologi.
Bagi Bhrisco, kunci perubahan ada pada generasi muda. “Anak muda sering diremehkan, padahal justru kita lah perubahan itu sendiri,” tegasnya.
Melalui Papua Future Project, ia mengajak siapa pun dari Papua hingga Jawa untuk ikut menyalakan lilin literasi. Dari pojok baca kecil di Mansinam, Bhrisco membuktikan bahwa setiap anak, di mana pun mereka lahir, memang benar-benar matters.
Papua Future Project mengusung moto “Every Child Matters,” dengan tujuan meningkatkan mutu pendidikan anak-anak Papua terutama di Pulau Mansinam, hingga setara dengan standar pendidikan di wilayah lain.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News